Chika manggut-manggut. Dia kembalikan gelang itu pada mayang. Mayang iseng melihat sebuah lemari kaca di kamar Chika. Dia melihat banyak sekali topi dan syal yang indah.
"Chik, topi lo bagus-bagus," kata Mayang mengagumi kolekti topi Chika.
"Ah, Lo, May. Biasa lagi. Yah, itu semua oleh-oleh dari sepupu gue. Ada yang kebetulan di pelayaran. Tiap pulang, dia beri satu topi buat gue. Tapi … ada sih yang gue minati," kata Chika sambil mendekati Mayang.
Dia mengambil sebuah topi yang sebenarnya paling sederhana. Mayang keheranan.
"Lho, kok malah topi ini?" tanya Mayang.
"May. Ini topi pertama yang gue beli sendiri. Walau tak sebagus yang lain. Gue seneng banget dengan topi ini. Warna dan desainnya menarik," kata Chika.
Mayang manggut-manggut. Entah bagaimana awalnya, Chika iseng bertama tentang Raymond.
"Eh, May. Selama lo kenal Raymond, gimana sih menurut lo dia orangnya?" Iseng Chika bertanya pada Mayang.
Mayang memandangi Chika. Dia akhirnya menceritakan perkenalannya dengan Raymond. Semua kesan yang dia rasakan dia sampaikan pada Chika. Setelah beberapa lama bercerita, Mayang kembali bertanya pada Chika.
"Uhm. Oh ya, kok tumben lo tanya Raymond?" tanya Mayang.
Chika tersenyum simpul. "Gue pingin kenal dia aja. Jujur, gue penasaran ama dia."
Mayang tersenyum. "Chik, raymond bukan tipikal seorang playboy. Jujur, kalo gue nilai dia tipe cowok yang sulit di taklukkan. Bukan karena pintarnya, karena dia lugu dan tak faham mengenai asmara. Tapi, jujur. Dia cowok yang nyenengin."
Mendengar penjelasan Mayang Chika makin penasaran. "Ah, masa sih? Semalam gue lihat dia manggung di café tango. Ada cewek cantik yang ngedatengin dia. Gue rasa sih, dia ceweknya. Mereka akrab banget."
"Oh, ceweknya rambutnya agak panjang?" tanya Mayang.
"Iya. Wajahnya cantik banget. Uhm, sebentar," Chika teringat sesuatu. Dia mengambil sebuah majalah remaja.
"Nah, ini ceweknya," kata Chika menunjukkan sebuah model di cover majalah.
"Ini mah Shely, teman satu SMA nya Raymond. Lo tahu, Dia kejar-kejar Raymond tapi, gak di tanggepin," kata Mayang.
Chika makin penasaran. Dia seolah tak percaya.
"Ah, yang bener, May. Dia cantik lho." Chika keheranan.
"Yeee, bener Chik. Gue aja sempet di cemburuin dia, padahal gue ama dia hanya temenan," balas Mayang.
Dia seolah tak percaya dengan penjelasan Mayang. Sejenak mereka saling diam. Mayang diam-diam mengincar sebuah koleksi topi Chika.
"Eh, Chik. Gini aja. Gimana kalo kita taruhan," kata Mayang.
Chika terkejut. Dengan senyum penasaran, dia pandangi Mayang.
"Taruhan?" tanyanya.
"Iya. Gue gak bisa naklukin Raymond. Selama setahun, gue udah usaha buat Raymond tertarik, eeeh malah kedok gue kebongkar. Nah, kalo lo bisa taklukin raymond, gelang ini buat lo. Bagaimana?" tanya Mayang sambil menunjukkan gelang itu pada Chika.
Sejenak Chika memandang Mayang seolah tak percaya. Gelang itu begitu bagus. Sejenak, Chika berfikir.
"Bagaimana, Chik? Kalo lo berhasil naklukin Raymond, gelang ini buat lo. Tapi, kalo lo gagal, gue minta satu topi koleksi lo. Bagaimana?" Mayang kembali bertanya sambil tersenyum dan memainkan alisnya.
