Dua hari kemudian, ketika jam istirahat, Chika duduk sendirian di kantin sekolahnya. Dia teringat akan kebersamaannya dengan Raymond. Ketika tengah melamun, dia di kejutkan dengan telepon yang masuk. Dilihatnya Mayang menghubunginya. Chika meneremianya.
"Ya, May," sapa Chika melalui telepon.
Sementara itu, di SMA 40 Mayang duduk sendiri di depan lapangan basket. Dia tengah menikmati es cendol di bawah pohon sambil menghubungi Chika.
"Hei, Chika. Bagaimana usahamu ngedapetin si Raymond?" tanya Mayang sambil menikmati es cendol di depanya.
"Ya namanya masih usaha. Kita masih berteman kok. Lagian, waktu masih terlalu singkat untuk menyerah," jawab Chika melalui telepon.
Mayang tersenyum manis. "Eh, kita video call yuk."
Mayang langsung menswitch ke mode panggilan video. Chika rupanya menyetujui ajakan Mayang. Dan, tak lama kemudian tampaklah wajath Chika di layar handphone Mayang.
"Ciye ciye … penampilan lo kok mendadak berubah begitu?" kata Mayang sambil menikmati es cendolnya.
"Emangnya gue gak boleh dikit modis gitu?" Chika tersenyum di layar handphone Mayang.
"Eeeh, jangan ngambek dong. Ntar nanti sang pangeran pergi," goda Mayang.
Chika tersenyum melihat Mayang yang tengah menikmati Es Cendol. Dilihatnya, mulut Mayang sedikit belepotan.
"May, lo emang kalau makan begitu? Kayak ngejar angkot aja. Tuh, mulut lo dikit belepotan," goda Chika.
Mayang terkejut. Dia mengambil sapu tangannya dan membersihkan sekitar mulutnya. Ketika itulah dia dikejutkan oleh Davis, mantannya. Mayang yang tengah menikmati cendol nyaris tersedak. Tanpa bicara dia memukul lengan Davis.
"Eeeh, kalau makan jangan sambil ngegosip. Nanti kesedak cendol lho," kata Davis sambil tertawa.
Sejenak, Mayang berusaha menenangkan dirinya. Chika hanya tertawa melihat ekspresi lucu Mayang yang hampir tersedak.
"Eh, May. Gue off dulu aja ya. Soalnya bentar lagi gue mau ke perpus," kata Chika berpamitan.
Setelah beberapa saat, Mayang akhirnya merasa lega.
"Uhm … oke, Chika. Sukes ya. See ya," kata Mayang sambil menutup teleponnya.
Setelah menutup teleponnya. Mayang kembali mencubit lengan Davis.
"Vis, lo tega buat gue kaget. Nyaris mati gue," kata Mayang dengan nada tinggi.
"Yeee, maaf. Abisnya lo asyik bener. Padahal, gue nemuin lo karena ini penting banget," kata Davis.
Mayang mengernyitkan dahi. "Penting? Emang ada apaan nih?"
"May, lo sama kepala sekolah ditunjuk buat ikut cerdas cermat tingkat SMA. Nah, lo kan jago biologi sama Fisika. Gue juga di tunjuk," kata Davis.
Mayang terkejut. "Hah? Gue di tunjuk? Tuh gak salah Pak Mail nunjuk gue?"
"Ya kagak tahu gue. Yuk, buruan gih. Kita temui Pak Mail," ajak Davis.
Mayang hanya mengangguk. mereka berdua segera ke ruang kepala sekolah. Dan, setibanya di sana, sudah ada dua anak lainnya. Sesampainya di sana, Kepala sekolah menjelaskan niatnya untuk mendaftarkan empat siswa yang di pilih untuk mengikuti cerdas cermat antar SMA.
"Setelah melalui penyaringan, saya memilih kalian untuk mengikuti lomba cerdas cermat yang akan di adakan di SMA 89 minggu depan. Mulai nanti, setelah pulang sekolah, kalian ada pelajaran tambahan untuk persiapan lomba," kata Kepala Sekolah.
