"Makan ya, kata dokternya harus makan, bubur gini nggak apa, nggak bikin sakit."
Andra bawakan bubur yang baru saja diantar itu ke dekat Jingga, kemungkinan mereka dua hari akan menginap di sini.
Tidak ada cuti yang Andra ambil, hanya cukup menutup mulut karena tidak ingin keluarga Jingga tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Nggak ada rasanya, Kak," ujar Jingga enggan menerima suapan kedua dari suaminya.
"Makan aja, dipaksa. Ayo!" Andra goyangkan sekali lagi.
Jingga masih mengerucutkan bibirnya sampai di mana Andra harus mengambil satu langkah yang bisa membuat Jingga mau menurut kepadanya.
Gadis yang sudah ia nikahi itu tetaplah bocah di mata Andra, ia rentangkan satu tangan untuk mengusap kening berponi Jingga, ia usap perlahan berusaha merayu agar istrinya itu mau menurutinya.
Pelan-pelan tapi pasti, Jingga mulai memberi respon, ia tatap mata Andra yang seolah memohon kepadanya.
"Dikit aja ya, Kaaak," ujarnya memutuskan.
Andra mengangguk, ia hela nafas panjang di sana.
"Tiga aja makannya," ujar Jingga sekali lagi memberi syarat.
Andra mengangguk sekali lagi, ia suapkan dan berusaha mengalihkan perhatian Jingga lewat usapan di kening.
Bayangkan saja, Andra bahkan tak biasa bertemu dengan gadis semudah Jingga yang hanya dengan sentuhan saja bisa meredakan emosinya.
Sejauh ini yang kerap Andra temui ketika mereka marah akan selalu meminta uang untuk belanja banyak dan bisa menghabiskan jatah satu minggunya.
"Udah, Kaaak!" Jingga protes.
"Lo makan harus banyak, ini bubur yang bikin sehat. Gue nggak ada masakin di rumah kalau lo nggak ada," balas Andra beralasan.
Jingga menoleh cepat, matanya sontak berkedip dan membuat bulu mata lentik di mata sabit itu bergoyang bebas ke atas lalu bawah.
"Kakak mau aku masakin?" tanyanya.
"Hem, sepi nggak ada lo tadi, laper gue!"
"Yauda, aku juga mau masakin kamu. Tunggu ya, nanti kalau aku sembuh bakal aku mas-"
"Tapi, nggak makanan pedes ya!"
Jingga sontak mengangguk cepat, bahkan berulang kali.
Kalau bisa, ingin ia peluk erat suaminya itu. Cukup sulit sampai akhirnya Andra berkata seperti itu kepadanya.
Haruskah ia sakit terus agar suaminya itu memberi perhatian?
Mata sabit Jingga menggenang seketika, ia palingkan wajahnya saat Andra kembali duduk ke sisi ranjang dan memberinya minum.
Pandangan Andra masih sama, tapi bisa saja Jingga salah arti.
Ia berharap terlalu tinggi, tak kuasa untuk terjatuh.
"Habis ini ada suster kontrol, nurut dan inget apa yang dia omong ya!"
"Iya, Kak. Kamu mau ke mana?" balas Jingga.
"Tidur, capek gue. Di rumah udah kotor semua, belum kerawat, gue bersih-bersih." Andra mengoceh sembari berpindah posisi.
Ruang rawat kelas VIP itu cukup membuat Andra merasa lebih baik dan istirahat tanpa takut sakit punggung.
Ia rebahkan tubuhnya, memejamkan mata yang sudah dirasa cukup lelah hari ini, banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan dan tidak mungkin dia meninggalkan Jingga terlalu lama.
Jingga pandangi wajah lelah suaminya itu, walau mereka menikah tanpa cinta dari satu sisi, Jingga masih merasa beruntung akan hubungan baik seperti saudara sejak lama.
"Malam, udah enakan belum?" sapa perawat yang bertugas.
Jingga tersenyum, "Iya, udah enakan karena dipaksa makan sama suaminya, eheheheh."
"Hem, seneng banget jadi pengantin baru, bisa dimanja tiap hari ya, langgeng ya ...."
Jingga terkekeh pelan, ia persilahkan perawat itu untuk memeriksanya.
