Saat pagi, Alexa menggeliat kala merasakan suhu dingin melanda tubuhnya. Dia beralih miring hendak memeluk guling karena mengira bahwa dirinya tidur di kontrakannya. Akhirnya yang dipeluknya adalah Gea.
"Ughh, Alexa!"
Gea merasa engap karena tangan Alexa merangkul lehernya. Dia pun langsung menyingkirkan tangan itu dengan kasar kemudian merubah posisinya memunggungi temannya itu. "Jangan ganggu aku, aku masih ngantuk!" serunya.
Perlahan Alexa membuka mata, menatap langit-langit kamar yang merupakan plafon berwarna putih. Dia melirik sekeliling dan menyadari bahwa dirinya tidak sedang berada di kontrakan nya.
"Ya Tuhan ... Aku sangat pusing," gumam Alexa sambil duduk. Dia menoleh melirik ke samping ternyata adalah Gea yang terlelap.
Alexa beranjak dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi dengan sempoyongan. Dia segera membasuh wajahnya, hingga tiba-tiba rasa mual mulai melanda.
Gea yang mulai damai tidur tanpa Alexa, malah terganggu karena mendengar suara seseorang yang sedang muntah di kamar mandi. Dia pun segera duduk dan melirik ke arah pintu kamar mandi. "Siapa yang muntah? Apa mungkin Alexa?"
Caklekkk
Alexa keluar dari kamar mandi dengan langkah gontai dan wajahnya tampak pucat. Dia menghampiri Gea yang duduk di atas ranjang dengan rambut yang kusut.
"Kamu muntah?" Gea memastikan.
Alexa mengangguk. "Aku pusing. Tapi aku harus segera pulang ke kontrakan untuk bersiap ke kantor."
"Berangkat dari sini saja. Pakai bajuku," seru Gea kemudian beranjak dari ranjang. Dia berjalan menuju lemari dan membukanya mengambil terusan dress berwarna putih dan blazer berwarna merah marun kemudian memberikannya kepada Alexa. "Pakai ini saja."
"Tapi beberapa file ada di kontrakan." Alexa masih sangat lesu. Dia malah kembali merebahkan tubuhnya dan memijat kepalanya. "Red wine yang kamu berikan tidak enak. Tapi nagih. Aku pikir tidak akan memberikan efek seburuk ini."
"Nanti jika sudah terbiasa kamu tidak akan mabuk."
"Aku tidak berpikir untuk menjadi pecandu alkohol." Alexa kembali melirik Gea yang akan tidur lagi. "semalam bagaimana kamu membawa aku pulang? Aku samasekali tidak ingat."
"Ada pria tampak yang berbaik hati mengantar kita, bahkan dia menggendong mu sampai ke kamar," jelas Gea kemudian terkekeh. "Dan kamu melarangnya untuk pulang karena kamu mengira dia seorang pangeran ... Hahhaha aku tidak menyangka kamu memalukan sekali!"
"Benarkah begitu?" Alexa tampak tidak percaya.
"Untuk apa aku bohong? Dia sangat tampan, baik tapi juga angkuh. Sayang sekali aku tidak menanyakan di mana dia tinggal."
Alexa menghela napas lega. Setidaknya dia tidak tau siapa pria itu, karena jika tau, pastilah akan malu saat tidak sengaja bertemu. Dia beralih menatap tas miliknya di atas meja kemudian mengambilnya untuk mengambil ponselnya.
"Ya Tuhan, ternyata ayahku menelpon hingga puluhan kali!" Alexa terkejut.
"Benarkah?" Gea ikut melihat ke arah ponsel Alexa. "Semalam aku tidak mendengar panggilan samasekali karena aku langsung tidur. Apa mungkin terjadi sesuatu pada ibumu?"
"Entahlah. Aku akan coba menghubungi," ucap Alexa kemudian mencoba menghubungi ayahnya.
Hingga beberapa kali, akhirnya dia berhasil terhubung dengan sang ayah. "Hallo, Ayah ... Apa semua baik-baik saja?"
"Iya, Nak. Semua baik-baik saja. Semalam ayah menelpon mu berkali-kali karena ibumu sempat drop. Tapi sekarang sudah kembali stabil," jelas seorang pria yang merupakan ayah Alexa.
"Syukurlah kalau begitu." Alexa menghela napas lega, namun ada rasa sakit begitu mendalam di hatinya karena tidak bisa menjenguk ibunya samasekali. Tidak terasa air matanya menetes begitu saja namun dia langsung mengusap nya.
"Kenapa?" tanya Gea penasaran.
Alexa menggeleng dan kembali fokus pada telpon. "Uang sepuluh juta sudah aku transfer ke rekening ayah. Semoga itu cukup untuk biaya pengobatan ibu bulan ini."
