Chereads / Cinta Pertama Jingga / Chapter 16 - Sesak di Dada

Chapter 16 - Sesak di Dada

Sambutan demi sambutan ia terima setiap kali pulang, tapi hari ini dia harus melihat istrinya itu berkemas.

Tidak akan ada lagi gerak lincah, ocehan manja dan juga bayangan yang berkelabatan untuk menggodanya, membuat dirinya kesal bukan main. Jingga akan pergi ke kota kelahirannya lebih dulu untuk meneruskan kuliah akhir juga menjalankan usaha yang cukup lama Jingga tinggalkan untuk fokus pada pernikahan ini.

"Kakak nggak mau bantuin aku apa?" tanyanya, rambut sebahu itu terkucir tinggi seperti ekor kuda, poni kesayangan Jingga pun mulai tumbuh dan menjuntai ke dekat mata.

Andra tahu bahwa hari ini akan menjadi hari terakhir mereka tinggal bersama, perpisahan yang singkat sebelum akhirnya dia juga akan menyusul Jingga ke kota itu. Bukan Jingga yang ikut tinggal di kota besar ini, melainkan dirinya sendiri karena para orang tua juga ada di sana.

Tubuh besarnya duduk tepat di depan Jingga, celana kolor dengan warna pink itu membuat Jingga cengar-cengir sendiri. Dia tidak akan mencuci pakaian suaminya untuk beberapa hari ke depan sampai surat dinas itu ada, Andra pasti akan kesulitan mencari baju ganti dan pada akhirnya memilih untuk membeli di mini market, hal buruk yang tidak banyak orang tahu, tapi Jingga tahu setelah beberapa hari menjadi istri Andra.

"Lo mau bawa ini semua?" tanya Andra, dua koper besar dan masih ada lagi, semua barang Jingga, seingatnya dulu pindah ke unitnya tidak membawa barang sebanyak ini.

Jingga mengangguk, "Banyak ya?"

"Bawa apa aja emangnya?"

"Baju Kakak juga sebagian aku bawa sama perlengkapan yang sekiranya nggak terlalu kamu butuhin di sini, jadi aku pindahin lebih dulu."

"Oh, pantesan." Andra mencoba periksa satu koper berukuran besar dengan tali ikat berwarna biru itu. Di dalamnya benar ada barang yang memang miliknya dan tersimpan lama di lemari besar kamarnya, Jingga sudah menyiapkan semua itu.

Tanpa ia suruh dan harusnya dia yang repot menyiapkan semuanya, tapi nyatanya gadis bertubuh kecil dengan gerak lincah dan bibir banyak bicara seperti petir itu yang menyiapkan, lengkap dan dari semua barang itu memang bisa Jingga bawa lebih dulu.

Sedih, sesak dan khawatir. Itu yang Jingga rasakan meskipun saat ini matanya masih bisa memandang wajah tegas suaminya, selama dia tinggal di sini pola makan dan minum Andra sangat teratur, entah nanti bagaimana kalau dia tidak di sini lagi, tidak ada yang mengingatkan dan memaksa Andra untuk tetap menjaga pola hidup sehatnya.

Jingga periksa kulkasnya, beberapa olahan ayam dan ikan segar sudah ia simpan di box dengan racikan bumbu lengkap, Andra tinggal menghangatkan atau mungkin menggorengnya saja. Tapi, jelas itu tidak akan cukup, bisa cukup kalau Andra tidak makan sehari tiga kali, kakinya melangkah ke sisi lain, memeriksa persediaan buah dan aneka minuman sari buah yang biasa Andra konsumsi sejak ia di sini, semua sudah Jingga perhitungkan sebelum hari perpisahan itu tiba.

"Surat nikahnya aku bawa ya, Kak."

Andra mendongak, sinar laptop itu membuat wajahnya semakin tampan saja di mata Jingga.

"Bawa aja, siapa juga yang mau bawa ke pegadaian ...."

"Iiiihh, suka tengil gitu deh kalau diajak ngomong, aku ini serius. Siapa tahu kamu bawa duluan ke pengadilan," balas Jingga.

