Di depan Rumah megah bercat putih, terlihat sosok wanita beruban yang sedang sibuk menyiram bunga, jenis tanaman bunga yang sangat mahal.
Jenis bunga apa pun ada di halaman rumah itu.
"Oma ... Aku berangkat, Oma ... Sudah jangan terlalu sibuk, nanti lelah sudah usia seratus tahun itu harus istirahat, ayolah wanita cantikku." Datanglah pemuda berkemeja yang jasnya diletakkan di lengannya, dia berjalan sambil mengenakan dasi. Pemuda dengan jenggot yang rapi, tatapan mata seperti elang dan postur tubuh atletis dan kulitnya sangat bersih.
"Makanya itu kamu cari istri, jangan yang matre yang tulus gitu lo. Oh ya, Andra Oma akan mengajakmu ke Bogor, jadi cepat selesaikan tugas kantor agar bisa cuti," jelas Oma yang terlihat sangat sehat walau usia sudah sangat tua.
"Oma jangan mikirin aku, kalau ada jodoh pasti bertemu kok, jika Oma tetap membahas soal wanita nanti kita malah berdebat," ujar Andra yang lalu menatap wanita keriput itu.
"Dra, Oma sudah tua, apa salah jika ingin melihat cucu pertamanya menikah, lihat adikmu Raffi dari remaja sukanya bawa gadis ke rumah, sebenarnya Oma selalu sesak jika dia bertingkah seperti itu, sedang Raffa, dia belajar terus, ya ... Oma minta ya sama kamu. Kamu ini kakak pertama, anaknya Faisal. Yang adik kamu, juga sudah umur empat tahun. Kamu itu pantasnya punya anak dua," ujar Omanya, Andra mainan ponsel tapi dia menyimak ucapan wanita renta itu.
"Oma, aku sayang sekali sama Oma, cari jodoh itu bukan hal mudah, please deh ... Mending Oma cariin istri untuk Faisal kasihan tuh Aidil, pengasuhnya sudah berumur, carikan yang muda, agar bisa di halalin juga sama Faisal, kan ponakanku butuh Ibu," ujar Andra meraih tangan Omanya dan segera berjalan melarikan diri dari teguran Omanya.
"Andra ... jantung Oma." Bicara dengan penuh tenaga, Andra tidak memperdulikan karena tahu itu hanya ekting dari Omanya.
Pria berumur 37 tahun ini paling malas kalau membahas soal wanita. Dia mengendarai mobil Inova terbaru berwarna putih. Pria keren ini sangat disiplin, tegas dan sangat bersih, sampai di kantor, para gadis berpakaian rapi berjejeran intuk memberikan map.
Andra mengambil satu persatu, tanpa melirik salah satu skertarisnya. Mereka sangat cantik, dengan riasan yang cukup tebal, Andra menghentikan langkahnya.
"Hai Hana," panggilan Andra membuat semua merasa iri. Salah satu wanita melangkah. "Stop," suara Andra sangat menakutkan.
"Iya Pak," jawab Hana dengen suara bergemetar.
"Kurangi lipstikmu, dan kalian bukan seperti pekerja tapi malah seperti penggoda, rok kurang ke bawah, jaz kurang besar dan make up kurang tipis," tegurnya, lalu berjalan masuk ke ruangan.
Di dalam ruangan ada gadis berpakaian biru, itu adalah seragam OB.
"Jeh ... Siapa namamu? Lain kali ... Kurang pagi bersihinnya, oke!" Nada bicara Andra naik, gadis itu hanya mengangguk dan akan pergi. Andra melihat debu.
"Hai ..." Andra memanggil tapi sibuk dengan laporan di mapnya.
"Iya Pak."
"Lihat nih, tidak becus! Masih kotor! Bisa kerja tidak sih, suasana bersih itu nyaman, yang bersih! Atau kamu ingin aku pecat, Ha! Heh ... bikin nggak mood, pagi-pagi sudah membuat emosi," ujarnya lalu pergi dengan membanting map-map itu.
Gadis itu hanya merunduk dan menangis sambil terus memedang dadanya yang sakit. Dia mengambil satu-persatu kertas yang berserakan.
"Pastas saja tidak dapat jodoh galaknya MasyaAllah," gumamnya.
***
Andra berada di parkiran dan membuka pintu mobil, ponselnya berdering.
"Hai ... Andra kan?" panggil wanita cantik, Andra segera masuk ke dalam mobilnya karena tidak mendengarnya.
Pemuda angkuh itu segera menginjak Gas mobil, namun rem mobil juga di injaknya dan mobil pun berhenti.
"Heh ... Aku melupakan sesuatu, jika pulang dan bermain dengan Aidil. Oma pasti mencari cara agar berhasil menjodohkanku. Lebih baik aku bayar saja gadis OB tadi untuk jadi pacar bohongan," pikirnya, dia kembali turun dari mobil.
