Andra ikuti saja langkah kecil dan cepat istrinya itu, sosok gadis bertubuh kecil dengan rambut kecoklatan yang entah sudah mengambil berapa banyak jenis bahan makanan.
Dua troly penuh pada akhirnya, semua yang ada di depan mata dan dirasa sangat Andra butuhkan, semua Jingga ambilkan.
"Bayar pake ini, Jingga," ujar Andra, ia sodorkan kartu debitnya.
"Iya, Jingga tahu kok kalau jadi istrinya Kakak itu harus nurut." Jingga ambil kartu debit suaminya itu, ia tahan karena tidak tahu nomor pinnya, Andra lantas mengambil alih karena pin itu masih menjadi milik Amel, di sana tanggal lahir Amel menjadi pin semua kartunya.
Dari satu kali lirik saja otak Jingga bisa mencerna dan menghafal dengan baik angka berapa saja yang Andra tekan meskipun suaminya itu belum memasrahkan kartu kepadanya.
Jingga dorong troly yang sudah berisi banyak kantong penuh itu, sementara Andra mengambil beberapa karena malas membawa troly besar ke area parkir.
Tit,
"Tunggu, biar gue yang angkatin, lo masuk aja!" titah Andra.
Jingga menurut, ia tinggalkan Andra seorang diri di sana.
Kartu itu masih ada di tangannya, tanpa sadar Andra menyerahkan kembali kartu miliknya itu ke tangan Jingga, itupun belum memberitahu pinnya berapa.
Brum,
Andra hidupkan mobilnya, melaju kembali ke unit yang untuk sementara ini akan menjadi tempat tinggal mereka berdua.
Ada dua kamar di sana, tapi satu kamar yang kosong itu sudah menjadi gudang untuk Andra. Mau tidak mau mereka harus tidur satu kamar, atau mungkin Andra mengalah dengan tidur di sofa ruang santai saja.
"Kak Andra nggak perlu pindah, aku nggak akan gangguin Kakak kok kalau tidur, beneran!"
Jingga lantas berbalik untuk memasakan sesuatu di mini pantry unit itu, bukan ingin menggoda Andra, tapi dalam kondisi ini Jingga tetaplah seorang istri, tak peduli dengan apa yang menjadi tanggapan Andra yang hanya menganggapnya sebagai adik, ia tak boleh lalai hingga mengabaikan akad yang telah terucap.
Gerak lincahnya masuk dan terperangkap dalam mata Andra, sering wanita datang ke unit ini, bukan untuk memasak atau mungkin merelakan hati untuk disakiti, kebanyakan mereka hanya mencari kepuasan, termasuk Amel.
Tapi, Jingga berbeda, Andra masih belum bisa menekan egonya di sana.
"Kaaaak," panggil Jingga dengan suara mendayunya.
"Iya, apa?"
"Buruan sini cicipin, kalau udah nanti aku siapin nasinya," jawab Jingga setengah menjinjit.
Andra berburu melangkah ke dapur, sebelum Jingga berteriak kencang dan membuat gendang telinganya pecah.
Andra duduk tepat di depan meja itu, menakup wajah yang jelas merasa nikmat sebelum melahap, dari aromanya saja sudah bisa dipastikan sangat enak.
Masakan Jingga seolah bisa menjadi asupan lezatnya sebelum bertemu para biduan malam, entah ia lakukan atau tidak nantinya.
"Kakak ambil yang banyak, aku udah masak nasi juga porsinya jumbo buat Kakak," ujar Jingga.
Andra manggut-manggut, ia cicipi dan ternyata benar memanjakan lidahnya, sampai entah suapan keberapa berulang kali ia mengulas senyum pada Jingga.
Malam ini setidaknya ada kehangatan yang mereka rasakan meskipun hati masih terperangkap dalam kehampaan.
"Lo nggak makan?" tanya Andra.
"Kakak dulu, nanti baru aku, eheheheh ...."
"Udah nggak gatel?" tanya Andra sekali lagi.
Jingga bergeleng, "Belanja bikin aku nggak sakit lagi, eheheheh, aku gantian makan ya."
Andra mengangguk, sejauh ini unit itu hampa, desahan saja yang terdengar, mendadak rasa bersalahnya kembali menyeruak dan menusuk tajam sampai ke tulang.
