"Lari, Juli …!" Ambar Triatmo Smith, wanita berusia lima puluh tahun itu berteriak menyuruh putrinya untuk lari.Â
Srak! Srak!
Julia Smith berlari tanpa alas kaki. Ia menerobos hutan belantara di Desa Parangkaris-Sukabumi. Kakinya berdarah-darah akibat menginjak duri dari rumput kiriut yang memiliki duri-duri kecil dan tebal.
Ia menoleh ke belakang, melihat laki-laki berusia empat puluh lima tahun yang terus mengejarnya. Kaki Julia mulai terasa lelah untuk berlari. Meski laki-laki itu sudah terlihat tua, tapi ia masih sanggup berlari kencang untuk menangkap gadis malang itu.Â
Dodit Sarjono, dia adalah ayah tiri Julia. Ia menikah dengan Ambar sepuluh tahun yang lalu saat Smith, ayahnya Julia, meninggal dunia karena serangan jantung. Dodit membawa seorang putri hasil pernikahan dengan mantan istri pertamanya.
Hobi laki-laki itu berjudi dan mabuk-mabukan. Harta warisan peninggalan Smith, telah ludes dipakai untuk taruhan di sebuah rumah judi tersembunyi di desa mereka. Ia sudah berhutang banyak ke sana kemari, hingga akhirnya ia tidak sanggup membayar.
Selama ini, Julia-lah yang membayar semua hutang-hutang bekas judi ayah tirinya itu. Namun, siapa sangka, Dodit berani meminjam uang sebesar dua ratus juta kepada rentenir paling kejam di desanya.
Waktu pinjaman telah jatuh tempo. Rentenir itu menagih ke rumah dengan membawa empat orang anak buah berbadan besar. Dodit habis dipukuli oleh mereka. Hingga ia terkapar di halaman rumahnya.Â
Setelah kepergian rentenir itu, Dodit memaksa Julia memakai dress putih dan berdandan dengan cantik. Dengan polosnya, gadis itu menurut. Namun, saat ia tahu Dodit akan menjualnya kepada bandar judi, ia pun memberontak.
Dodit menarik paksa Julia. Dengan tubuh lemahnya, Ambar membantu gadis itu agar terlepas dari cengkeraman tangan besar Dodit. Namun, ia kalah tenaga dan akhirnya Dodit mengejar Julia.
"Julia! Berhenti kamu!" teriak Dodit di belakang gadis itu.
"Hah … hah …. Tolong aku, Tuhan." Napas gadis itu mulai tersengal. Langkah Julia semakin pelan, ia tidak mampu lagi bertahan. Dan ….
Bruk!
Ia terbaring di tanah lembab hutan Parangkaris. Hutan pinus yang jarang dijamah masyarakat sekitar karena dianggap angker. Namun, dengan beraninya Julia lari ke dalam hutan itu.Â
Pelariannya berakhir sia-sia. Ia tertangkap oleh Dodit dan dibawa pulang ke rumah. Ambar hanya bisa menangis melihat putri semata wayangnya diperlakukan seperti itu. Ia menyesal, telah menikah dengan laki-laki jahat seperti Dodit.
"Aura!"
"Ya, Pa." Gadis bertubuh tambun itu keluar dari kamarnya. Dia berusia satu tahun lebih muda dari Julia. Anak gadis dari Dodit itu sangat dimanja. Semua keinginannya selalu dipenuhi oleh Dodit, meski uangnya dihasilkan dari meminjam.Â
Gadis itu tidak pernah melakukan apa-apa di rumah. Pekerjaannya hanya makan, tidur, dan bermain handphone. Sementara Julia, ia bekerja di toko baju sebagai pelayan.
Gaji yang tidak seberapa itu dipakai untuk menutupi hutang-hutang Dodit. Namun, itu hanya hutang kecil yang bisa dibayar. Hutang terbesarnya kepada rentenir bernama Oman Sanjaya.
Gubrak!
Dodit mendorong Julia sampai tersungkur di lantai dingin yang hanya ditutupi peluran semen. Mereka tidak sanggup membenahi rumah dan mengganti lantainya dengan keramik seperti rumah warga yang lainnya.
"Kamu bersihkan dia dan ganti bajunya. Dia harus terlihat bersih dan cantik agar harganya tinggi," ucap Dodit.
"Mas, tolong …. Jangan jual Julia! Aku masih punya simpanan emas. Kamu bisa menjual itu, tapi lepaskan Julia."
"Halah! Emas itu tidak akan bernilai tinggi dibanding keperawanan anakmu!"
