"Hatchii …."
Keesokan harinya, Julia demam dan flu. Damian sengaja menyiksa gadis itu supaya kedinginan di air terjun kemarin. Kesal, marah, ingin memaki, tetapi tidak bisa. Julia benar-benar tidak memiliki hak untuk bicara sama sekali.
Membayangkan seperti apa pernikahannya kelak bersama laki-laki itu. Julia menangis. Bukit kebahagiaan yang diimpikan, terasa semakin tinggi, tinggi, dan terus bertambah tinggi. Rasanya ia tidak akan pernah sanggup mencapai bukit itu.
Julia seperti berada di bawah tanah, di dekat kerak bumi yang panas tanpa udara. Sesak untuk bernapas, sulit bergerak, dan tidak pernah melihat matahari. Ya, hidupnya akan berada dalam kegelapan tidak lama lagi.
"Juli! Ayo makan, Sayang," bujuk Ambar sambil membawa semangkuk sop buntut dan bubur ayam yang dibeli oleh Dodit. Sangat jarang, laki-laki itu berbuat baik kepada Julia.
"Julia, cepat makan dan minum obat! Pernikahanmu tinggal lima hari lagi. Semua warga Desa Parangkaris sudah tahu. Keluarga Tuan Oman juga sudah mendekorasi rumah besarnya untuk pernikahan ini. Kau harus cepat sembuh, mengerti!"
'Lihat bukan, Ma? Dia selalu seperti itu sejak dulu. Setiap kali, dia berbuat baik, maka ada hal buruk di balik itu. Jika aku sakit dan mati sebelum pernikahan berlangsung, rasanya itu lebih baik dibanding aku hidup dalam neraka dalam keadaan hidup. Laki-laki itu seperti iblis, dia juga begitu membenciku. Hidup dengannya, pasti tidak akan mudah.'
Julia hanya menggumam lirih dalam hati. Ia tidak merespon ucapan Ambar ataupun Dodit. Seakan ia sengaja ingin mengakhiri hidupnya dengan mogok makan saat ia sedang sakit.
"Kau sengaja tidak mau makan karena ingin mati dan membatalkan pernikahan ini bukan? Baik. Mati saja di kamar ini! Biar aku bawa ibumu ini ke Bos Codet."
Dodit menarik tangan Ambar, sampai mangkuk di tangan wanita itu terjatuh, hancur berkeping-keping. Julia segera bangun dengan tubuh lemah, ia bersujud di kaki Dodit. Kepalanya menggeleng lemah dan kedua mata oval itu menteskan air mata pilu.
"Julia …." lirih Ambar. Wanita yang dibalut baju tidur batik itu menangis melihat putrinya bersimpuh. Lagi dan lagi, itu karena menyelamatkan dirinya dari amukan Dodit.
"Cepat makan dan minum obatmu! Jika sampai besok masih belum sembuh, ibumu akan aku bawa ke sana," tandas laki-laki itu sambil mendorong Ambar ke atas ranjang.
Julia memaksakan diri untuk makan dan segera meminum obat pereda demam. Bahkan di saat sakit, ia tetap tidak bisa berbuat semaunya. 'Ingin mati saja sulit,' batin gadis itu.
***
Tok! Tok! Tok!
Tengah malam, Julia mendengar suara ketukan di jendela kamarnya. Jendela kayu yang sudah pudar warna catnya itu seperti sengaja diketuk pelan oleh seseorang karena tidak ingin diketahui orang lain. Julia mengintip dari celah tirai yang menutup kaca jendela.
"Andi!" pekiknya. Ia segera membuka jendela.
"Jusa!" panggil Andi.
"Mau apa kemari? Bagaimana kalau ketahuan?"
"Bapakmu sedang di tempat judi. Jusa, aku sudah mendengar kalau pernikahanmu dipercepat lima hari lagi. Apa kamu yakin untuk menyerah begitu saja?" tanya Andi sambil mengusap pipi gadis itu yang terasa hangat karena demamnya masih belum turun.
"Aku tidak bisa melarikan diri, Di. Bagaimana dengan ibuku?" Gadis itu terisak pelan. Bibir pucatnya itu bergetar. Kedua bola mata itu terendam genangan air mata.
"Kita bisa pergi bertiga. Masih ada waktu sebelum pernikahan. Kita pergi bersama ibumu," ucap Andi dengan tulus. Ia sangat mencintai Julia. Mencintai sepenuh hati dengan segenap jiwa dan raga. Ia tidak bisa diam saja melihat kekasihnya dipaksa menikah dengan orang lain.