Andra terdiam, ia pandangi punggung yang membelakanginya itu, kalaupun dia harus membawa itu ke pengadilan agama, ia rasa masih sangat lama dan membutuhkan keberanian yang tangguh, sedang saat ini dia tidak berdaya, terlebih lagi Amel akhir-akhir ini merepotkannya dengan banyak permintaan yang tidak masuk akal, bukan membantu, wanita itu justru merumitkan hidupnya.

"Kalau aku nggak di sini, Kakak nggak boleh telat makan, dijaga minum sama pola makan sehatnya, bukan apa-apa, aku nggak mau aja nanti Kakak nyesel karena ada penyakit yang gerogotin organ dalamnya Kakak, ngerti ya?"

Andra mengangguk, ia menoleh singkat pada Jingga. Jujur, memang dia selalu melupakan pola hidup sehat, makan buah saja setelah menikah dengan Jingga tidak bisa ia hitung pakai jari, apalagi di rumah sakit waktu itu, dia bisa mengembang karena buah.

"Jingga boleh minta sesuatu?" tanya Jingga, ini bagian sensitif di mana sejak kemarin membuatnya menahan sesak di dada.

"Apa?" Andra menyingkirkan laptopnya.

"Selama Jingga nggak ada, Kakak jaga diri ya ... aku tahu Kakak nggak suka dan nggak nyaman tinggal sama aku, tapi nama kita udah jadi satu. Aku jaga nama Kakak, begitu juga sebaliknya. Jangan sampe sakit, Jingga nggak ada di sini, tapi kotak obatnya udah Jingga isi penuh, keluhan yang sering Jingga denger kalau kamu tidur, udah ada semua. Terus, yang ada di dalam kulkas, bisa Kakak makan semua, itu Jingga belanja buat kamu. Satu lagi, aku tahu Kakak suka dan cinta mati sama Amel, tapi plis ... tahan diri Kakak ya, bukan demi aku yang bukan siapa-siapa di hatinya Kakak, tapi demi mamanya Kakak aja, bisa?"

Sorot mata Jingga begitu tulus menerpa dan menusuk hatinya, Andra mengangguk tanpa bisa berucap apapun. Kakinya baru melangkah berkeliling seisi unit yang sudah lama ia tempati itu, lebih rapi dan tampak segar dengan adanya sentuhan tangan Jingga di sini.

Andra periksa apa yang Jingga katakan tadi, mulai kotak obat sampai kulkas, ia tersenyum miris, ada sosok yang memperhatikannya saat ini meskipun dia belum bisa memberikan hati itu, bahkan tidak akan pernah bila Amel masih bertahta di hatinya.

Tubuh kecil Jingga sudah terlelap di balik selimut tebalnya, meringkuk seperti bayi yang meminta perlindungan pada ibu mereka.

"Kalau tidur ya bagus loh gayanya, nggak bawel juga nggak bikin kasur gue sempit, dia bener-bener nggak ngelampauin batas yang ada. Maafin gue ya, lo lebih layak ngedapetin orang selain gue, Jingga. Gue buruk dan gue rasa nggak pantes buka hati buat lo, maafin gue ...."

Bibirnya berkata seperti itu, tapi tangannya terulur untuk mengusap kening Jingga, tatapannya menghangat seolah merasa ada yang tersengat di sana, tidak hambar seperti saat dirinya bertemu Amel akhir-akhir ini, wanita itu sudah berubah dan semakin tidak jelas.

Tapi, siapa yang akan menyalahkan cinta? Tidak ada, kalau bisa mengalihkan dan dia merasa baik, dia pasti sudah membuka hati untuk Jingga. Namun, dia terlalu buruk untuk menjadi suami selamanya gadis itu.

***

"Jangan ada yang lupa, gue anter nanti!"

"Kan, Jingga sama supir, nggak setir sendiri. Kakak khawatir?"

"Bukannya gitu, gue udah nikah sama lo, nggak pantes gue diem di sini waktu lo pergi, apalagi di sana rumah mertua."

Jingga tersenyum, tidak masalah untuk saat ini alasan klise itu Andra gunakan, tapi nantinya dia akan mendapatkan alasanm terbaik dari hati pria itu.

"Boleh nggak aku peluk Kakak sebentar aja?" Jingga tahan tangan Andra yang endak mengangkat tasnya. "Jingga nggak bermaksud apa-apa kok, cuman mau peluk Kakak sebelum pergi."