Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, jam sitirahat tiba. Raymond membuka buku paketnya. Dia begitu kesulitan di bidang matematika.
"Ih, ini rumus macam apa lagi? Kenapa gue masih aja gagal paham?" keluhnya dalam hati.
Dia membuka catatannya, dan mengamatinya. Namun, dia tak kunjung memahami. Chika yang baru saja keluar bersama Windy mendatanginya.Dia tepuk lembut pundaknya.
"Hei, Ray. Lo kelihatan bingung?" tanya Chika.
"Iya nih, Chik. Gue gak faham ama rumus akar akar ini. Masak angka aja pakai akar, pohon. Macam tumbuhan aja," kata Raymond dengan wajah jutek.
Chika tersenyum manis. "Ya udah, sini gue lihat bukunya."
Raymond menyerahkan buku catatan dan buku paket itu. Chika memandangi soal itu. Dia menebaknya.
"Oke, gue tebak. Ini tugas sekolah lo ya," kata Chika.
Raymond mengangguk. "Iya. Mungkin emang gue terlahir gak ahli matematika. Padahal, gue belajar ampe nyaris botak, tapi gak kunjung ngerti juga."
Chika tertawa renyah. "Hihihi. Raymond … Raymond. Lo kalo botak bikin gue makin penasaran deh."
Raymond mengernyitkan dahinya. "Jadi, lo pingin gue botak gitu?"
"Ya kagak lah. Lo lebih keren seperti sekarang," kata Chika secara tak sengaja.
Raymond kembali mengernyitkan dahinya. Dia menatap Chika keheranan.
"Maksud lo? Emang lo lihat gue keren gitu?" tanyanya.
Chika terdiam. Wajahnya sedikit memerah. Terlebih ketika Windy dan Uji yang ada di dekatnya mendengar perkataannya.
"Ciye-ciye. Mulai deh rayuannya," kata Windy.
"Chika, udah kalau ada perasaan jangan di tahan." Windy melanjutkan perkataannya.
Raymond makin keheranan. Dia tersenyum karena tak memahami maksud perkataan Windy.
"Eh, Windy. Ini gimana ya? Kok tiba-tiba lari ke perasaan gitu?" tanyanya keheranan.
Windy hanya tersenyum simpul. Chika berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Uhm, gini, Ray. Ini tugasmu itu cara nyelesaiinnya begini,' kata Chika berusaha mengalihkan perhatian Raymond.
Raymond memperhatikan Chika. Dilihatnya Chika menyelesaikan soal itu satu demi satu. Sementara itu, Windy hanya tersenyum menatap Uji. Mereka pun segera berlalu. Dan, tanpa terasa, semua soal itu di selesaikan Chika dengan cepat.
"Nah, bagaimana Raymond? Lo paham kan?" tanya Chika sambil menyerahkan buku itu pada Raymond.
Raymond terdiam. Dia hanya keheranan memandangi Chika yang bisa menyelesaikan soal matematika itu dengan cepat.
"Ray? Kok lo bengong?" tanya Chika keheranan.
Raymond terkejut. Lamunannya buyar ketika Chika menyentuh pundaknya.
"Oh. Uhm … uhm … dikit sih," kata Raymond dengan gugup.
Chika mengernyitkan dahinya. "Sedikit? Ya Ampun, Ray. Gue uah jelasin panjang lebar lo juga gak paham?"
Raymond hanya mengangguk. Chika tersenyum. Dia memahami kelamahan Raymond. Dengan sabar, dia tetap menyemangati Raymond.
"Sudah, Ray. Gak apa-apa. Gue gak akan nyerah. Lo suatu saat pasti bisa," katanya.
Chika memandangi jam tangannya. Rupanya jam istirahat telah usai.
"Yuk, kita masuk. Bimbingan mau di mulai," ajak Chika sambil menggandeng tangan Raymond.
Raymond sejenak memandangi Chika. Namun, dia akhirnya menurutinya. Mereka berdua langsung masuk ke kelas dan duduk di bangkunya. Tak lama kemudian, bimbingan belajar pun dimulai. Raymond dan Chika begitu fokus mengikuti bimbel sore itu.
