Bubu, tidak pernah memperhatikan konsep waktu.
Sejak Mamanya meninggal, ia akan menghabiskan waktunya untuk melakukan 3 hal.
Pertama, ia belajar dari semua benda-benda aneh yang tersembunyi di setiap bangkai kapal. Ada lebih dari 10 kapal, setiap hari ia akan berdiam di salah satu kapal, mengumpulkan benda-benda itu dan mulai mempelajarinya. Kerap kali ia akan terkejut. Terutama, saat tahu bahwa banyak benda berbahaya yang tersembunyi.
Namun kulit Mer sangat keras. Ia tidak mudah terluka. Terlebih dengan kecepatan dan refleks diri yang tinggi, sosok hitam selalu dengan mudah menghindari bahaya dari setiap benda mati itu.
Kedua, ia akan berkeliling. Bagaimanapun, Mer hitam ini masih sangat muda. Ia penuh dengan rasa penasaran. Terlebih saat menyadari bahwa lautan begitu luas, begitu banyak hal yang akan menarik minatnya. Jadi, ia akan berkeliling ke seluruh tempat. Dari laut dalam hingga laut dangkal, bertemu dengan berbagai macam ras laut yang unik dan aneh. Namun, tidak peduli seberapa lama dan jauh ia pergi, Mer hitam akan tetap kembali ke Makam Kapal. Karena bagaimanapun, Makam Kapal adalah rumahnya.
Terakhir, ia akan mengumpulkan apa pun. Yah ... sejak menyadari bahwa ia memiliki sebuah ruang yang aneh, Mer hitam akan mengumpulkan apapun yang menurutnya indah, menarik, dan bagus. Terlebih saat berkeliling, akan banyak sekali sesuatu yang menurutnya sayang bila tidak dibawa. Terutama, bila menyangkut makanan lezat. Jadi, ruang penyimpanannya yang tidak terbatas, sudah menampung beberapa hal yang telah dikumpulkannya.
Beruntung, semua makanan yang tersimpan di dalam ruangnya, tidak pernah membusuk.
Cahaya matahari memanjang, menyelinap masuk ke dalam sebuah ruangan yang bersih dan luas. Ruangan, dengan beberapa trumbu karang tersusun dengan indah itu terlihat begitu indah. Trumbu karang itu menempel pada dinding, menumbuhkan beberapa hewan dan rumput laut di tubuhnya. Namun, terdapat sebuah lubang besar pada bagian dalam trumbu karang. Itu dipenuhi dengan lumut hijau yang lembut dan empuk. Cukup luas dan nyaman untuk ditempati tidur oleh Bubu.
Ini adalah kamarnya.
Bubu menciptakannya sendiri. Ia menyusun semua karang, memastikan mereka tumbuh dengan baik dan membuat tempat tidurnya sendiri. Tidak peduli bagaimana, ia tetap lebih suka tidur di dalam sebuah lubang. Perbedaannya, lubang kali ini lebih empuk dan nyaman untuk ditinggali.
Tentu saja ruangan tidak hanya berisi karang.
Mer Hitam sekarang bisa mengendalikan auranya. Ia menutupi auranya, menyebabkan hewan kecil tidak akan kembali berlari begitu merasakan keberadaannya. Sebaliknya, mereka akan berenang mendekat, menunjukkan niat persahabatan.
Karena itulah, kamarnya akan sangat ramai.
Akan ada ikan kecil yang indah dan cantik berenang, juga kepiting dan beberapa hewan laut kecil lainnya. Mereka tinggal di beberapa karang dan tanaman air yang Bubu pelihara. Terlebih, dengan pencahayaan yang pas, ruangan luas itu kini terbagi menjadi beberapa bagian.
Ada bagian yang penuh dengan trumbu karang, itu merupakan area kasurnya. Ada bagian luas yang bermandikan cahaya matahari, dengan lantai berlapis lumut hijau yang lembut dan empuk. Oh, itu adalah area berjemur. Lalu ada satu lagi area yang tidak boleh dipisahkan. Area ini bersih, tanpa sentuhan apapun. Itu tempatnya memeriksa beberapa barang hasil memulung. Ada sebuah jendela yang terbuka di sana. Biasanya, ketika Mer hitam di sana dan memilah semua hal di dalam ruangnya, dengan enteng ia akan membuang beberapa hal yang menurutnya, tidak baik untuk ditempatkan ke dalam ruang.
Membuka kedua matanya, sepasang iris aquamarine yang indah dan berkilau terlihat. Bulat dan polos, kelereng itu mengedip beberapa kali sebelum akhirnya dengan penuh semangat, berenang keluar dari dalam 'sarang'.
Mengibaskan ekor hitamnya, tanpa ragu sosok ramping itu berenang keluar dari dalam 'Kamar'. Meninggalkan Kapal raksasa yang menjadi rumahnya, pemandangan suram Pemakaman Bangkai Kapal terpapar di indra penglihatan. Namun Bubu tidak peduli. Matahari sudah muncul, itu berarti, sudah waktunya untuk bertemu.
Mereka sudah berjanji.