***
Sejenak Andra kembali merenung, yang ada hanya rasa bersalahnya pada sang istri akan apa yang baru saja ia lakukan.
Terus saja seperti itu tanpa niatan untuk berhenti.
Hanya sebatas adik dan kakak, itu pun selama ini dia terlalu kaku sampai Jingga seolah berjuang sendirian melewati hari-harinya.
"Jingga, nggak bangun lo?" tanya Andra, ia tak tidur semalaman.
"Heeemmm, udah, Kak. Sarapan Kakak udah aku siapin daritadi juga, aku cuman lagi nahan perut sakit aja," jelas Jingga.
Sakit perut?
Andra sontak berlari masuk ke kamar, semalam karena tak mau menyakiti hati Jingga atau mungkin bersikap kasar, dia memilih untuk merebahkan diri di luar saja, di kursi santai yang membuatnya sedikit merasa ringan.
"Lo kenapa? Makan apa aja?" Andra tampak khawatir, semalam mereka makan bersama dan dia biasa saja.
"Sakit perutnya, Kaaak." Jingga merengek sembari menyentuh perutnya.
Andra bergerak mendekat, "Kenapa? Lo kenapa?"
"Sakit perutnya, Kaaak. Nggak tahu kenapa kayak ketarik aja, sakit nggak bisa digerakkan kakinya ini," keluh Jingga.
Andra tidak mau membuang waktu, ia periksa kening Jingga dan terasa demam, bahkan berkeringat.
Andra angkat tubuh kecil itu, berniat membawanya ke rumah sakit terdekat.
Jingga hanya bisa berpegangan pasrah, ia terlalu tegang sampai tak mau melepas cengkraman tangannya di lengan baju Andra.
"Tunggu, gue anter ke rumah sakit. Makanya, jangan masak aneh-aneh, biji cabe sepasar dipake semua, jadi gini!" omel Andra, tapi tak urung Andra tetap perlakukan istrinya itu dengan sangat baik dan lembut.
Jingga tidak menjawab, ia hanya fokus pada rasa sakitnya yang kian meledak.
"Sakit banget?" tanya Andra, satu tangannya mengusak kepala Jingga yang menunduk.
Jingga mengangguk, ia rasakan sedikit tenang saat tangan Andra mengusak kepalanya.
Sesampainya di rumah sakit, Andra tak berhenti memberi perhatian, sekali lagi itu karena selama ini Andra menganggap Jingga seperti adiknya sendiri.
"Sus, tolong adik saya ini!" ujar Andra.
"Baik, tunggu ya, Pak!"
Adik?
Jingga sejenak menatap nanar suaminya itu, bukan gelar istri yang tersemat di sana, justru hanya sekedar sebutan adik yang ia dapatkan.
Kalau saja tidak sakit, pasti dia akan mencakar wajah suaminya itu, Jingga pastikan itu terjadi.
"Dia kenapa, Dok?"
"Untuk sementara karena asam lambung yang tinggi aja, diusahakan jangan terlalu telat makan dan banyak fikiran," jelas dokter itu.
Andra mengangguk, ia berdiri tepat di samping Jingga, wajah gadis itu pucat dan masih basah.
Ia hapus dengan tisu kering yang kebetulan ada di sakunya.
"Udah nggak apa, mau dikasih obat sama infus kecil," ujar Andra berbisik.
"Tungguin Jingga, Kaaaak ...."
"Iya, nurut diem di sini pokoknya!"
Jingga mengangguk, perhatian kecil dari Andra yang ia dapatkan saat ini sangat berperan penting dalam kesehatannya.
Jingga genggam tangan Andra, pria itu duduk di sisi ranjang dengan wajah cemas.
"Ini obatnya mulai disuntikkan ya," ujar suster yang bertugas.
"Iya," jawab Jingga sembari merintih, ia ingin pulang daripada ada keluarga yang mendengar kondisinya.
Tapi, Andra tenangkan, ia berjanji tidak akan memberitahu keluarganya.
"Kaaak," panggilnya.
"Iya, gue di sini." Andra rapatkan pegangannya, saat ini untuk sementara hanya Jingga yang ia fikirkan.