Di lokasi lain, Shely tengah melakukan sesi pemotretan. Dia tampak berdiri di sebuah taman dengan posenya, sementara Firman, sang fotografer mengarahkan gayanya.
"Oke, Tolong dagunya diangkat sedikit," perintah Firman.
Shely mengikuti arahan sang fotografer. Beberapa kali kilatan blitz terpancar dari kamera DSLR sang fotografer. Tampak senyum kepuasanya.
"Oke, Shely. Kita break dulu," kata Firman.
Shely bernafas lega. Di sela jam istirahatnya, dia makan malam sambil membawa buku pelajarannya. Dia amati tugas sekolahnya, dan mulai mengerjakannya. Sementara Shely beristirahat, fotografer itu berbicara pada pemilik produk kaos yang menggunakan Shely sebagai model.
"Bagaimana, Bu? Kira-kira nanti untuk iklan, ibu mau pakai foto yang mana?" tanya Firman.
Dia pandangi hasil jepretan Firman. "Wow. Keren nih. Uhm … kita pakai foto ini, dan … ini."
Firman sejenak memandanginya. Dia melihat pilihan pemilik produk itu.
"Oke. saya ada beberapa contoh design di laptop. Sebentar," kata Firman sambil beranjak mengambil tasnya.
Dia ambil laptop itu dari tasnya, dan menyalakanya. Setelah beberapa lama, dia buka contoh design poster di laptopnya.
"Nah ini, Bu. Ini contoh design saya. Silahlkan dilihat," kata Firman.
Pemilik produk itu memandangi contoh design Firman. Dia tampak bingung. Rupanya, dia memiliki design sendiri. Dia tunjukkan designnya pada Firman. Firman mengamatinya. Dia mengangguk.
"Oke,Bu. Saya siap mengerjakanya," kata Firman menyanggupi.
"Baiklah. Besok bisa selesai?" tanyanya.
"Bisa, Bu." Firman tersenyum manis sambil melihat jam tanganya. "Uhm, oke. saya mau lanjutkan sesi kedua. Waktu makin sore," lanjutnya.
Orang itu hanya mengangguk. Dia segera pamit dan beranjak dari tempat itu. Pemotreatan pun di mulai. Shely kembali bergaya, dan Firman mengambil beberapa gambar sebelum mengakhiri sesi pemotreatan itu. Dan, ketika hari telah petang, pemotretan pun berakhir,
"Shely, Bu Rida puas dengan kerja lo. Uhm, ini upah buat lo. Terima kasih atas bantuanya," kata Firman sambil memberikan sejumlahuang pada Shely.
Shely menerimanya. "Terima kasih, Bang. Shely pulang dulu ya."
Firman mengangguk. Shely segera mengendarai motornya dan pulang ke rumah. Sepeninggal Shely, Firman tersenyum manis.
"Uhm, beruntung gue punya model dia. Job gue ramai," katanya dalam hati.
Firman dan beberapa rekanya mengemasi perlengkapan fotonya, dan memasukkannya ke dalam mobil, lalu beranjak dari taman itu. Di waktu yang sama, Raymond tengah mengantar Chika pulang ke rumahnya. Selama di perjalanan, Chika merasa nyaman dekat dengan Raymond. Dia lingkarkan tangannya di pinggang cowok itu, dan menyandarkan kepalanya di punggungnya.
"Ray, sayang sekali lo jadi bahan taruhan. Andai gue gak taruhan, pasti gue udah bahagia," katanya dalam hati.
Sementara itu, Raymond makin salah tingkah dengan perlakua Chika. Dlam hatinya, dia begitu kebingungan. Terlebih, beberapa anak remaja yang melihat Raymond dan Chika berboncengan tersenyum kepadanya. Dan, ketika di lampu merah, dia bersebelahan dengan dua remaja putri yang tengah berboncengan. Terdengar kedua anak itu berbisik.
"Eh, lihat tuh sebelah. Mesra banget, bikin baper," kata gadis itu pada temannya.
Kedua gadis itu tersenyum melihat Chika yang begitu mesra pada Raymond. Raymond yang mendnegarnya menahan malu. Wajahnya memerah.
