Chereads / Cinta Pertama Jingga / Chapter 19 - Perhatian Arka

Chapter 19 - Perhatian Arka

"Kakak marah?"

"Nggak, siapa yang marah, ngapain juga gue marah sama lo, malah bagus kalau ada temen cowok yang perhatian sama lo!"

Jingga mencebik kesal, bisa-bisanya dia terlena dan terlalu percaya diri menghubungi Andra, tahu begitu jawabannya dia tidak akan membagi kabar lagi.

Tut,

Panggilan itu terputus, Andra pandangi layar gelap ponselnya itu. Sulit untuk menentukan dia cemburu atau tidak di sini, sontak saja tangannya meremat kesal mendengar curhatan Jingga akan teman baru bernama Arka itu, terlebih lagi dia berasal dari teman lama nenek Jingga yang tentunya tak jauh beda dari dirinya.

"Bodo ah, biarin aja tuh bocah kenalan sama cowok lain, malah bagus buat masa depannya. Nggak penting juga dipikirin!"

Duar,

Andra tersadar saat membuka kulkasnya, semua menu yang tersimpan di sana tidak lain adalah hasil karya tangan Jingga yang membuat untuknya. Jingga selalu memikirkannya dari hal kecil sekalipun, bahkan keluarganya.

Namun, entah setan mana yang menghantui Andra hingga tak bisa melepas Amel dan membuka hatinya untuk Jingga. Alasan karena dia takut merusak masa depan Jingga hanya klise semata, masa depan bisa dibangun dan diubah mulai saat ini, hanya saja dia terus memakainya agar Jingga bisa terpukul mundur dan tidak terlalu berharap.

"Enak nggak ya?" Andra cicipi ayam ukep yang Jingga simpan, ia goreng lagi sampai kecoklatan. "Enak banget bumbunya meresap ke ayam sampe tulang, pinter masak nih bocah!"

Andra lahap, ia bahkan terkekeh sendiri karena belum ada nasi yang ia masak. Kemarin, ada Jingga di sini, hanya beberapa hari saja berhasil membuatnya asing pada hidupnya sendiri.

Sesuai apa yang Jingga tulis di lemari atas kompor itu, cara memasak nasi dengan magic com, Andr ikuti dengan hati-hati, salah tahap satu saja bisa membuat nasinya terlalu lunak.

"Tangan dia sama tangan gue, besar gue. Sama nggak ya?" Andra timang sendiri, ia sampai membuka youtube untuk memeriksanya, setelah yakin baru ia celupkan jari telunjuk untuk mengukur takaran air di beras itu. "Pas, udah tinggal masak aja, ini dipencet ke bawah, ready!"

Satu jam, masih satu jam lagi dia harus menunggu nasi itu matang, perutnya sudah tidak tahan lagi.

Terpaksa, tidak ada pilihan lagi, ayam satu ekor yang Jingga potong kecil-kecil itu Andra goreng semua, ia makan sambil menunggu nasinya matang, bumbu ulek yang meresep ke dalam daging ayam itu nagih sekali, Andra bahkan berulang kali menyeka air liurnya di sana.

Tiiiiitttt ...

Bunyi bel nasi, tanda sudah matang dan siap dia lahap. Nyatanya dia masih kurang sampai menghabiskan dua porsi nasi di sana, seorang diri dengan lampu redup kuning yang membayanginya.

Dreet, dreeet ...

[Kakak, jangan lupa makan. Inget, kalau ada apa-apa bisa tanya aku!] Jingga.

Andra usap mulutnya yang penuh bekas minyak ayam, sudah habis, hanya tersisa nasinya saja untuk pagi hari, satu ekor ayam yang Jingga potong kecil itu sudah habis tak bersisa.

Balas atau tidak, tapi sudah ia buka dan pasti Jingga menunggunya. Andra goyangkan jemarinya di atas layar pipih itu, kalau ia balas itu artinya memberi harapan pada Jingga, kalau tidak ia balas artinya dia tidak menghargai Jingga yang memasak di sini.

Apa, jawaban apa yang harus dia berikan yang bisa memukul Jingga mundur cepat?