Sudah tidak ada demam, nyeri ataupun diare yang mendadak muncul hari ini.
"Kapan aku boleh pulang?" tanya Jingga.
"Besok siang udah boleh, setelah dokter visit ya, mohon ditunggu."
"Makasi," balas Jingga.
"Nggak sabar mau pulang biar bisa masakin suami ya?" Perawat itu berkedip sembari melirik Andra yang terlelap lewat ekor matanya.
"Eheheheh, Suster tahu aja. Dia itu kelaperan kalau nggak ada istrinya, dia capek bersihin rumah karena nggak tahu tempat rapinya di mana, dia butuh Jingga banget di rumah," papar Jingga.
Sungguh, kalau saja Sigit dan teman lainnya melihat Jingga kali ini pasti menilai berbeda dari Jingga yang terjun di dunia bisnis itu.
Jingga seolah berganti menjadi sosok anak kecil polos yang manja bercampur dewasa, dalam arti dia bukan orang yang merepotkan, justru siap untuk direpotkan.
***
"Hem, aku lagi di rumah sakit, Mel." Andra mengusak rambutnya, disaat Amel ingin bertemu, dia tidak bisa.
"Jadi, kamu milih dia daripada aku, Ndra?" tanya Amel tegas.
Andra mengesah pelan, "Gini, aku baru bisa temuin kamu kalau Jingga udah ke luar rumah sakit, nggal bisa kalau sekarang, nanti dia kalau butuh apa-apa nggak ada yang bantu!"
"Aaargh, apaan kamu ini! Aku mau sekarang kamu anterin belanja, pokoknya kamu harus bisa, Ndra!"
"Ak-"
Andra remat ponselnya, antara kekasih dan istri, tidak mungkin ia memilih salah satu.
Kekasihnya adalah cintanya, tapi Jingga itu adalah gadis yang ia nikahi sah di mata agama dan negara, bahkan di depan banyak saksi.
"Mel, Amel, nggak gitu!" Andra hubungi sekali lagi. "Aku nggak mungkin ninggalin Jingga, besok aja ya, sayang, pliss!"
"Kamu tetap pilih dia?"
"Ini bukan pilihan, Mel. Kamu sama dia itu-"
"Sama pentingnya, gitu?" potong Amel.
Andra gelagapan menjawabnya, belum lagi saat dokter yang menangani Jingga datang untuk memeriksa dan memberi surat untuk pulang.
Tidak mungkin Andra tinggalkan istrinya itu, Jingga masih sangat lemah bila seorang diri.
"Gimana, Dok?" tanya Andra.
"Oh, ini suaminya ya ... dia udah membaik dan boleh pulang, pokoknya jangan biarin capek sama banyak pikiran ya, dia udah mikir mau masakin suaminya apa ini tadi," jelas dokter itu.
Andra tersenyum tipis, ia berganti ke sisi Jingga yang cengar-cengir, satu ucapannya saja bisa membuat mood Jingga membaik dan hari berubah cerah.
"Aku udah boleh pulang, Kakak nggak ke luar rumah, kan?"
"Kenapa emangnya?"
"Kakak mau ke luar rumah? Ke mana?" balas Jingga.
Andra bergeleng, "Kalau lo mau sesuatu kan ya gue ke luar, masa iya orang baru opname udah main belanja sendiri!"
Jingga sontak memalingkan wajahnya, rona merah itu semerbak dan menyebar sampai ke seluruh bagian wajah.
Bahkan, demamnya muncul kembali.
Istri, itu yang Andra pilih untuk saat ini. Entah bagaimana hubungannya dengan Amel.
Seperti buah simalakama, maju dan mundur tetap saja salah.
"Kakak, gandeng!" pinta Jingga.
"Sini!" Andra ulurkan tangannya, di depan para perawat tidak mungkin ketus dan acuh pada istrinya.
Jingga raih uluran tangan itu, ia genggam tangan suaminya erat, bahkan ia rapatkan.
"Kenapa sih?" Andra berbisik, satu tangan menjadi pegangan Jingga, satu tangan membawa tas berisi perlengkapan Jingga.
"Nanti aku jatuh kalau jauh-jauh, terus Kakak dilihatin suster cantik itu, Jingga nggak mau," ujarnya posesif.
"Hush!"