Ceklek!
Julia gemetar ketakutan saat pintu kamarnya terbuka. Ia lupa mengunci pintu sehingga ada orang yang membukanya dari luar. Tangannya menggenggam erat tangan sang kekasih. Ia pasrah jika Dodit memukulinya sampai mati.
"Juli!" pekik Ambar. Wanita itu bergegas menutup pintu. Ya, yang membuka pintu adalah wanita itu, ibunya. "Apa yang kalian lakukan?"
"Ma, Andi ingin mengajak kita pergi dari sini. Ayo kita pergi, Ma!" Gadis itu memeluk ibunya dan berkata lirih.
Ambar melihat putrinya begitu menderita, bahkan sebelum pernikahan terjadi. Wanita itu tidak dapat membayangkan seperti apa hidup putrinya setelah pernikahan. Ia juga tidak tega melihat gadis itu terus menderita.
Melihat sedikit kesempatan, ia akan mempertaruhkan segalanya, meski harus mengorbankan nyawanya. Ia rela, asalkan putrinya bisa bahagia. Tidak peduli, jika ia mati di tangan Dodit sekalipun.
"Mama tidak bisa pergi. Sebaiknya, kalian cepat pergi dari sini! Besok, adalah harinya. Mereka akan menjemput Julia untuk tinggal di sana. Cepat bawa Julia pergi, Nak Andi!" Ambar mengambil emas simpanannya yang terakhir. Sebuah cincin emas dua puluh empat karat seberat tiga gram.
"Bagaimana dengan Mama?" tanya Julia dengan ragu. Ia tidak mau meninggalkan ibunya sendirian di rumah itu.
"Ma! Aku mau minum susu!" seru Aura dari kamarnya.
"Iya, Sayang. Mama akan membuatkan untukmu," sahut Ambar.
Suasana menjadi tegang, khawatir gadis itu mencari keberadaan Ambar. Ia segera membantu Julia melompati jendela dengan Andi yang memegangi dari luar jendela. "Mama tidak apa-apa. Dia tetap memiliki perasaan untuk Mama, jadi tidak perlu mengkhawatirkan Mama. Ayo cepat pergi!"
Julia segera berlari bersama Andi menuju motor bebek yang terparkir tidak jauh dari gerbang bambu rumah Dodit. Laki-laki itu segera memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Namun, Dodit tiba-tiba pulang dan melihat motor Andi pergi membawa Julia.
"Hei! Brengsek! Berhenti kalian!"
Dodit mengejar mereka dengan motor bututnya. Andi menambah kecepatan laju motornya. Setengah jam kemudian, mereka tidak lagi diikuti oleh laki-laki pemabuk itu. Dodit kehabisan bensin dan hanya bisa marah-marah di jalanan.
***
"Kita istirahat dulu di sini," ucap Andi. Ia memarkir motornya di sebuah pos ronda di tepi jalan. Perjalanan menuju kota masih sangat jauh, sedangkan ia tidak tega melihat kekasihnya kedinginan terkena angin di motor.
Andi membuka jaketnya dan menutupi tubuh gadis itu. Di kanan dan kiri mereka, hanya ada tanaman pinus yang berdiri, berbaris rapi, menjulang tinggi. Sementara di depan pos hanya ada jalanan rusak di ujung Desa Parangkaris. Di seberang jalan, sebuah bukit menjulang, menjadi pembatas jalan dan hutan jati di atasnya.
"Kita mau pergi kemana, Di?" tanya Julia sambil menyandarkan kepalanya di bahu sang kekasih.
"Kita pergi ke kota. Aku punya sedikit tabungan untuk memulai usaha di sana. Kita bisa menyewa sebuah rumah kecil, menikah di gereja terdekat, dan hidup bahagia bersama anak-anak kita kelak," jawab Andi sambil tersenyum.
"Indah sekali," gumam Julia sambil memejamkan mata.
Langit masih sangat gelap karena baru jam setengah tiga dini hari. Tidak ada lampu penerangan jalan sama sekali. Membuat mereka merasa sedikit lebih tenang karena tidak akan ada yang menyusul mereka sampai ke sana.
Andi mendekap tubuh Julia agar gadis itu tidak kedinginan. Ia mengantuk dan perlahan-lahan mereka berdua tertidur dengan posisi duduk berpelukan di dalam pos ronda. Pos itu hanya dipakai sesekali saat ada petugas kehutanan yang memeriksa kondisi hutan pinus di sana.
====BERSAMBUNG====