Chereads / Cinta Pertama Jingga / Chapter 22 - Hari Terakhir

Chapter 22 - Hari Terakhir

"Ibu tahu nggak kira-kira kenapa ya sampe kak Andra mau cepet ke sini? Ibu sepemikiran nggak sama aku?"

Rani kerutkan keningnya, "Emang apa sih? Ibu nggak tahu apa-apa."

"Ah, Ibu mah. Itu soal hatinya kak Andra yang mulai terpikat sama Jingga, iya nggak?"

Rani usak rambut coklat putrinya itu, ia akan sangat bersyukur bila itu benar adanya, di mana Andra sudah membuka hati dan memang sudah seharusnya seperti itu pada Jingga, hanya saja pertemuan dan mereka menyatu pada kondisi juga situasi yang kurang tepat.

Malam sudah sangat larut, sebagai orang tua Jingga yang tahu seberapa besar pengorbanan putrinya, ada kecemasan berlebih bila nanti mereka hanya tinggal berdua.

"Jingga bisa, Bu."

"Aku paham, Yah. Aku tahu kalau anak kita pasti bisa melewati dan buat Andra suka sama dia, tapi ini nggak mudah. Dia bahkan mikir orang tua Andra, tapi yang dia dapet cuman bentakan dan penolakan Andra, itu sakit pasti," ujar Rani mengungkapkan isi hatinya sebagai ibu, dia tahu sekuat apa dan sampai batas apa kemampuan Jingga.

Keanu peluk istrinya itu, mereka bisa saja melarang Jingga menikahi Andra kala itu, tapi keras kepala Jingga juga tak bisa mereka lawan, belum lagi di sini anaknya itu memikirkan isi hati dan kehidupan orang tua lainnya, Jingga sangat sayang sampai pada orang tua Andra.

"Semoga dengan Andra dekat di sini bersama kita, dia bisa berubah dan mencintai Jingga, intinya dia berubah lebih dulu."

"Yah, gimana kalau mereka tinggal di rumah ini aja, hem?"

"Nanti coba aku omongin sama Andra ya," balas Keanu, lebih hemat juga, lagipula mereka akan lebih hemat bila tinggal di rumah besar ini, tidak kesepian juga.

Perasaan aneh juga mendera Andra di sana, tak terlewat Jingga, bila mereka tinggal jauh dari rumah orang tua dan hanya ada di unit itu berdua, memang Andra akan lebih mudah mengatur pertemuan dengan Amel, tapi dia tentu tak punya alasan untuk menghindari Amel, sedang dia tak ingin terus-menerus diganggu Amel, entah kenapa Andra sendiri tidak tahu alasannya, dia mendadak linglung dan lebih memilih menjauh dari Amel.

Cintanya masih besar pada Amel, tapi perlakuan Amel kepadanya sejak kasus itu dan perhatian Jingga membuat Andra enggan juga malas, hatinya terluka saat Amel memilih kabur karena hal itu dia harus menikah dengan Jingga, seandainya Amel tak kabur waktu itu tentu mereka bisa menikah dan tidak bersembunyi seperti ini.

Melepaskan Amel juga bukan hal yang bisa Andra putuskan dengan cepat, dia butuh banyak pertimbangan dan kepastian di mana Amel kondisinya akan baik-baik saja tanpa dia, sejauh ini Amel sangat ceroboh hingga menarik perhatiannya, dia terjatuh dan merasa Amel yang tepat karena mereka sama-sama dari dunia gelap.

Semakin ke sini, Andra merasa ruangnya bersama Amel sempit, dan itu Amel sendiri yang membuatnya. Jingga menyentuh perhatian yang Andra inginkan dari kecil, Jingga memperhatikan dari hal terkecil meskipun Jingga tahu dirinya belum mencinta.

"Lo yakin, Ndra?" Gio bertanya sekali lagi, ini hari terakhir Andra bertugas di kota ini. Mereka akan bertemu bila ada dinas di kota itu.

"Terus kalau nggak yakin gue ada pilihan buat nolak gitu?" balas Andra.