"Oke, Deal. Lo mau topi yang mana?" tanya Chika.
"Uhm … LA Dodger yang pink," jawab Mayang.
"Oke. Deal." Balas Chika sambil berjabat tangan dengan Mayang.
"Chik, permainannya jelas ya. Kalo lo bisa buat Raymond jatuh cinta sebelum lo cintai Raymond, lo menang. Tapi, kalo lo yang akhirnya tak dapat menahan cinta lo, lo kalah. Bagaimana?" kata Mayang menjelaskan.
"Oke, gue paham, May," balas Chika dengan senyum simpul.
Mereka kembali bercakap-cakap dengan topic ringan. Tak jarang terdengar canda renyah diantara mereka.
Sementara itu, Raymond tengah berusaha keras mengerjakan tugas sekolahnya. Berulang kali dia menggaruk kepalanya melihat tugasnya.
"Yaelah … ini gimana ya?" pikirnya sambil melihat soal di buku tulisnya.
Dia membuka buku paketnya, dan mencari jawaban dari soal itu. Beruntung, ada. Setelah beberapa jam berkutat dengan buku, akhirnya selesai juga soal itu. Raymond merasa lega.
"Uhft! Akhirnya … ," katanya bernafas lega.
Dia rapikan meja belajarnya, dan menyiapkan buku pelajaran untuk keesokan harinya. Dia lihat jadwal pelajarannya.
"Yah, besok kena sama pembukuan, dan alamak … bahasa inggris lagi. Ampun," keluhnya.
Raymond mulai membuka buku pelajarannya. Dia buka satu-persatu buku pelajaran itu. kendati tak mengerti, dia baca demi menyenangkan ibunya.
Waktu terus berjalan, tak terasa sore telah tiba. Raymond segera mengakhiri belajarnya dan memasukkan buku itu ke dalam tasnya. Baru saja dia rapikan meja, Victor mengirim pesan untuk mengajaknya latihan. Raymond menyanggupinya. Segera dia mandi dan berangkat ke studio Bang Boim.
Tak lama kemudian, sampailah Raymond. Victor merasa heran melihat Raymond yang tampak jutek.
"Ray,, tumben lo jutek ini hari. Kenapa?" tanya Victor.
"Yah, gue nyaris jadi botak gara-gara ngerjain tugas Anthropologi," keluh Raymond.
Romi tertawa lepas. "Ya elah, Ray. Gimana bisa tugas sekolah bikin lo botak?"
"Eeh, jangan ngeremehin tugas sekolah gue, Rom. Banyak imajinasinya," kata Raymond.
Victor dan Romi sejenak terdiam mendengar ucapan Raymond. Mereka saling pandang.
"Eeeh, sudah giliran kita tuh. Ntar lagi ngobrolnya. Yuk kita latihan buat manggung nanti malam," ajak Yusta.
Mereka segera masuk ke studio itu, dan mulai berlatih. Beberapa lagu mereka persiapkan untuk menggung. Waktu terus berjalan, dan dua jam berlalu. Waktu menunjukkan pukul 17:00. Mereka mengakhiri latihannya. Sejenak, mereka beristirahat di depan studio Bang Boim.
"Gue seneng nih kalian akhirnya bisa manggung di kafe Tango. Tuh kafe keren lho," kata Bang Boim sambil membawakan the hangat untuk Raymond dan kawan-kawannya.
Bang Boim menyajikan teh hangat di meja. Dia mempersilahkan mereka untuk minum. Sambil menikmati teh yang di sajikan bang Boim, mereka terlibat dalam sebuah percakapan.
"Bang, modal buat studio ini berapa duit?" tanya Raymond.
"Yah, gue lupa gak ngitung. Kalo instrument aja, masuk sekitar 50 juta. Itu belum sound, dan kelengkapan lain. Banyak dah pokoknya. Gue ampe lupa ngitung. Kayaknya sih, bini gue yang tahu," kata Bang Boim.