Sepasang iris biru itu menyipit. Wajah cantik itu tanpa ekspresi, dengan bibir yang membentuk garis lurus. Namun, tanpa ragu, ekor yang begitu kuat terus mengayuh. Membawa tubuh ramping untuk melewati samudera. Tanpa sedikit pun kehilangan navigasi, sosok indah itu
"Oh! Bukankah ini Bubu?" seekor penyu besar berenang mendekat, menatap Bayi Mer yang dikenalnya. "Pagi sekali ... Bubu sudah sangat lapar? Ingin makan sesuatu?"
Sepasang netra biru menemukan sosok tua yang berenang di luasnya lautan. Warna yang secara bertahap semakin gelap saat semakin jauh menampakkan kekosongan, tetapi makhluk empat kaki itu semakin mendekat. Sosok tua berwarna hijau lumut semakin terlihat besar.
Bubu diam, membiarkan lelaki tua itu mendekat.
Hingga akhirnya ukuran tubuh yang sepuluh kali lebih besar terlihat, wajah yang semula tanpa ekspresi, menunjukkan kejutan, sebelum akhirnya bersinar dengan senyuman yang begitu lebar.
"Bubu suka bertemu dengan Kakek?" Penyu tua tertawa senang. Memandang Mer kecil yang berenang berputar-putar di sekitarnya. "Oke, oke, Bubu yang manis, jangan seperti ini, Kakek susah melihatmu."
Bubu tidak lagi berbuat nakal. Mer hitam itu berenang agak menjauh, membiarkan lelaki tua itu melihatnya secara jelas. Tindakan ini membuat Penyu berusia ribuan tahun itu sangat puas.
"Pintar sekali," tanpa ragu, Penyu Tua memuji. Tersenyum memandang bayi Mer yang sangat kecil dan lincah. "Baiklah, Kakek punya oleh-oleh untukmu."
Iris itu langsung berbinar, ekor hitam mengibas dengan tidak sabar. Tindakannya yang blak-blakan mengharapkan hadiah sukses membuat lelaki itu tertawa senang. Lalu, beberapa detik kemudian, sebuah bola berwarna hitam terlihat. Sukses membuat Mer kecil terkejut dan refleks memegangnya.
Benda itu sangat besar. Membuat Mer kecil perlu memeluk dengan kedua tangannya. Namun, kilau dari Mutiara hitam yang begitu besar, tidak membuat Mer kecil senang. Sebaliknya, sosok itu melotot, memandang marah ke arah Kakek Penyu dengan ekspresi lucu.
"Oh, ahahaha, maaf, maaf, itu titipan Nenek Tiara untuk Bubu," Penyu Tua tertawa, sukses membuat Mer kecilnya cemberut. Namun, sosok itu tetap menyimpan hadiah dari Nenek Tiara ke dalam Ruangnya. Benda ini berwarna sama seperti ekor dan rambutnya, berkilau dan indah. Tidak bisa disangkal, Mer kecil suka dengan mutiara besar ini.
"Nah, ini oleh-oleh dari Kakek."
Mendadak, setumpuk rumput laut sewarna perak muncul tepat di hadapan si kecil. Sukses membuat netra biru itu membola sempurna. Ada kejutan yang jelas tercetak di wajah kecil itu.
Namun, di detik ia terkejut, detik itu juga Mer kecil, dengan penuh semangat mengumpulkan semua Rumput Laut Perak ke dalam Ruangnya! Oh! Ini Rumput Laut Perak! Mata Mer kecil berbinar senang. Senyumannya mengembang.
"Bubu senang?"
Mer kecil membalasnya dengan kedua tangan yang terentang dan memeluk kepala besar Kakek Penyu. Lalu, tanpa ragu, si kecil menggosok kepalanya ke kepala keras itu.
"Oh, Bubu sangat senang?" Kakek Penyu tertawa, senang bukan main dengan reaksi yang diberikan Mer kecil ini.
Sosok mungil itu menganggukkan kepala.
Penyu tua terkekeh. "Kebetulan, aku menemukan semua Rumput Perak sudah siap panen, jadi aku akan membawakannya sebagai oleh-oleh untuk Bubu dan beberapa cicitku," ucapnya lembut. Namun, nada pria tua itu mendadak kembali serius. "Tetapi Bubu, ingat. Jangan memberikan rumput ini kepada teman-temanmu, mereka tidak bisa memakan ini."
Sepasang kelereng biru itu berkedip, lalu mengangguk dengan patuh.
Penyu tua merasa puas mendengarnya. Ia ingin kembali mengobrol, tetapi sayang, ia sedang diburu waktu. "Baiklah, Kakek harus pergi. Bubu teruslah bermain," pada akhirnya, dengan enggan, sosok raksasa itu kembali berenang, melanjutkan perjalanannya yang tertunda di tengah jalan.
Sepasang netra biru berkedip, menatap bagian belakang Kakek Penyu. Ia tidak melanjutkan perjalanannya, sebaliknya, Bubu hanya diam. Sosok raksasa Kakek Penyu, secara perlahan terlihat semakin kecil sebelum akhirnya menghilang ditelan oleh kegelapan.