Mayang sedikit terkejut. Dia lantas menanyakan keputusan kepala sekolahnya.
"Pak, saya merasa tidak sepandai Linda di bidang Fisika dan matematika. Tapi, kenapa bapak memilih saya? Bukankah Linda lebih cocok?" tanya Mayang.
Kepala sekolah itu tersenyum manis. "Mayang, Menurut saya kamu dan Linda itu sama. Hanya, Linda sudah sibuk dengan olympiade Fisika di hari yang sama. Jadi, kamulah yang saya pilih," jawab kepala sekolahnya dengan senyum manis.
Mayang terdiam sejenak. dia urungkan niatnya untuk mengundurkan diri. Dalam hatinya, dia berkata, "Ya bagus sih untuk melatih diri."
Akhirnya, Mayang mau mengikuti lomba itu. Setelah beberapa lama, kepala sekolah menutup pertemuan itu. Para Siswa kembali ke kelas masing-masing.
Di SMA 52, bel tanda masuk berbunyi. Chika segera masuk ke kelas dan mengikuti kegiatan belajar mengajar. Waktu terus berjalan. Tak terasa, jam pulang sekolah tiba. Ketika hendak pulang, mendadak Chika di panggil gurunya.
"Chika, kamu ikut lomba cerdas cermat ya," pinta gurunya.
Chika merasa heran. "Lho, Bu. Kok mendadak sekali?"
"Iya, Chika. Ibu sudah mendaftarkan kamu, karena ibu rasa kamu cukup layak mengikuti lomba itu," kata gurunya.
Chika berfikir sejenak. "Tapi, Bu. Jadwal saya sekarang ini cukup padat. Setiap dua hari saya harus bimbel."
Gurunya tersenyum simpul. "Tenang, Chika. Untuk latihannya, kita kan menyesuaikan. Yuk, ke ruang kepala sekolah. Kita rapat sebentar."
Chika merasa tenang. Dia ikuti gurunya ke ruangan kepala sekolah. Di sana, Chika dan ketiga siswa lainnya berkumpul. Kepala sekolahnya memberikan pengarahan dan juga memberikan materi yang akan dilombakan.
Di depan sekolah, tampak Raymond telah menunggu Chika. Sebentar-sebentar dia lihat jam di layar hpnya.
"Ugh! Kemana sih Chika itu? semua udah pulang, kok dia gak keluar juga?"tanyanya dalam hati.
Ketika tengah menunggu, Shely yang tengah melewati tempat itu melihatnya. Dia datangi Raymond yang begitu resah menunggu Chika.
"Raymond?" sapa Shely.
Raymond terperanjat. Dia tak menyangka Shely ada di sana.
"Lho, Shel. Kok lo gak langsung pulang?" tanya Raymond.
Shely tersenyum manis.
"Ray, gue nih ada tugas. Di suruh bedah puisi. Nah, gue dari toko loak di dekat sini. Noh, tempatnya." Shely menunjuk lapak penjual buku bekas di sekitar situ.
"Waduh, tugas lo ngebedah puisi? Emang cara ngebedahnya gimana? Kok puisi pakai di bedah segala?" tanya Raymond keheranan.
Shely tertawa lepas melihat Raymond yang tampak keheranan.
"Ya itu kan istilah, Ray. Ngebedah puisi mah beda dengan ngebedah kodok. Kita ngebedahnya pakai literature, bukan pakai pisau," kata Shely menjelaskan.
Raymond manggut-manggut. "Oh, kirain lo ngebedah puisi pakai pisau. Bisa berabe dong buku lo."
"Hahaha, Raymond. Inilah anehnya masuk kelas bahasa. Kita serba main imajinasi," kata Shely sambil tertawa ringan.
Mereka berdua tertawa renyah. Namun, tanpa mereka sadari, Chika muncul di depan gerbang. Dia terkejut melihat Shely yang begitu akrab dengan Raymond. Dalam hati, kecemburuannya mulai muncul.
"Yah, dia akrab dengan model itu. Sial! Gara-gara tadi di briefing," katanya dalam hati.
