Chereads / Cinta Pertama Jingga / Chapter 20 - Memancing Amarah

Chapter 20 - Memancing Amarah

Aura rangkul teman lama dan setianya itu, sudah lama dan dirasa cukup Jingga berada jauh darinya.

"Kamu beneran nggak apa sama suami kamu?"

"Iya, nggak apa. Dia juga yang mau aku kuliah." Bohong. "Oiya, kamu belum kenalan sama dia ya?" Aura bergeleng cepat, dia bahkan hanya tahu pernikahan Jingga dari media yang ada. "Nanti kalau dia ke sini dan udah tugas di sini, kamu bakal tahu dia itu gimana, ganteng sih, cuman nyebelin!"

"Ahahahah, ketemu di kedai jus ya sama Sigit, dia kasihan baru aja putus, Ga. Ahahhaahahha ... aku seneng kalau dia menderita," ujar Aura.

Terserah, apa yang Aura katakan tak pernah membuat Jingga sakit hati, begitu juga Sigit, mereka sudah biasa sejak Aura masuk ke kampus ini dan diasingkan, hanya Jingga yang mau mendekat, Sigit pun ikut karena dia awalnya ingin mendekati gadis bertubuh kecil dengan gerakan kaki lincahnya itu.

Selepas tugas mereka selesai, lebih tepatnya Jingga membantu tugas Aura di sini selesai, seperti biasanya Jingga akan mengekor pada temannya itu, menunggu sampai Aura dijemput oleh kakak lelakinya.

Jujur, dulu pria itu menyukai Jingga, tapi hati Jingga memang sudah tertutup oleh Andra sejak dulu, tidak ada yang bisa mengkoyaknya.

"Jingga, jangan lupa kabarin suami kamu, nanti dia khawatir loh!"

Jingga mengangguk, pria itu, kakak lelaki Aura melambaikan tangan kepadanya, ia balas singkat dan sekadarnya saja.

Kabarin suami? Cih, jangankan mengabarkan dirinya sudah pulang atau apa di kota ini, mau Jingga jungkir balik juga tidak akan Andra pedulikan di sini, sesak, tapi biarlah.

Tin, tin ...

Jingga terlonjak, tak disangka Arka benar-benar datang menemuinya, tepat waktu dan tidak kurang sama sekali, bahkan dia mau memesan ojek online ke kedai jus Sigit.

Senyum, sapaan yang dua hari ini sangat Arka sukai dari gadis bernama Jingga itu. Walau dimedia telah tersebar luas tanpa Jingga harus mengumumkan pernikahannya bersama Andra karena skandal itu, Arka tetap diam dan berlaga seolah Jingga masih sendiri dan dia masa bodoh akan hal itu.

Selama Jingga mengiyakan pintanya dan mau berbicara dengannya, itu sudah cukup.

"Jadi?"

"Eh, kemana?" kening Jingga terlipat, seingatnya tak ada janji diantara mereka mau ke mana, Arka hanya berkata akan menemuinya selepas kuliah.

"Naik aja, aku mau ajak kamu puter deket sini sampe ke kedainya temen kamu itu. Kamu kan asli sini, Ga. Jadi, sekarang tugas kamu jadi guide aku!"

Apa!

Di mana dia temukan teman sok kenal dan akrab seperti ini, baru saja berkenalan dan hanya berdasarkan ikatan masa lalu keluarganya kemarin, Arka sudah familiar rasanya, tak ada canggung.

Jingga perhatikan dandanannya, berkaca sendiri apa dia pantas atau tidak dianggap sebagai wanita terhormat yang sudah menikah. Jingga rasa masih sangat pantas, mungkin karena pribadinya yang ringan seperti ini membuat banyak orang mudah dan mau berteman dengan dirinya.

"Kita mau ke mana, Ka?"

"Ke mana aja asal sama kamu, jadi inget masa lalu yang aku denger dari ayah dan ibu, mereka seneng gitu bayangin masa lalu yang ada, jadi aku pengen puter ulang sama kamu."

Heh, sialan.

Boleh-boleh dan sah saja kalau mau memutat kenangan masa lalu yang ada, tapi tidak seperti ini juga di mana mereka bukan teman atau apa.