Merasa bahwa Kakek Penyu sudah pergi sangat jauh, sosok kecil itu berbalik, lalu mulai berenang dengan kecepatan tercepat. Namun, meski ia jelas tengah terburu-buru, senyuman tidak henti merekah di bibirnya.
Oh, ia baru saja mendapatkan mutiara yang indah! Juga Rumput Perak yang sangat enak! Mer hitam sangat senang. Bagaimanapun, Rumput Perak hanya tumbuh di laut dalam. Terlebih, jumlah mereka juga sangat langka dengan tempat pertumbuhan yang menuntut. Mer hitam pada akhirnya hanya pernah memakannya sekali dan tidak pernah melupakan rasanya yang begitu indah.
Namun sekarang, ia mendapatkan banyak!
Mer hitam benar-benar senang. Senyuman tidak henti merekah di bibirnya. Namun sedikit pun, navigasi sosok ramping itu tidak terganggu sama sekali. Hingga beberapa jam kemudian, sosok hitam berhenti berenang. Sepasang netra biru menatap fokus ke pulau yang kini, tepat berada di hadapannya.
Bebatuan karang yang besar dan tebal terlihat mengelilingi pulau. Warna hitam yang terus tersapu oleh ombak membantu sosok Mer berkamuflase. Warna rambut dan ekornya yang persis seperti batu karang, membuatnya bisa menyelinap mendekati pulau.
Namun, saat air benar-benar menjadi semakin dangkal dan dangkal, Mer yang hanya sepanjang 2 meter itu tidak lagi bersembunyi di bawah air. Ia, dengan tegas mengangkat kepala. Menghirup udara ke paru-parunya yang selalu berisikan air asin. Lalu, beberapa detik kemudian, Mer kecil berubah.
Sirip tipis di telinganya menghilang berubah menjadi sebuah telinga yang bulat dan normal. Sisik-sisik pada area rahang dan tengkuk turut menyusut, sebelum akhirnya berubah menjadi kulit putih yang menyatu. Lalu, ekor hitam penuh sisik secara perlahan terbelah menjadi dua, berubah menjadi sepasang kaki yang putih, tanpa sedikit pun sisik.
Sepasang netra biru berkedip. Pupil vertikal itu secara otomatis berubah menjadi bulat. Terlihat normal di iris sewarna permata biru yang lembut dan berkilau di permukaan laut.
Di detik berikutnya, sosok remaja laki-laki itu melangkah bertelanjang kaki di antara bebatuan karang. Sosok seputih pualam itu semakin terlihat putih saat helai panjang dan basah rambut hitamnya menempel di kulit. Dengan wajah rupawan yang dibingkai oleh helai gelap yang basah, remaja cantik tanpa sehelai pun pakaian keluar dari dalam air laut.
"Bukankah sudah kukatakan untuk menggunakan pakaian?"
Suara seorang pria terdengar. Bubu tidak terkejut sama sekali. Sebaliknya, ia menoleh dengan tenang, mengedipkan mata bulatnya ke arah sumber suara. Tepat di batu karang besar di sampingnya.
Pria jangkung yang mengenakan setelan formal itu berdiri di sana. Jas abu-abu itu melekat pada tubuh, terlihat tidak sesuai tempat dengan pantai yang panas dan santai. Namun, wajah berbingkai helai rambut hitam pendek itu terlihat begitu cantik dan tampan. Hidungnya mancung, dengan alis yang melengkung indah. Dengan sepasang iris biru gelapnya, selain dari warna mata, pria itu benar-benar seperti Bubu versi dewasa.
Sepasang iris biru gelap dan biru terang saling memandang.
Keduanya tidak mengatakan apa pun.
Namun, sosok yang lebih besar jelas tidak tahan. Pria itu menghela napas. Menggelengkan kepala dengan tidak percaya, sebelum akhirnya dengan enggan berjongkok dan membuka kedua tangannya.
Sepasang iris biru itu berkilau cerah. Senyuman lebar merekah di wajah yang kekanakan, dengan rona indah yang begitu lembut dan manis. Tanpa ragu, sosok yang lebih kecil melompat dan menghambur ke pelukan pria dewasa.
Pra itu tersenyum puas. Wajah dinginnya melunak begitu saja. Dengan senang hati merengkuh tubuh lembut dan dingin Mer kecilnya. Namun, sebelum sosok mungil itu menyadari, ekspresinya kembali terlihat dingin dan keras, dengan alis yang terpaut. Ia, dengan cepat melepaskan pelukan dan membuat sosok itu berdiri kokoh di atas karang.
"Kenakan pakaianmu," mengeluarkan satu set pakaian yang jelas pas dengan ukuran tubuh sang Mer. Pria itu memalingkan wajah. "Keluarga ingin bertemu, kali ini, Ayahmu yang lain juga hadir."
Sepasang kelereng bulat berkedip. Ia menunduk menatap satu set pakaian formal yang ada di tangan, sebelum akhirnya kembali mengangkat kepala. Menatap punggung yang kini, berjalan menjauh.
Bubu cemberut. Mer hitam itu mendengus kesal, lalu mengenakan pakaian yang diberikan.