Dengan sedikit jutek, dia dekati mereka berdua.
"Eh, Raymond. Maaf ya, tadi aku di panggil kepala sekolah," kata Chika tiba-tiba muncul dan memutus pembicaraannya dengan Shely.
Shely terkejut melihat Chika. Sejenak, dia dan Raymond saling berpandangan.
"Uhm … Shel. Tadi gue nungguin dia," kata Raymond sambil menggaruk rambutnya.
Shely mengerti. Dia tersenyum manis menatap Chika yang sedikit jutek. Dengan santai, dia ulurkan tangannya.
"Uhm, gue Shely, sahabatnya Raymond," kata Shely memperkenalkan diri.
Chika terdiam sejenak. Rasa cemburunya muncul, namun dia berusaha menyembunyikannya. Dengan senyum yang di paksakan, Chika menerima uluran tangan Shely.
"Gue, Chika. Kirain, lo ama dia udah …." Chika sejenak memandangi Raymond.
"Oh, nggak kok, Chika. Gue ama Raymond seperti kakak adik. Dia anggap gue adiknya," kata Shely.
Chika sejenak bernafas lega. "Uhft! Kirain dia bakal jadi saingan gue," katanya dalam hati.
"Shely, ini Chika, teman bimbel gue. Nah gue tuh nungguin dia ampe lumutan, eeh ternyata dia langsung nongol," kata Raymond sambil tertawa.
Chika yang merasa malu tanpa bicara mendekati Raymond dan mencubit gemas tanganya.
"Aduh! Kok lo cubit gue sih?" kata Raymond.
"Udah, Ray. Kita gak ada waktu. Yuk, kita berangkat," ajak Chika dengan nada lirih.
Raymond mengangguk. Dia kembali memandangi Shely.
"Shel, gue anterin nona ini dulu ya. Nih kalau ngambek ampe tujuh galaksi gak kelar-kelar," kata Raymond sambil menunjuk Chika yang tampak jutek.
Chika kembali mencubit tangan Raymond dengan wajah gemas. Raymond mengaduh kesakitan.
"Iya, Ray. Hati-hati di jalan ya. Kebetulan gue juga mo balik. See ya tomorrow," kata Shely berpamitan.
Raymond mengangguk. Shely segera kembali memacu motornya dan beranjakdari tempat itu. sepeninggal Shely, Chika menatap Raymond dengan wajah menahan cemburu. Dia hanya diam di depan Raymond.
"Eh, Chik. tadi kan lo ngajak cabut. Kok sekarang lo bengong?" tanya Raymond.
Chika hanya diam. Tanpa berkata-kata, dia langsung memakai helm ekstra yang di berikan Raymond dan langsung duduk di boncengan motornya. Tak lama kemudian, Raymond menyalakan mesin motornya dan langsung berangkat ke tempat bimbel. Di tengah perjalanan, Raymond heran dengan sikap Chika yang tampak dingin kepadanya. Dia pun akhirnya membuka percakapan.
"Eh, Chik. Kok lo hari ini banyak diemnya?" tanya Raymond.
Chika tak menjawab. Dia hanya diam. Raymond kembali bertanya. Dia berniuat menggoda Chika.
"Uhm … kalau awalnya ceria tapi sekarang diam, gue tahu nih sebabnya. Lo cemburu ya sama temen gue?" Raymond memancing reaksi Chika.
Wajah Chika memerah menahan malu. "Yeee, geer lo. Kan kita temenan. Kok bisa lo ngira gue cemburu ama temen lo.
Raymond tertawa lepas. "Nah, gitu dong, Chik. coba tunjukin wajah lo di spion."
Chika yang merasa lega kembali tersenyum. "Nah, gitu dong Chik. lo kelihatan innocent dan manis kalau tersenyum. tadi aja kayak penyu kebanyakan singkong wajah lo."
Chika kembali tersenyum manis, namun dia mencubit lengan Raymond. Raymond kembali mengaduh kesakitan sambil tertawa lepas. Tak berapa lama kemudian. Sampailah mereka di tempat bimbel.