Ah,

Andra langsung mengambil ponselnya, jari itu bergerak cepat mengetikan satu rangkaian kalimat yang sangat menusuk hati Jingga tengah malam ini, mungkin Jingga akan berhenti mencintainya.

[Udah, habis barusan dimasakin ayamnya sama Amel, enak katanya.] Andra.

Andra yakin Jingga di sana tak mau membalas pesan itu lagi, sekadar Jingga baca dan dibiarkan begitu saja, hati istri mana yang tidak sakit bila suami yang ia jaga dan siapkan justru makan bersama wanita lain, bahkan sudah menjadi pacar gelap juga.

"Huuuhhh, nggak bakal bales dia, pasti udah nangis di sana. Bagus kayak gitu!" oceh Andra sebelum terhempas ke ranjang dan terlelap.

Jujur, dia sendiri berusaha menepis keras bayang wajah sedih Jingga di benaknya itu.

***

"Kamu ke kampus?" tanya Arka yang hari ini benar datang ke kedai jus Jingga.

Jinga yang terkejut sontak mengangguk, matanya berkedip cepat seolah bertanya ada apa Arka mencarinya di kedai jus ini.

"Barengan aja, aku juga ada arah ke sana kok."

Jingga menoleh pada Sigit, mereka terkekeh bersama-sama, menggaruk kepala yang tidak gatal.

Mau tidak mau karena Sigit tidak ke kampus hari ini, Jingga pergi ke sana bersama Arka, bukan dengan mobil yang biasa dia tempuh bersama Andra, melainkan dengan sepeda motor sport yang membuatnya harus meloncat saat endak naik.

"Kamu udah semester berapa?"

"Udah akhir, sengaja aja aku panjangin karena suka temen di sini, jadi kompakan mau selesai kapan."

"Emang nggak mau kerja aja apa?"

"Pengennya, tapi nikmatin dulu aja kali, iya kan?"

"Ahahahahh, kamu ini. Aku tungguin kamu nanti waktu pulang ya di sini?"

"Eh, jangan, Arka. Kan kamu-"

"Nggak apa, lagian kemarin aku udah dateng ke rumah buat kenalan sama orang tua kamu, aku harus tanggung jawab sama kamu, iya kan?"

Jingga mengangguk, memang menggiurkan tawaran seperti ini daripada balasan Andra semalam, entah benar atau tidak, jujur Jingga merasa sakit hati karena jawaban itu.

Ayam di sana ia buat dengan bumbu cinta yang ada, tapi malah Andra nikmati bersama wanita lain yang semakin membuatnya kesal saja

Punggung Arka pagi ini cukup membuat Jingga terhibur, ke kampus hanya untuk mengisi waktunya saja, dia sudah selesaikan semuanya, hanya saja ingin lebih lama menikmati hari muda seperti ini.

"Jingga, kamu beneran udah nikah?" tanya salah seorang teman kampusnya.

"Udah, kenapa?"

"Kok kamu dateng sama dia, ganteng lagi. Itu siapa?"

Jingga berdecak lirih, "Kamu itu ya, orang mau tanya soal dia aja pake alesan bahas aku nikah apa nggak, nyebelin!"

"Eh, jawab dulu dia siapa?"

"Bodo'!"

Jingga melenggang pergi, lagipula mereka akan bergosip setelah ini, bukan urusannya orang mau membual apa karena tak merugikannya sama sekali.

Mata Jingga mengedar, selain Sigit ada satu lagi teman perempuannya di kampus ini.

"Aura!" Jingga berjinjit, ia lambaikan tangan setinggi mungkin. "Aura!"

"Jingga, aaaaahhhh ... aku nggak bisa hidup tanpa kamu!"

Dia, Aura, alasan Jingga masih berada di kampus ini. Aura tak sama seperti mahasiswi lainnya yang bisa bergerak cepat dan menyelesaikan semuanya sesuai jadwal, dia punya kekurangan itu, tapi bagi Jingga itu kelebihan yang Aura punya, lebih baik seperti itu daripada normal seperti yang lain hingga merasa punya banyak waktu dan menghabiskannya untuk bergosip saja.