Hush, Andra bekap mulut istrinya itu.
Mereka kembali melaju pulang dengan tangan yang bergandengan.
Jingga tahu suaminya itu sebatas bertanggung jawab pada dirinya yang mempunyai peranan besar dalam karir dan laju keluarga inti itu.
Tak masalah, itu yang Jingga rasakan dan tekankan saat ini.
Ia mencoba untuk masa bodoh, selama kedekatan itu ada, ia bisa membuat Andra menyukainya, mengubah rasa sayang kakak pada adiknya menjadi sebuah rasa yang berperan besar dalam hati merah itu.
"Kan perutnya sakit, nggak usah bawel!" Andra tidak mau berhenti di depan pedagang mie ayam.
Jingga memberengut, ia pilin jemarinya dengan wajah manyun tidak terima, dua hari di rumah sakit membuatnya rindu untuk mencoba banyak makanan pinggir jalan itu.
"Beli nasi padang aja, gimana?"
"Nggak mau, pengen mie ayam."
"Yauda, nanti kan bisa bikin di rumah. Katanya mau masakin gue," balas Andra, terpaksa ia pakai senjata itu.
Jingga sontak mengangguk, ia urungkan niatnya untuk membeli mie ayam di pinggir jalan itu, lebih baik membuat di mini pantry unit Andra dengan bahan yang sudah ia beli kemarin.
Jemarinya mulai menghitung dan bibirnya mulai menghubungi sang ibu untuk menanyakan resep yang turun temurun itu.
Sampai di unit, tubuh kecil itu bergegas untuk melakukan apa saja yang ia inginkan, Andra hanya bisa duduk diam di sofa santai sembari mengawasinya.
Masih dalam pengawasan dokter di mana Jingga harus banyak istirahat sebenarnya, tapi kali ini ia biarkan untuk sibuk sejenak demi mengisi perut yang keroncongan.
Andra berulang kali membuka ruang chatnya bersama Amel, di sana hanya bertuliskan pesan ancaman perpisahan saja.
Amel selalu berniat meninggalkannya disaat seperti ini, sekali saja dia tidak bisa menuruti kemauan gadis itu, tentu ancaman putus sudah ia dapatkan.
Sedang, kemarin saat Andra membutuhkannya, Amel justru menjauh hingga pernikahan ini harus terjadi.
Dan dia terjebak dalam hubungan yang rumit, antara istri dan kekasih, kalau saja Amel waktu itu membantunya memberi keterangan, Andra yakin mereka sudah tinggal di unit yang sama.
"Halo," sapa Andra, panggilan dari Amel mendadak masuk.
Jingga hentikan langkahnya, ia baru saja mengaduk bumbu suwiran ayam asin manis itu.
Ia menoleh, senyumnya tertarik kembali saat melihat tubuh tegap suaminya beranjak ke luar ke balkon untuk berbicara dengan wanita lain.
Cukup, Jingga ingin menghentikan harapannya, tapi dia selalu tidak bisa dan tidak mungkin selama pernikahan nanti akan membuat mereka saling menyakiti.
"Masakannya udah siap, ayo ... Kakak buruan makan juga!" ajak Jingga seolah tidak mengerti apa-apa.
Andra mengangguk, ia lantas kembali masuk dan menghampiri istrinya itu.
Jingga siapkan tepat di depan Andra, walau ada wajah malas di sana karena jengah dengan ancaman Amel, Jingga tetap berlaku biasa saja.
"Makan deh, enak kayaknya, Kak."
"Hem," balas Andra bergumam.
Mereka lahap bersama mie ayam buatan Jingga dengan bumbu dan bahan seadanya itu.
Pertama kali Andra mencicipinya dan langsung jatuh cinta, ia melirik wajah gemas di depannya itu.
Jingga tidak pernah menuntutnya selain menganggap dirinya ada dan selalu ada satu sama lain.
"Enak?" tanya Jingga.
Andra sontak mengangguk, bahkan ia sudah habis dan endak meminta lagi.
"Tinggal satu porsi lagi, Kakak mau?"
"Lo gimana?"
"Aku udah kenyang, kalau Kakak mau nggak apa, hem?"
