Andra mondar-mandir di kamar itu, sesekali matanya melirik Jingga yang masih sibuk melepas bajunya dan menyisir rambut yang sedikit kaku.
Malam ini tanpa ada rencana, mereka tidur di sebuah hotel mewah sebagai bentuk hadiah keluarga besar atas kebesaran hati keduanya.
Kaki Andra berhenti tepat di depan tubuh kecil yang baru saja selesai berbenah itu.
"Mau ke mana lo?" tanya Andra gemas, Jingga seolah lupa dengan janjinya akan menemani Andra menemui Amel malam ini.
Jingga sibakkan rambut kecoklatan itu, ke kanan dan kiri. "Mau anterin kamu, kenapa?"
"Nggak pakek baju gitu juga, Jingga!" kesah Andra.
Jingga memakai daster tidur berbahan satin dengan belahan dada berenda yang cukup lebar, beruntung tertutup dengan rambutnya.
Pandangan Andra tertuju pada lutut yang terbuka sebagian itu.
"Pake celana sana!" titahnya.
"Kenapa? Kan, aku di mobil aja nunggu kamu. Udah, yuk!"
"Nggak, lo kira turun ini kayak jin menghilang apa? Pakek celana, mau hibur pelayan lo, sana!"
Andra dorong tubuh kecil itu masuk kembali ke kamar mandi, mengambil celana yang tersampir dan ia berikan pada Jingga.
Dengan wajah tertekuk, Jingga melangkah ke luar.
"Apa? Mau protes apa lagi?" tanya Jingga menantang.
"Aaarh, lepas ikatan rambut lo!" Andra tarik kucir rambut yang membuat belahan dada itu terbuka di depan matanya. "Lo itu udah nikah, jangan asal!"
"Ihh, katanya nggak diakuin, sekarang posesif. Udah cinta sama aku?"
Andra hanya melirik tajam, ia lantas berlalu lebih dulu dan membiarkan Jingga menutup rapat pintu kamar malam pertama mereka.
Setengah berlari Jingga mengejar langkah Andra yang lebih lebar dan panjang darinya, masih dengan gaya centil dan percaya dirinya, Jingga lingkarkan satu tangan ke lengan Andra.
Namun, ia lepas karena Andra meliriknya tajam sekali lagi.
Jingga berjalan di samping suaminya itu, banyak yang melihat dan mendapatkan balasan senyum dari Jingga di sana.
Semua ini kejutan dari keluarganya dan Jingga sama sekali tidak meminta adanya kesan malam pertama dari pernikahan bak politik ini.
Sret,
Jingga hentikan langkahnya, ia menoleh untuk melihat pada siapa sang suami itu melotot tidak terima.
Bukan hanya itu, Andra mendadak menghampirinya dan memberi jaket jeans yang ia kenakan untuk Jingga.
Tidak, itu bukan cinta, tapi perasaan di mana Andra menganggap Jingga adalah adiknya.
***
Mata Jingga menyipit, memastikan wajah Amel yang berada lima meter dari posisi duduknya.
Andra sudah bertemu dengan pujaan hatinya itu, ia peluk dan kecup kening juga bibir Amel di sana.
"Nyamuknya ganas banget, kasihan tangannya Jingga ini," gumam Jingga, ia lirik Andra yang tengah duduk sembari memeluk mesrah Amel di sana.
Itu suaminya, bukan pria lain yang bisa ia lepaskan untuk memeluk wanita selain dirinya. Tapi, dia bisa apa kalau pernikahan ini dari awal sudah memiliki tujuan yang lain.
Jingga hanya memilin jemari sampai Andra kembali dan mengajaknya pulang, wajah Andra sudah berbeda dari sebelumnya, ada roba bahagia di sana.
"Kenapa?" tanya Andra, heran melihat Jingga sibuk menggaruk tangan, kaki dan leher.
"Banyak nyamuk tadi, nggak apa." Jingga gosok-gosok terus.
"Sini gue lihat!"
Jingga jauhkan tubuhnya dari Andra yang beranjak mendekat, timbul rasa canggung di sana.
Mesin mobil itu pun menyala dan mereka bersiap untuk kembali ke hotel.
Tidak banyak yang Jingga katakan selama perjalanan, dia hanya fokus pada jalanan kosong dan rasa gatal yang menyerbunya itu.