Gio tak tahu jawabannya, yang jelas dia harus meminta izin dari keluarga Jingga, harus diingat kalau Andra hanya pekerja di kantor usaha keluarga besar Jingga, dia tidak boleh asal melangkah.

"Lo bisa hubungi gue kalau kesepian, lagian cari rumah aja, Ndra. Jangan di unit, entar kalau kita mampir, nggak enak sama Jingga."

"Emang lo mau apa?"

"Kan, nggak bisa nongkrong, masa iya nongkrong sambil lihat Jingga masak dan tidur, ngiler entar!"

"Resek lo!" balas Andra, ia jitak Gio kencang, bisa-bisanya memikirkan Jingga dan membayangkan Jingga tidur, Andra saja tidak bisa lupa bagaimana wajah gemas itu tidur di sampingnya.

***

Beberapa box barang sudah masuk ke truk angkut, siap dikirim ke rumah Jingga lebih dulu, Andra sudah bicarakan hal ini dengan keluarga Jingga yang ada di sini dan sejenak menghubungi ayah mertuanya untuk berbasa-basi.

Dia hela napas panjang, di kota ini semua ia mulai, menabung lalu menghabiskannya. Andra tak menyangka kalau akan secepat ini pergi meninggalkan kota sejuta kenangan ini, ada rasa tidak rela, tapi hidup barunya sudah dimulai.

"Sayang, kamu belum berangkat, kan?"

"Kenapa, Mel?"

"Aku mau ke unit kamu lah, nggak boleh?"

"Boleh, lagian di sini nggak ada makanan, kamu boleh bawa-"

"Kamu pesen dong, aku bukan Jingga yang bisa nyiapin apa yang kamu mau, kan kamu tahu kalau aku itu gitu, Ndra sayang. Iyakan?"

Andra mengangguk seolah Amel ada di depannya, selain menjadi hari terakhirnya berada di kota ini, mungkin ini juga akan menjadi hari terakhirnya menerima Amel di unit pisah ini.

Di kota itu akan dirasa sulit, semua dari awal lagi dan tentu geraknya terbatas. Ada orang tua dan mertua, belum lagi tawaran dari ayah Jingga untuk tinggal satu rumah saja, bertemu Amel akan dirasa sangat sulit.

Tak lama Amel tiba di unit itu, membawa tubuhnya saja tanpa ada makanan yang Andra keluhkan, unit Andra sudah kosong, hanya tersisa kasur dan sofa saja, isiannya habis semua.

"Aku mau tidur di sini boleh?"

"Silakan, mau makan?"

"Mau, tapi aku nggak sekadar tidur, Ndra. Kita mau pisah lama dan-"

"Mel, sory, bukan apa-apa, tapi aku bener nggak bisa ngelakuin itu sekarang, fikiran aku lagi campur aduk!"

"Terus, kapan kita bisa tidur bareng?"

"Kamu kenapa? Tumben banget kamu maksa dan nagih kayak gitu, biasanya kamu juga nolak dan males, iya kan?"

"Karena kamu mau tinggal serumah sama Jingga, apa yang bisa aku harepin dari kamu, Ndra? Aku kira dengan tidur bareng tanpa apapun, nanti kita bisa bersatu mungkin."

Itu yang seharusnya Andra dengar dulu, disaat masalah besar menimpa mereka, sayangnya kini terlambat untuk Amel sadari, dia berniat diwaktu yang tidak tepat.

Ke mana saja kemarin?

Walau begitu, Andra tak membiarkan dan tak tega Amel merasa sedih terlalu lama. Bukan sentuhan besar, dia hanya memeluk Amel sepanjang malam, walau harus dia akui rasanya sudah berbeda, tak lagi sama seperti dulu.

Anggap saja malam ini menjadi garis besar dalam hubungan mereka, walau Amel tak paham dan tak puas dengan sekadar pelukan, Andra tak bergeming.

Andra dalam titik bingung, entah dia merasa lebih enak sendiri, tapi kadang dia rindu pada Amel, dan kadang juga pikirannya penuh dengan Jingga saja.

Malam terakhir yang membingungkan.

"Mel, apa?"

"Aku tahu kamu nggak bisa kalau masukin itu ke aku, masukin ke mulut aku aja!"