Tapi, bila Jingga ingat kisah masa lalu neneknya itu juga dekat dengan kakek Arka sewaktu sudah menikah, kakeknya pun mengerti dan bisa menerima pertemanan itu.

Satu lagi, dia dan Andra punya perjanjian di mana urusan pribadi tidak akan jadi masalah.

Hufft, Jingga hela napas panjang, dia ingin menjadi istri yang baik sebenarnya.

"Mau foto nggak?" tawar Arka.

Ting,

Satu ide muncul di benak Jingga, dia mungkin tidak menarik di mata Andra karena dia selama ini terlihat begitu memuja Andra.

Kesempatan di mana dia bisa berjalan dengan Arka dan mengambil banyak foto bersama pria itu, setidaknya iseng-iseng berhadiah. Siapa tahu Andra akan cemburu kepadanya.

***

"Ndra, beneran kamu nggak mau masukin?"

Amel gemas seperti ini terus, mereka bertemu dan bercumbu, tapi Andra tak mau menuntaskannya.

Andra hanya menarik ulur hasratnya lewat jemari saja, tidak dari miliknya yang sangat sesak di lubang Amel itu.

"Nggak, maaf ... kerjaan aku lagi banyak, Mel. Tapi, kamu udah puas kan, kamu udah lepas tadi, banjir tanganku."

Andra pakai kembali kaosnya, celana itu masih terpasang sempurna, bahkan tangan Amel tak sempat masuk mengoyak dan membuat tiang itu berdiri tegak juga keras.

Ameh mendesah sekali lagi, ia kira akan membuat Andra ingin lebih kepadanya, sengaja belum memakai pakaian dalamnya.

Hari ini hasratnya sangat besar, hanya Andra yang dekat dan bisa membantunya, tapi pria itu malah acuh akhir-akhir ini.

"Kamu kerja apa sih?"

Andra alihkan layar ponselnya, tadi baru saja sebelum bercumbu dengan Amel, dia melihat pesan yang Jingga kirimkan, gadis itu sedang bersama Arka, pemuda yang baru dikenal dan punya hubungan masa lalu dengan mereka.

Foto itu sangat mengganggu, Andra tahu cintanya tak ada untuk Jingga, dia pun tak mau memberi harapan palsu, tapi Jingga sadar atau tidak telah sah menjadi istrinya, ada bagian yang tidak rela saat melihat kedekatan Arka dan Jingga hari ini, dia sangat terganggu.

Tidak ada respon, Amel punguti bajunya yang terlepas, ia pasang kembali tepat di depan Andra. Andra hanya memijat keningnya, selain urusan pekerjaan, menahan amarah seperti ini sangat tidak nyaman.

"Kamu mau ke mana? Nggak jadi bikinin aku makanan?"

Andra tarik resleting jaketnya, dia bergeleng. "Kamu bisa beli sendiri, kan? Lagian aku laper kemarin juga kamu suruh beli sendiri."

"Ish, apaan sih? Kamu kenapa sih, Ndra? Kok kamu berubah?"

Andra tak menjawab, tapi dia pastikan jawabannya adalah iya.

Amel dari dulu seperti ini, suka memerintah dan tak peduli pada dirinya baik itu urusan perut. Andra selalu membuat Amel puas dan terpenuhi semua kebutuhannya, tapi tak ada balasan di sana dan semua yang ia lakukan sia-sia sejak Jingga datang, selama ini dia tidak merasa karena tak ada pembandingnya.

"Lo di mana?"

"Di kedai, Kakak belum pulang?"

"Lo nggak tahu waktu apa? Pulang sana!" sentak Andra. "Jangan jadi liar ya di sana, lo harus tahu diri!"

"Kakak kenapa sih? Marah nggak jelas, lagian ini juga kedainya Sigit, mantan punya Jingga juga, ibu sama ayah tahu kalau aku di sini!"

Senang, pancingannya dilahap Andra, bahkan dia hampir menyemburkan tawa karena ini.

"Ngga, siapa?"

Mata Andr melebar, itu jelas suara laki-laki, dan asing di telinganya. Bukan Sigit, Andra kenal suara teman lama Jingga itu.

"Temen aku, Ka."

Temen? Andra semakin geram.