"Andra ... Ih," keluh wanita yang lalu menghampirinya.
"Aku lupa, siapa?" tanya Andra acuh dan fokus ke ponselnya.
"Bagaimana bisa kau mengingatku jika penglihatanmu fokus ke layar ponsel," tegurnya lalu menarik dagu Andra.
"Bukan muhrim!" Andra menatap dengan tidak suka namun dia memperhatikan gadis yang berdiri di depannya.
"Oh ... Aninda, iyakan?" tanya Andra kemudian, dan segera menjabat tangan teman masa kecil sampai SMA.
"Katanya tadi bukan muhrim. Jangan galak-galak dong. Mari makan, sibuk tidak?" tanya Anin.
"Aku sih selalu sibuk," jawab Andra dengan tersenyum.
"Sesekali tiga puluh menit, yuk," ajak wanita cantik itu, Andra melihat jam lalu mengangguk dan mengunci mobil, kemudian berjalan dan masuk ke salah satu cafe di depan kantornya.
"Hih ... sibuk muluk sih," tegur Anin ke Andra yang fokus dengan ponselnya, semua perhatian Andra ke ponsel itu.
"Bagaimana lihat tuh tugasku," Andra melihatkan layar ponselnya. Anin tertawa saat tau bukan tugas penting melainkan menyelesaikan game.
"Hehehe Ya ampun ...."
"Baiklah, kita boleh saja bertemu kapanpun, asal satu jangan membahas soal wanita," tegur Andra sebelum masuk ke topik perbicangan.
"Andra. Andra, bagaimana bisa dulu kamu playboy dan sekarang seperti muak pada wanita."
"Plis jangan bahas itu, tolong kisahkan saja cerita hidupmu," pinta Andra, Anin tertawa kecil.
Dretttt!
Dretttt!
"Halo Rafi."
"Mas, Oma ...." teriak Rafi, Andra terkejut dia berdiri.
"Fi, kamu di mana? Aku pamit Nin," kata Andra bergegas dan berjalan cepat. Dia masuk ke dalam mobil, menginjak pedal gas dan melaju dengan kecepatan tinggi.
"Ya Allah ... Aku kira tadi Oma hanya pura-pura makanya aku abaikan, namun ternyata Oma serius, bagaimana jika Oma, hef ... Mending aku turuti apa maunya." Dia terus bicara sendiri dengan penuh penyesalan.
Mobil berhenti di parkiran depan Rumah Sakit Graha Medika Jakarta pusat. Andra turun dari mobil. Dia segera berlari, langkahnya semakin cepat, melihat Rafi meronta dan menangis tersedu-sedu.
"Hah ... Pasti ekting, Faisal sama Raffa tidak terlihat, jelas saja ini modusnya Oma," gumam Andra lalu masuk dengan akting menangis.
"Oma ... Aku akan menuruti semua keinginan Oma, oke aku mau di jodohkan, dengan gadis pilihan Oma, Oma ... Oma ..." Andra menangis di lengan keriput Omanya, Oma dan Rafi saling melirik Andra mengangkat wajah dan memergoki Omanya yang mengode Adiknya.
"Aku tau ini hanya hoax, kalian pura-purakan? Rafi bohong karena butuh uang dan Oma karena masalah perkawinan. Baiklah Oma nikahkan saja aku, tapi jangan salahkan jika aku tetap acuh kepada istriku," ucapan Andra membuat Omanya menangis.
"Hek hek heks, kamu malah berkata seperti itu, terserah kamu jika mau melajang jangan lagi bicara sama Oma," ujar Omanya menghapus air mata dan sangat kesal dengan Andra. Andra duduk di sofa merasa lelah dengan penat saat membahas soal nikah.
"Mas, lagian wanita itu keindahan, Mas ayolah pikirkan Mas sendiri, kami sudah baik-baik saja, giliran Mas hidup bahagia, sekarang tanggung jawab kami untuk membuat Mas menikah," sahut Rafi ikut duduk dan merangkul Kakak pertamanya.
"Mas, selama ini setelah Mama dan Papa meninggal Mas sibuk kantor, Kak Faisal juga sibuk dan sekarang Raffa juga mulai kerja, jadi sekarang ayo pikirkan kehidupan Mas," Rafi terus membujuk.
"Masalahnya aku tidak ada hati, masa menjalani pernikahan karena terpaksa, kan malah menyiksa." Andra menatap Adiknya penuh curiga.
"Mas, ih serem. Aku beneran dukung," kata Rafi risih dan takut dengan tatapan tajam sang kakak. "ih takut ah ...." Rafi melarikan diri.
Bersambung.