Darma Corp
Kepenatan malam saat sedang lembur, membuat Ayu terlihat serius mengerjakan pekerjaannya. Sehingga ia tak menyadari kehadiran sahabat yang cukup mengagetkan, walau hanya sebuah sapaan, "Lembur, Yu?" tanya Akbar.
"Iya, sebentar lagi selesai kok," jawab Ayu yang jarinya masih menari di atas keyboard.
Mengisi kesunyian suasana yang beradu dengan detik jam besar di dinding putih yang sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Lantas suasana semakin hening saat Ayu tak lagi mendengar celoteh dari sahabatnya itu. Sejurus kemudian Ayu merasa ada yang aneh dari sahabatnya itu.
"Kok lo bengong sih, Bar?" tanya Ayu ketika kembali fokus pada pekerjaannya.
"Enggak kok, Yu," jawabnya lesu.
"Bar, kita tuh sahabatan udah lama banget. Gue udah hapal banget dengan ekspresi wajah lo. Bagi gue, lo itu bukan penipu ulung."
"Kita bicarakan ini kalau kerjaan lo udah selesai aja, deh," jawab Akbar.
"Apa bedanya, sih, sekarang sama nanti?" sahut Ayu menghentikan kegiatannya dan menoleh kepada Akbar.
Ayu mulai terlihat geram karena Akbar semakin membuatnya penasaran. Sorot mata Ayu mulai memicing, menilik inchi demi inchi wajah Akbar yang mencurigakan.
"Gue kasihan sama komputer lo, entar dia lo banting, Yu," celetuk Akbar sekenanya. Sambil menunjukkan deret giginya, lengkap dengan gerakan tangan menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
Hal tersebut semakin membuat Ayu menaruh lebih banyak curiga pada sahabatnya itu. Lantas ia sedikit mendekat demi meneliti guratan panik di kening Akbar, ada buliran peluh disana. Hingga membuat lelaki itu mengibaskan tangannya di depan wajah Ayu yang bertingkah layaknya detective.
"Hei, kerjaan lo masih numpuk tuh!" peringat Akbar mencoba mengalihkan fokus Ayu.
Hal tersebut mengingatkan Ayu akan tugasnya yang lebih penting untuk ia kerjakan. Lantas Ayu kembali duduk dan menghela napasnya kasar.
"Oke, deh. Lo tunggu bentar lagi, yah," putus Ayu.
Suasana kembali hening. Lagi-lagi hanya suara jari lentik Ayu yang terdengar sibuk mengadukan jemarinya pada keyboard hitam itu. Selagi Ayu sibuk dengan pekerjaannya, begitu juga dengan Akbar yang tampak sibuk dengan pikiran kalutnya.
Gejolak batin kembali Akbar rasakan dalam dirinya, bagaimana jika hal yang akan dia sampaikan ini justru memporak-porandakan hatinya?
***
"Alhamdulillah, akhirnya selesai juga," ucap Ayu sambil mengggerak-gerakkan kepala serta pundaknya ke kiri dan ke kanan.
Setelah file dokumen sudah rapi, Ayu mematikan komputer dan mencabut flashdisknya dari CPU.
"Lo udah selesai, kan? Kita makan malam dulu deh," tak ingin mendengar aksi protes Ayu, Akbar bergegas melangkah mendahului Ayu.
"Kan lo mau ngomong?" sentak Ayu pada Akbar ketika langkah sahabatnya itu saling bersisihan.
Tapi Akbar memilih bungkam, jangan sampai dia kelepasan kontrol akan dirinya. Ayu tak punya pilihan lain selain mengikuti arah langkah sahabatnya, Thareq Akbar Satria.
Baik Akbar maupun Ayu kelihatan dilanda kegelisahan, tapi mereka adalah orang pandai yang bisa menutupi perasaan mereka dengan sangat rapat.
Ayu mengalihkan atensinya dengan menatap keluar jendala, dan Akbar dia memilih untuk fokus mengemudi membela jalanan ibukota. Kondisi jalan yang mulai lengang memudahkan kedua sahabat itu sampai ke tempat tujuan mereka.
"Cepat, lo cerita!" titah Ayu dengan tatapan nyalang tajam.
"Makan dulu, Yu!" Akbar sibuk membolak-balikkan buku menu di hadapannya, "mau makan apa lo?" imbuh Akbar. Tanpa mengalihkan tatapannya dari buku menu tersebut.
"Terserah," dengus Ayu. Raut kesal terpatri jelas dalam iris hitamnya karena Akbar masih saja mengulur-ulur waktu.
Akbar pun memesankan makanan yang sama untuk dirinya dan Ayu begitu juga dengan minumannya. Hingga pesanan mereka tiba dan Akbar tetap meminta Ayu untuk menyelesaikan makan malamnya lebih dulu.
