Chereads / Laut Dalam / Chapter 6 - Perpisahan

Chapter 6 - Perpisahan

"PERGI DARI SINI!"

Warna gelap dengan cepat meledak dan menyebar. Membentuk awan di lautan yang dingin dan gulita. Tepat di saat itu juga, aroma besi karat mengeluar, mengundang banyak makhluk untuk bergerak mendekat. Di saat yang bersamaan, tubuh raksasa yang semula melebarkan mulutnya, membeku di tempat.

Sepasang netra biru, yang semula menetas air mata, kini tertegu. Kepala kecil itu mendongak, menatap sesuatu yang panjang, hitam dan keras, menembus tubuh besar Hiu Putih. Mendadak, ia lupa untuk menangis. Mer kecil benar-benar terpesona dengan pemandangan di depannya.

"CEPAT PERGI! PERGI DARI SINI!"

Seruan putus asa itu berasal dari ikan raksasa yang tengah sekarat. Ia tidak henti menggerakkan sirip dan ekornya, bergerak dengan putus asa dan mencoba melepaskan benda panjang yang menancap di tubuhnya. Namun, semakin ia bergerak, benang merah semakin banyak mengeluar. Memperparah luka dari besi besar yang begitu keras dan tajam.

Mer kecil benar-benar bingung. Sepasang netra birunya berkedip. Wajah kecil yang memerah karena habis menangis, kini sedikit memiliki vitalitas. Ia, bisa merasakan bahwa keadaan mendesak dan kekerasan Ikan Besar itu bukanlah sesuatu yang ingin membunuhnya. Sebaliknya, perasaan ini sama seperti bertemu dengan Mama ...

Bubu ragu-ragu selama beberapa saat sebelum akhirnya ekor kecilnya mengibas. Ia berenang mendekati sisi lain bangkai kapal. Bagaimanapun, serangan itu terlalu tiba-tiba dan tidak bisa di prediksi, bahkan oleh radarnya. Namun anehnya, ikan besar mengetahuinya dan bahkan sempat berteriak untuk memperingatkan.

Mungkin ... ikan besar juga tahu di mana Mamanya?

Mer kecil merasa sedikit lebih tenang. Ia dengan cepat berenang dan melintasi Bangkai Kapal yang begitu besar. Ekor hitamnya mengibas dengan tidak sabar. Ikan raksasa yang tertusuk benda aneh, telah tenggelam dan bersembunyi di antara kapal-kapal karam.

Deg.

Jantungnya terasa mencelos. Sepasang netra biru menyusut. Tubuh kecil, yang baru saja keluar dari jendela yang terbuka, membeku di tempatnya.

Bukan tubuh Ikan Besar yang ia temukan.

Melainkan Gurit Besar.

"MAMA!" Mer kecil berseru. Berenang bak peluru menuju tubuh besar yang tergeletak di atas pasir. "Mama! Mama! Mama!" si kecil terus berteriak saat sampai di tubuh raksasa itu. Karena tubuhnya yang terlalu kecil, ia tidak henti berputar-putar seraya berteriak. Ia bahkan akan mencakar tubuh raksasa itu hingga mengeluarkan darah hanya guna mendapatkan reaksi.

Namun percuma.

Mamanya tidak bergerak.

Mer kecil benar-benar panik. Dadanya sesak luar biasa. Matanya panas. Tangan kecil tidak henti membuat luka. Namun sayangnya, tubuh Gurita Raksasa itu sudah memiliki lebih banyak luka. Luka-luka besar dan segar yang masih memiliki darah untuk mengalir.

Sebuah tongkat yang tebal dan keras tertancap di pasir, menembus tubuh Gurita Raksasa. Tentakel yang panjang dan tebal melilit tongkat tersebut, seolah mencoba untuk mencabutnya. Namun sayang ... bahkan ketika ia memiliki delapan tangan, benda itu tidak tercabut. Besi yang begitu besar dan kuat, dengan mudah menembus tubuhnya.

"Mama ... ," Mer Kecil terus merengek. Tangan kecilnya terus menggaruk kulit keras Mamanya. Namun, tidak peduli dengan luka yang dibuat, sosok itu tidak bereaksi sama sekali. Sukses membuat isak tangis kembali terdengar. "Mama ... ."

Mer kecil benar-benar merasa putus asa.

Kenapa Mamanya tidak bergerak? Kenapa Mamanya tidak bergerak?

Mata si kecil terasa panas. Ia terus terisak hingga tersedak. Namun tidak peduli betapa ia putus asa menggaruk, sosok itu tidak bergerak karena kesakitan. Mamanya tidak memberikan reaksi apa pun.

Mer kecil sangat sedih dan bingung. Namun di sisi lain, ia mengetahui sesuatu ...