"Iya, Nak. Jaga dirimu baik-baik di sana. Maafkan ayah yang malah selalu meminta uang padamu ... Ayah belum bisa membuatmu bahagia.."
"Tidak apa-apa, Ayah. Aku malah senang bisa memberi uang untuk ayah dan ibu. Semoga ibu segera sembuh," ucap Alexa dengan sendu. Kepalanya terasa berdenyut kala membicarakan tentang uang, karena hutangnya sudah lumayan banyak hingga dia tidak memiliki sisa uang gajian untuk sekedar membeli pakaian baru ataupun makan makanan yang enak.
"Baiklah kalau begitu. Ayah harus bekerja sekarang. Ibumu ditemani adikmu."
"Iya, Ayah."
Alexa memutuskan sambungan telpon itu dan meletakkan ponselnya ke pangkuannya. Dia menghela napas, melirik Gea yang sejak tadi memperhatikan nya.
"Ada apa dengan ibumu?" tanya Gea.
"Semalam dia sempat drop tapi sekarang dia sudah membaik," jawab Alexa kemudian beranjak berdiri. "Aku numpang mandi di sini. Setelah itu aku akan ke kantor."
"Okay. Aku akan buatkan sarapan untukmu," ucap Gea.
Alexa bergegas ke kamar mandi. Dia menggunakan peralatan mandi yang dimilki Gea. Terkadang, dia merasa heran pada temannya yang terkesan santai, tapi memiliki banyak uang sedangkan dia yang bekerja keras masih saja berpenghasilan sedikit. Sebenarnya, apa pekerjaan Gea?
____
Melvin sudah tampak rapi mengenakan setelan tuxedo berwarna hitam tanpa memakai dasi, mengenakan sepatu pantofel berwarna hitam, menyisir rambutnya dengan style pompade dan menyemprotkan parfum beraroma musk.
"Melvin," panggil seseorang yang baru masuk.
Melvin menoleh menatap seseorang itu. "Joey"
"Kamu sudah rapi sepagi ini," gumam Joey yang kini duduk di tepi ranjang. Dia tampak seperti baru bangun tidur karena masih mengenakan piyama berwarna merah dengan motif bintang kecil.
"Aku ada meeting dengan klien," sahut Melvin melirik Joey. "Ada pembicaraan apa semalam dengan pihak keluarga Dante?" tanyanya.
"Kami menentukan tanggal pernikahan," jawab Joey.
"Kapan?"
"Dua minggu lagi." Joey beranjak berdiri dan berjalan menuju jendela kamar. Dia menatap pemandangan luar yang merupakan hamparan taman bunga yang tidak terlalu luas milik ibunya. "Sebenarnya aku belum siap."
"Lalu, Kenapa tidak menolak?" tanya Melvin.
"Aku tidak bisa. Papa sudah menetapkan terlebih dahulu sebelum aku pulang ke rumah. Dan pihak keluarga Dante sangat setuju. Aku tidak ingin membuat mereka kecewa," jelas Joey dengan gelisah. Dia menoleh menatap Melvin yang seketika tampak mengkhawatirkan nya.
"Apa yang membuatmu ragu?" tanya Melvin dengan tatapannya yang begitu dingin.
"Karena aku ... Aku merasa belum terlalu siap menjadi seorang istri. Aku masih suka dengan hobi dan ingin mengikuti olimpiade ice skating sekali lagi tahun ini," jawab Joey dengan menekuk wajahnya.
"Kalau begitu batalkan saja. Aku akan coba bicara pada papa dan Dante," seru Melvin kemudian berjalan menuju keluar kamar.
"Melvin, jangan!" seru Joey mengikuti Melvin yang hampir tiba di pintu..
"Kenapa? Kamu tidak perlu menikah jika belum siap!" Melvin tampak tidak suka.
"Aku hanya akan membicarakan hal ini tidak ada Dante karena yang menjalani pernikahan ini adalah kami. Jangan katakan hal ini pada papa atau dia akan kecewa padaku," seru Joey dengan sendu.
"Joey, sejak kecil aku peduli padamu. Jadi, jika ada sesuatu yang membuatmu menggambil keputusan tanpa membuatmu bahagia, aku tidak bisa tinggal diam!" Melvin kesal.
"Ya aku tau, kamu peduli padaku. Tapi hal ini akan aku bicarakan dengan Dante saja," sahut Joey mencoba menenangkan Melvin.
Melvin menghela napas. kemudian menyandarkan punggungnya pada dinding kamarnya yang berwarna metalik. "Kamu sungguh mencintainya?"
"Tentu saja aku mencintainya. Aku tidak siap hanya karena mengenai karir.". Joey menegaskan.
"Kalau begitu, menikahlah ...," Seru Melvin kemudian membuka pintu dan segera keluar dari kamar dengan tatapannya yang begitu dingin.