"Ih, ini cewek gimana sih? Udah gue anter pulang, eeeh malah begini," katanya dalam hati.
Dan, ketikalampu hijau, Raymond langsung melarikan motornya dengan kencang. Dia berharap Chika marah, namun bukannya marah Chika justru merapatkan pegangannya. Dia makin erat memeluk Raymond.
"Yah, sial. Kirain dia bakal negur gue, eeeh malah keenakan," keluhnya.
Dan, tak berapa lama kemudian, sampailah Raymond di rumah Chika. Chika langsung turun dari boncengan dan melepas helmnya. Dia tersenyum manis pada Raymond.
"Ray, terima kasih sudah antar aku," katanya sambil tersenyum manis.
"Iya, Chika. Tapi, gue mau ngomong sebentar boleh?" Raymond balik bertanya.
"Oke, lo mau ngomong apa?" tanya Chika.
"Chika, gue gak keberatan nganter jemput lo, tapi please bersikap yang wajar. Tadi soalnya gue malu jadi perbincangan di lampu merah," kata Raymond dengan wajah jutek.
Chika menatap wajah jutek Raymond. Dia berusaha menahan senyumnya.
"Uhm, maaf, Ray. Aku tadi capek banget. Jujur, aku agak mudah lelah akhir-akhir ini. Mungkin, aku kurang istirahat," kata Chika.
Raymond menghela nafasnya sejenak. Dia berusaha menahan emosinya.
"Ya sudah, Chika. Kamu banyak istirahat. Dan, terima kasih kamu udah bantu selesaikan tugas matematikaku tadi," kata Raymond berusaha tersenyum.
Chika hanya mengangguk. Raymond langsung pamit pulang, dan memacu motornya meninggalkan rumah Chika. Sepeninggal Raymond, Chika tersenyum simpul.
"Hehehe, ternyata asyik juga ngegebet cowok lugu macam Raymond. Dan, gue lihat-lihat tuh anak cakep juga," katanya dalam hati sambil berjalan masuk ke dalam rumah.
Ketika hari mulai malam, Raymond tiba di rumahnya. Dia segera masuk ke dalam kamarnya. Diletakkanya tasnya di meja belajar dan berganti pakaian.
"Raymond, jangan lupa makan malam," teriak ibunya dari ruang tengah.
"Iya, Ma. Raymond masih ganti baju," balas Raymond dari dalam kamar.
Tak lama kemudian, dia keluar dan melahap makan malamya. Setelah selesai, Raymond kembali masuk ke kamarnya. Dia siapkan pelajaran untuk esok hari, dan juga meneyelesaikan tugas matematika sesuai dengan catatan yang di berikan Chika. Setelah setengah jam belajar, Raymond kembali teringat akan Chika.
"Chika. Lo ini cewek macam apa? Kok berani-beraninya lo dekati gue? Dan, apa gue itu emang keren?" katanya dalam hati.
Raymond termenung di kamarnya. Dia ambil hpnya, dan membuka profil Whats App Chika. Dia pandangi foto Chika yang tampak culun.
"Chika, penampilanmu memang cuilun, tapi yang gue gak habis pikir, kok lo begitu pede ya? Sebenarnya lo ini lugu atau pura-pura lugu?" tanyanya dalam hati.
Sementara itu, di waktu yang sama, Chika berbaring di tempat tidurnya sambil senyum-senyum. Diam-diam, ternyata Chika yang mulai tertarik pada Raymond sering memotretnya. Dia pandangi foto Raymond.
"Ray, lo memang lugu, juga tergolong tak pandai. Tapi, menurut gue, lo betul-betul macho," kata Chika dalam hati.
Dia mengusap layar hpnya yang menampilkan foto Raymond sambil tersenyum simpul.
"Lo sebenarnya bukan tipe gue, Ray. Tapi, lo cowok pertama yang mulai masuk di hati gue," lanjutnya dalam hati.
Malam makin larut. Chika memandangi jam di kamarnya. Rupanya, selama satu jam dia termenung. Ketika jam telah menunjukkan pukul 21:00, dia segera mematikan lampu kamarnya dan terlelap.