Apakah Mamanya mati? Sama seperti makanan mereka?

Sakit luar biasa menghantam. Mengiris dadanya. Membuatnya sulit mengambil napas.

Tidak ... bagaimana mungkin Mamanya mati?

Mer kecil benar-benar tidak bisa menerimanya. Matanya memerah, menatap marah ke sosok besar yang tidak juga bergerak.

"MAMA!" Si kecil kembali berteriak. Kedua tangannya bergerak, mengguncang salah satu tentakel dengan kekuatan yang besar. "MAMA! MAMA! MAMA! MAMA!"

Mer kecil terus berteriak. Mendorong dan mendorong tubuh besar itu dengan putus asa.

Pasir-pasir dasar laut beterbangan karena guncangannya. Beberapa hewan yang mencoba mendekat untuk menikmati makan besar, secara perlahan mundur dan menjauh. Menyisakan sosok Mer yang dengan gila, terus mengguncang tubuh yang berkali-kali lipat jauh lebih besar darinya.

.

.

.

Ada dua tubuh raksasa yang terbaring di antara bangkai kapal. Kedua makhluk berukuran hampir sama dengan kapal di sekitarnya, masing-masing memiliki besi panjang yang menancap menembus tubuh mereka.

Namun, hanya tubuh Gurita Raksasa lah yang terlihat lebih baik. Hiu yang berukuran sama besarnya dengan gurita itu terlihat menyedihkan. Dimakan oleh segerombo makhluk laut dan dengan cepat, beberapa bagian tubuh telah hilang.

Sosok yang sangat kecil, dengan panjang hanya 30cm itu menggulungkan tubuhnya. Mer mini itu bersandar pada salah satu tentakel raksasa, merasakan kekakuan dan dinginnya makhluk yang telah mati, ia tidak peduli. Dengan keras kepala, Mer kecil itu meringkuk, menyusut dan seolah mencoba agar suhu tubuhnya yang telah berubah menjadi hangat, juga akan mampu menghangatkan bangkai gurita.

Namun Bubu tahu ini tidak berguna sama sekali.

Sosok kecil itu memeluk ekor hitamnya yang bersisik, lalu terisak.

Ini sangat menyakitkan ...

Mer kecil tidak mengerti apa pun. Perasaan kosong dan sakit ini juga baru kali ini dirasakan. Si kecil merasa sangat putus asa. Bahkan ketika ia kelaparan, ia tidak akan mencoba memakan apa pun meski jelas, ikan-ikan dan beberapa hewan segar lainnya akan berkeliaran. Dengan lancang memakan bangkai Hiu yang tergeletak tepat di samping Mamanya.

Tidak ada yang berani mendekati Mamanya. Dengan tegas, Mer kecil tidak akan membiarkan tubuh Mamanya di makan hewan laut. Namun ... Mamanya masih tidak bergerak. Bila terus-terusan seperti ini, bukankah hewan lain akan memakan Mamanya?

Sepasang netra biru meredup, isak tangis semakin terdengar.

Sungguh, ketimbang hewan lain ... bukankah lebih baik bila ia yang memakan Mamanya? Dengan begitu, Mamanya akan selalu ada ... Mamanya akan selalu berada di dalam perutnya.

Pandangan mata Mer kecil kabur. Kedua tangan mungil berselaput itu gemetar, ragu-ragu selama beberapa detik sebelum akhirnya dengan tegas merobek daging Gurita Raksasa yang tidak lagi segar.

Isak tangis semakin kuat saat Mer kecil mulai memasukkan daging yang tidak enak itu sedikit demi sedikit ke mulutnya. Ia mengunyah, memakan dan menelan. Namun setiap gigitan, akan sangat menyakitkan.

Seolah-olah ia memakan dirinya sendiri, seolah-olah ia melukai dirinya sendiri.

Namun hanya ini yang Mer kecil bisa mengerti.

Ia ingin melindungi Mamanya, ia tidak mau hewan-hewan lain akan memakan tubuh Mamanya. Akan lebih baik ia menyimpan tubuh Mama di dalam tubuhnya. Itu jauh lebih aman, itu jauh lebih baik.

"Uuuhhh ... uuuhhh ... ."

Isak tangis terus terdengar, bahkan si kecil akan cegukan. Namun mulut itu tidak henti mengunyah dan memakan. Tidak peduli apakah ia telah kenyang atau tidak, mulutnya tidak berhenti mengunyah. Mata si kecil terpejam erat, air mata mengalir terus menerus, larut oleh laut tetapi tetap membuat matanya membengkak.

Hanya dengan cara ini ... hanya dengan cara ini ... Ia bisa terus bersama Mamanya.