Setengah jam kemudian, Julia selesai dirias oleh Aura. Dodit mengancam Julia, jika dia tidak mau, maka Dodit akan menjual ibunya kepada bandar judi untuk disiksa. Gadis itu pasrah, ia pun akhirnya ikut dengan Dodit.
***
"Izinkan saya untuk bertemu Tuan Oman," pinta Ambar.Â
Ia pergi ke rumah rentenir yang menagih hutang suaminya. Dua orang penjaga gerbang menahan Ambar. Mereka tidak mengizinkan wanita itu masuk.Â
Ambar terus berteriak meminta bertemu dengan pemilik rumah. Namun, mereka terus mengusir Ambar. Keributan yang dibuat oleh wanita itu, terdengar sampai ke telinga Oman.
"Kimo!"
"Ya, Tuan Besar. Apa yang Anda butuhkan, Tuan?" tanya Kimo, asisten pribadi Oman.
"Ada apa di depan?"
"Itu …. Istrinya Dodit mencari Anda, Tuan. Dia membuat keributan di depan gerbang. Haruskah saya turun tangan, Tuan?"
"Tidak perlu. Bawa dia menghadap saya!"
"Baik, Tuan."
Kimo pergi menjemput Ambar di depan gerbang. Ia membawa wanita paruh baya itu untuk bertemu majikannya. Laki-laki yang dikenal sebagai rentenir paling kaya dan berkuasa di desa mereka.
Oman Sanjaya, berusia enam puluh tahun, duda beranak dua yang ditinggal mati oleh istrinya. Ia mewarisi kekayaan turun temurun dari kakeknya. Sejak zaman kakeknya masih hidup, keluarga Sanjaya memang selalu meminjamkan uang kepada masyarakat sekitar.Â
"Saya sudah membawa Nyonya Ambar kemari, Tuan besar." Kimo melapor sebelum memersilakan wanita itu masuk.
"Hem. Bawa masuk dan tinggalkan kami," jawab Oman dengan santai.
Kimo membuka pintu ruang kerja Oman, lalu memersilakan Ambar untuk masuk. "Silakan masuk, Nyonya! Tuan besar menunggu di dalam," ucapnya.
"Terima kasih." Ambar melangkah masuk ke ruang kerja yang hampir mirip dengan perpustakaan. Ia menoleh ke setiap sudut, mencari keberadaan Oman. Di kanan dan kiri, berbaris buku-buku yang tersimpan rapi di rak buku.
"Mari masuk, Bu Ambar," ucap Oman dari balik sekat bambu. Meja kerjanya ada di balik ukiran bambu penyekat ruangan. Ia terlihat sibuk dengan buku-buku nota yang bertumpuk di atas meja.
Ambar menghampiri laki-laki itu lalu duduk di depannya. Ia terlihat gugup dan ketakutan. Bukan rahasia lagi, para warga mengenal sosok Oman sebagai laki-laki tua yang bengis dan tidak memiliki perasaan.
"Tidak perlu takut, Bu. Jadi, ada apa, Ibu, mencari saya?" tanyanya dengan suara bariton yang berat dan dalam.Â
Dari suara dan nada bicaranya, Ambar tidak merasa laki-laki itu berwatak bengis. Ia terdengar bersahaja dan sopan saat bicara. Mungkinkah orang-orang salah menilai laki-laki ini? tanya Ambar dalam hati.
"Saya ingin menjual Julia kepada Anda, Tuan." Dengan suara bergetar, Ambar memberanikan diri untuk bicara.
Oman tercengang. Kedua alis yang sudah beruban itu bertaut. Ia tidak menyangka, Ambar datang untuk menjual putrinya.
"Menjual putri Anda, Bu Ambar?" Oman menegaskan pendengarannya. Ia takut, jika ia sudah terlalu tuli dan salah mendengar ucapan Ambar.
"Iya. Anda bisa mengambil putri saya sebagai bayaran atas hutang suami saya. Anda bisa menyuruhnya apa saja, Tuan. Tolong … selamatkan putri saya," pinta Ambar sambil menangis. Ia bangun dan berlutut di depan meja.Â
"Suami saya, dia sedang membawa Julia kepada bandar judi untuk dijual. Jika putri saya dijual di sana, dia akan dijadikan wanita penghibur. Jadi, tolong beli anak saya, Tuan. Jadikan dia pembantu, tukang kebun, atau apa saja. Saya mohon …." Ambar menangis putus asa.
Oman pun mengerti maksud Ambar. Dia ingin menjadikan Julia sebagai bayaran hutang suaminya agar Dodit tidak menjual gadis itu. Dodit menjual Julia untuk membayar hutang padanya, jadi tidak ada salahnya jika ia meminta Dodit menyerahkan gadis itu padanya.
====BERSAMBUNG====