Andra mengangguk, ia geser mangkok kosongnya, meminta sekali lagi.
Sengaja Jingga hanya membuat sedikit, dari hal kecil ini ia berusaha membuat Andra mengerti tentang sebuah arti dalam hati yang Jingga simpan besar di sana.
"Biar gue aja yang beresin, lo tidur aja sana!" Andra ambil alih piring dan peralatan masak yang kotor itu.
"Makasi," ujar Jingga, ia usap tangan basah itu ke roknya, sontak memancing perhatian Andra.
"Apaan coba lo itu!" Andra tarik tangan itu, lalu ia bersihkan dengan lap kering yang ada. "Kebiasaan kalau pake celemek, rok jadi serbaguna juga!"
"Eheheeheh, nggak sadar." Jingga tersenyum malu.
Ah, liburnya tinggal sebentar lagi dan itu artinya dia akan pergi lebih dulu sebelum tugas turun pada sang suami hingga membuat mereka bisa tinggal bersama.
Setidaknya beberapa hari yang ada bisa menjadi moment yang tidak akan Andra lupakan nantinya meskipun mereka berpisah hanya sebentar saja.
Brak,
"JINGGA!" teriak Andra, ia lantas berlari ke kamar.
***
Amel menunggu di tempat biasa, akhirnya ia bisa menemui Andra setelah banyak ancaman yang ia berikan.
Walau hanya sekedar bertemu dan melepas rindu tanpa pergulatan panas, sekedar ciuman dan pelukan, hal itu sudah cukup membuat Amel senang.
Pewarna bibir itu pun berpindah ke bibir Andra, di mobil dengan kaca gelap itu pertemuan mereka digelar.
"Ndra, kamu tumben nggak minta lebih?"
"Apaan?"
"Itu, terakhir kali kita di hotel itu, kan? Dan sampe detik ini, kita nggak ngelakuin hal itu, kamu nggak pengen?"
Andra raup wajahnya kasar, entah ke mana perginya perasaan ingin itu.
Sejak ia lihat Jingga syok setelah bertemu Vera di unitnya kala itu, Andra merasa tidak lagi berminat untuk memanggil atau melakukan hal lebih itu pada wanita, dirinya seakan menjadi suami yang begitu hina.
Bila jauh, anggap saja ia merasa hina menjadi manusia di bumi ini.
"Mel, maaf nggak bisa!" Andra jauhkan wajahnya, Amel berusaha menggodanya dengan kancing yang terbuka dan ia didekatkan pada bagian menyembul yang begitu menggoda.
"Kenapa?" Setengah permainan hampir saja berhasil, bahkan ia sudah mulai merasa melayang di sana.
Namun, kedua tangan Andra enggan meraba, ia bahkan kurang lihai dalam membalas ciuman.
"Ndra, kenapa sih? Kamu udah sama tuh cewek centil, hah!"
"Apaan coba? Nggak ada!"
Andra hidupkan mobilnya, mengantar Amel pulang dan ia sendiri bergegas untuk pulang.
Moodnya rusak, begitu juga Amel yang memberengut karena acara hangat malam ini tidak terlaksana dengan baik.
Amel hentakkan kakinya, ia enggan turun dan meminta Andra untuk ikut masuk.
"Nggak bisa, Mel. Aku lagi capek aja, nggak karena efek apa-apa!"
"Nggak mungkin, dulu kamu capek aja makin hot, sekarang masa enggak!"
"Mel, plis ... ngertiin aku!" pinta Andra memohon, fikirannya sedang pecah dan ia ingin tidur saja.
Mau tidak mau Andra menyetujui ajakan Amel untuk menemuinya kembali esok hari.
Andra kembali dengan wajah kesalnya, ia tekan bel yang seharusnya pintu itu bisa ia buka sendiri, entah ia ingin saja disambut.
"Kakak, tumben?" tanya Jingga.
Bohong, itu khayalan Andra dan rencananya untuk marah bila Jingga menyapanya seperti itu.
Nyatanya Jingga menyapa dengan cara yang berbeda.
Ia tersenyum, membuka pintu lebar dan mempersilahkan Andra masuk.
"Kakak mau minuman anget?" tawarnya.