Setelah selesai dengan aktifitas makannya mereka pun memulai obrolan yang serius. Akbar beberapa kali menghela napas panjang, sebelum menyampaikan berita yang akan mengoyak habis hati wanita berparas ayu itu.
"Kak Yudi kemana, Yu?" tanya Akbar terlebih dahulu.
"Keluar kota," jawab Ayu singkat.
"Ini, kamu baca aja!" titah Akbar sambil memberikan surat itu pada Ayu.
Ayu membuka surat itu, membaca dengan teliti kata demi kata dalam kertas itu. Tanpa dia sadari air matanya jatuh tak terbendung. Hancur sudah dunianya. Hancur sudah mahligai rumah tangga yang dia bangun dengan Yudi Eka Setiawan sang suami selama enam tahun lamanya.
"Undangan Aqiqah?" tanyanya dengan nada bergetar.
Mengucapkan kata 'iya' saja, sangat susah untuk Akbar lakukan. Pada akhirnya hanya anggukan kepala yang Akbar dapatkan.
"Yudi Eka Setiawan dan Bella Qanesya?" tegas Ayu yang malah menambah deraian air mata semakin membasahi pipi.
Akbar semakin tertunduk lesu tak bisa lagi menjawab pertanyaan Ayu.
"Farhan Setiawan dan Farah Setiawan, anak mereka kembar, Bar ..." dada Ayu sesak menahan sakit yang telah digoreskan oleh Yudi, suaminya.
"Udah Yu, mungkin aja ini salah, kan? Nama Yudi Eka Setiawan nggak cuma satu," ucap Akbar dengan memberikan Ayu senyum setipis benangnya.
"Lo serius?" tanya Ayu yang mulai menghapus cepat air mata di pipinya.
Akbar hanya menjawab Ayu dengan anggukan pelan.
"Pulang yuk, udah hampir jam sepuluh nih," Ayu hanya memberikan seulas senyum tipisnya seraya menganggukkan kepala.
Akbar dan Ayu meninggalkan restoran dengan hati yang gamang, bagaimana nasib rumah tangga Ayu jika memang nama yang tertera dalam surat undangan itu memanglah nama suaminya?
~~~
Pagi hari yang cerah tapi tak secerah hati wanita bernama Suci Indah Ayu. Awan duka mungkin akan segera datang menerpa hidupnya.
"Ki, bangun Nak," ujar Ayu seraya menjiwil hidung putri semata wayangnya, Zaskia Azzahra Khumairah.
Zaskia hanya bergeliat tanpa sedikitpun membuka kedua manik matanya.
Gelengan kepala samar Ayu berikan atas respon putri kesayangannyan.
Tiba-tiba...
PYAR~~~
Figura yang membingkai foto pernikahan Ayu dan Yudi enam tahun yang lalu tiba-tiba saja jatuh.
Ayu mendekati figura itu dengan salah satu tangannya meremat kain berlapis di dadanya.
"Kenapa hanya bagian Mas Yudi yang retak?" batin Ayu.
Apakah ini jawaban dari pertanyaan Ayu semalam?
Suara ketukan dari luar kamar mengurungkan niat Ayu untuk membereskan pecahan figuran itu.
"Ada apa, Ma?" tanya Ayu saat melihat ada sosok mamanya di balik pintu kamarnya.
"Turun gih ada yang nyariin kamu, tuh," titah Kinanti Sekar Kinashi, mamanya Ayu.
"Akbar?" terka Ayu. Tapi gelengan tegas dari Mama Kinanti mematahkan asumsi Ayu.
"Bukan, Yu," jawab Mama Kinanti.
"Wanita paru baya bahkan, lebih tua dari Mama," tambah Mama Kinanti.
Rasa penasaran semakin menggelitik jiwanya, siapakah wanita paru baya yang dimaksud oleh Mama Kinanti?
Ayu tampak berpikir keras apakah mereka pernah bertemu sebelumnya? Lalu mengapa pikiran Ayu tampak buntu saat menilik wajah tamu itu.
"Dengan Ibu, Suci Indah Ayu?"
Ayu hanya mengangguk sebagai pembenaran.
"Saya Hutami, dari Pengadilan Agama," ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Ayu.
"Ayu," jawab Ayu ketika membalas uluran tangan Hutami.
"Sebelumnya saya minta maaf pagi-pagi sudah ke sini, maksud tujuan saya ke sini ingin mengantarkan ini," Hutami nampak memberikan Ayu map berwarna merah.
"Apa ini?" Ayu berusaha untuk tidak langsung membuka map tersebut, tapi tangannya seolah berkhianat.
"Itu adalah surat gugatan cerai yang Pak Yudi Eka Setiawan layangkan pada anda," jelas Hutami.
DAR~~~
Seperti ada petir yang mengilat tiba-tiba di pertengahan awan. Udara yang sedari tadi sejuk, mendadak sangat dingin karena angin berhembus kencang.
Tersentak dan terperanjat, begitulah yang Ayu rasakan.
Bersambung