Raymond manggut-manggut. Mereka kembali terlibat percakapan ringan. Sesekali terdegar gelak tawa diantara mereka. Setelah setengah jam bercakap-cakap, raymond dan kawan-kawannya pulang ke rumah untuk mempersiapkan performa di kafe tango.
Malam harinya, ketika Mayang selesai belajar dia di kejutkan dengan suara ketukan di pintu kamarnya.
"Ya, sebentar," kata Mayang.
Mayang segera membuka pintu kamarnya. Rupanya, sang ibu berada di depan pintu kamarnya.
"Nak. Ferry menunggumu di ruang tamu," kata ibunya.
"Kak Ferry? Bukannya masih besok jadwal Mayang privat? Kok tumben?" kata Mayang keheranan.
"Udah, temui dia dulu. Sana, gih, buruan," kata ibunya.
Mayang mengangguk. Dia berganti pakaian dan berjalan ke ruang tamu. Di ruang tamu, Ferry menyambutnya dengan senyum manis. Mayang langsung duduk di depannya.
"Kak Ferry? Koq tumben mendadak sekali. Bukannya besok jadwal les Mayang?" kata Mayang keheranan.
Ferry tampak gugup. Sejenak dia berdehem untuk menghilangkan rasa gugupnya.
"Uhm, May. Aku … aku pingin ngomongin sesuatu. Tapi, kita ngomongin di luar ya," kata Ferry dengan nada gugup.
Mayang merasa penasaran. Dia sejenak mengernyitkan dahinya. Ferry kembali melanjutkan ucapanya.
"Uhm, May. Bagaimana kalau kita jalan?" kata Ferry.
Mayang berfikir sejenak. waktu telah menunjukkan pukul 19:30. Dia merasa sedikit khawatir karena hari telah malam. Ketika tengah berfikir, tiba-tiba ibunya Mayang muncul membawakan minuman untuk Ferry.
"Nak Ferry, silahkan di cicipi minuman sederhana ini," kata ibunya Mayang.
"Terima kasih, Tan." Ferry tersenyum manis sambil memandangi Mayang.
Setelah menghidangkan minuman untuk ferry, ibunya kembali ke ruang tengah. Mayang masih merasa khawatir jika dia tak diijinkan keluar. Namun, akhirnya dia beranikan diri untuk mencobanya. Dan, di luar dugaan, ternyata dia di ijinkan keluar.
"Ingat ya, Nak. Sebelum pukul 9 malam, kamu harus sudah di rumah," kata ibunya.
"Iya, Ma. Mayang berangkat dulu," kata Mayang sambil mencium tangan ibunya.
Dengan senang hati, Mayang akhirnya jalan dengan ferry. Mereka menuju ke sebuah café tak jauh dari rumahnya. Sesampainya di café itu, mereka langsung memesan makanan ringan dan minuman. Sambil menikmati alunan music romantis, Mayang mulai terhanyut dengan suasana romantisme di sana.
"Gimana, May? Kamu suka dengan suasana di sini?" tanya Ferry.
Mayang memandangi sekitarnya. Dia tersenyum manis sambil mengangguk. ferry menghela nafasnya sejenak. Dengan lembut, dia memegangi tangan Mayang. Sejenak, Mayang terkejut, namun dia membiarkan Ferry memegangi tangannya.
"May, setelah gue jadi guru privat lo selama ini, jujur. Gue mulai mencintai lo. Gue berusaha nahan perasaan ini, dan ternyata gue gak sanggup lagi. Gue sayang sama lo," kata Ferry dengan nada serius.
Mayang menatap Ferry seolah tak percaya. Jantungnya berdegup kencang seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Mayang yang memang sejak awal bertemu menyimpan perasaannya pada Ferry tersipu malu.
"Gue … Gue juga s—sayang sama lo," kata Mayang malu-malu.
Dia rasakan getar cinta itu di hatinya. Ferry memandanginya dengan senyum manis. Malam itu, Mayang begitu bahagia karena pria yang dia cintai akhirnya menjawab cintanya.