Malam pertama keduanya terasa sangat asing.
Andra sibuk memejamkan mata di ranjang yang sama dengan Jingga, sedang gadis itu berulang kali berganti posisi karena rasa gatal yang menyerang.
Jingga putuskan untuk mandi dan duduk di dekat jendela saja, mendadak ia teringat pada kakak lelakinya.
Jangankan melihat dia gatal-gatal seperti ini, ia berkata banyak nyamuk saja, Kelana sudah berlari mencari obat nyamuk dan obat gatal.
"Jingga kangen sama kak Lana, pengen peluk beneran," gumamnya pedih.
Di malam pertama dan hari pernikahannya, ia harus melihat suaminya senang bertemu dengan wanita lain.
Resiko yang ia ambil sangat berat rupanya, Jingga hela nafas berulang kali, sebelum ia putuskan duduk di tepi ranjang dan menikmati teh hangatnya seorang diri.
***
"Lo nggak tidur semalem?" tanya Andra, ia melihat mata hitam Jingga.
Jingga mengangguk.
"Kenapa?"
"Gatal kulitnya, mandi sana, biar kita cepet balik ke rumah. Eh, maksud aku ke unit kamu," jawab Jingga santai.
Ia lantas berjalan untuk membuka korden putih kamar itu.
Andra tarik tangan kecil yang mengayun itu, ia paksa Jingga untuk melihat bekas gigitan nyamuk yang menyebabkan iritasi pada kulit Jingga.
"Habis mandi, gue beliin obat sama salepnya, tunggu!"
"Nggak perlu, aku bisa beli sendiri nanti."
Andra berbalik, "Lo mau ke luar kayak gitu? Dilihatin orang garuk-garuk terus, bisa nggak lo nggak usah keras kepala?"
Jingga terdiam, kalau saja tidak gatal, sudah ia cakar wajah Andra atau mungkin mereka saling menarik rambut.
Kali ini ia hanya bisa patuh sampai ia selesai mandi dan membiarkan Andra mengoleskan salep itu ke kulitnya.
"Kenapa nggak tidur semalem?" tanya Andra bersuara lirih, ia sampai mimpi buruk karena merasa tidak enak pada Jingga yang menjadi tamengnya saat bertemu Amel semalam.
Gadis itu menggeleng lemah, "Nggak apa, cuman gatal aja."
"Kenapa nggak minta obat sama gue kemarin, hah?"
"Nggak, nanti kamu marah. Kamu kan galak kalau sama aku," jawab Jingga melengos sebal.
Andra pejamkan mata singkat, menarik nafas dalam dan membuangnya perlahan.
"Udah, lain kali ngomong kalau ada sesuatu kayak gini!"
"Emang kamu bakal peduli?" balas Jingga terdengar pedih, gadis itu berlanjut membereskan barang-barangnya, bersiap untuk kembali ke unit di mana dirinya dan Andra akan tinggal bersama.
Andra pandangi punggung kecil itu, dia tidak bisa membalas ucapan Jingga.
Andra hanya bisa mengumpat dalam hati, dia ingin peduli, tapi kepeduliaannya takut berubah menjadi cinta yang sejak awal sudah ia berikan pada Amel.
Terlebih lagi Amel datang malam itu, menemuinya dan membiarkan cinta mereka mengalir kembali, bahkan Amel tidak keberatan dengan hubungan terlarang ini.
"Mau beli sesuatu?" tawar Andra.
"Emm, aku cuman mau beli isi dapur aja, Kak. Anterin ke supermarket itu aja," jawab Jingga.
Andra mengangguk, selama ini dia tidak pernah membeli kebutuhan dapur, biasanya orang kantor yang membawakan dan dia tinggal menata saja, bahkan kalau ada Amel, mereka pesan online terus.
"Kak Andra suka ikan apa?" tanya Jingga.
"Beli kesukaan lo aja, gue gam-"
"Beli semua, nggak aku atau kamu, kan semua makan. Kamu suka apa? Nanti, Jingga masakin yang enak," balas Jingga.
"Emang bisa?"
"Eh, jangan remehin aku ya! Gini-gini aku bisa apa aja, mencintai kamu aja aku bisa."
Deg,