Tak terasa, jam kedua bimbel di mulai. Chika masuk ke kelas dengan tenang. Dia lihat Raymond telah duduk di tempatnya. Ketika Chika akan duduk, dia heran karena tak melihat tasnya.
"Eh, di mana lo sembunyiin tas gue?" tanya Chika.
Raymond keheranan. Dia menatap Chika dengan wajah heran.
"Tas lo? Emang lo taruh di mana?" Raymond balik bertanya.
"Lho, tadi gue duduk di …." Chika memutus ucapannya.
Dia tak menyadari jika Raymond telah memindah tempat duduknya. Raymond hanya memandangi Chika dengan senyum simpul.
"Nah, ternyata bener kan lo selalu nguntit gue? Masak lo lupa tadi duduk di mana," balas Raymond dengan senyum penuh kemenangan.
Chika hanya menggelengkan kepalanya. Dia mengambil tasnya dan kembali duduk di sebelah Raymond. Tak lama kemudian, mentor masuk dan pelajaran pun dimulai. Raymond dan Chika kembali fokus memperhatikan pelajaran. Dan di tengah proses belajar mengajar, mentor itu mengadakan quiz. Raymond kelabakan.
"yah, quiz bahasa Inggris, mampus gue," keluhnya dalam hati,
Dan tepat giliran pertama, mentor menunjuk Raymond untuk maju.
"Saudara Raymond, silahkan maju untuk mengerjakan soal nomor satu," kata Pak Imam dengan senyum manis.
Deg! Keringat dingin mengucur deras. Semua peserta bimbel mengarahkan pandanganya ke Raymond.
"Yah, sial. Man ague kagak paham past preset tense. Aduh …." Raymond menggaruk kepalanya.
Chika tersenyum memandanginya. Dia menahan tawa. Dengan terpaksa, Raymond akhirnya maju ke depan, Dia hanya memandangi soal itu dengan wajah bingung. Pak Imam kembali tersenyum kepadanya.
"Raymond, ayo coba kerjakan. Benar salah tidak masalah, yang penting kamu berusaha," bisik Pak Imam.
Raymond mengangguk. Dia kerjakan soal itu semampunya. Dan, setelah selesai dia buru-buru berjalan kembali ke tempat duduknya.
"Baiklah, anak-anak. Soal pertama sudah di kerjakan. Sekarang soal kedua, saudara Chika silahkan maju," kata Pak Imam.
Giliran raymond memandangi Chika. Chika begitu tenang dan mengerjakan soal itu. setelah itu, dua orang lainnya maju dan mengerjakan soal itu. Setelah empat sola di kerjakan, mentor itu akhirnya menjelaskan pelajaran itu. Dan ternyata, semua jawaban benar kecuali milik Raymond. Mengetahui jawabanya slah, Raymond hanya tersenyum kecut. Dan, sebagai penutup, mereka mendapat tugas untuk latihan di rumah.
"Baiklah, anak-anak. Jam belajar sudah berakhir. Jangan lupa, lusa nanti tugasnya di kumpulkan. Kita akan bahas tugas ini. Selamat petang," kata Pak Imam menutup pertemuan itu.
Para peserta bimbel akhirnya keluar dari kelas. Di parkiran, Raymond hendak mengeluarkan motornya. Tiba-tiba Chika memegangi tangannya.
"Ray, anterin gue pulang. Please …," pinta Chika.
Raymond memandang ke sekitar. "Nah lho, tadi lo berangkat sama siapa?"
"Uji ada urusan bentar. Please … anterin gue pulang," pinta Chika.
Dilihatnya Uji tersenyum ke arahnya, dan memacu motornya keluar dari parkiran. Raymond terdiam sejenak. Dilihatnya hari telah petang.
"Ayo dong. Anterin gue, please …." Chika mulai merajuk.
Raymond merasa iba. Akhirnya, dengan terpaksa dia mengiyakan. Chika tersenyum manis dan langsung duduk di boncengan.
"Udah siap belum?" tanya Raymond.
"Udah, Ray," jawab Chika.
Raymond langsung memacu motornya keluar dari parkiran. Di tengah jalan, dia meminta Chika menunjukkan arah rumahnya. Chika menunjukkannya. Dan, setelah sepuluh menit, sampailah mereka di rumah Chika. Chika langsung turun dan berbicara pada Raymond.
"Ray, terima kasih ya lo udah anter gue. Uhm … besok lusa lo mau kan jemput gue?" tanya Chika.
Raymond terkejut. Dia pandangi Chika seolah tak percaya.
"Uhm … bukannya kita beda sekolah, Chik. kan lo biasanya berangkat bareng Uji," kata Raymond keheranan.
Chika tersenyum manis. "Gue mau berangkat sama lo, Ray. Gimana? Ntar gue bantuin deh kalo lo kesulitan dengan pelajaran sekolah."
Raymond berfikir keras. Dia matikan mesin motornya dan terdiam sejenak.
"Bentar. Gue tahun lalu jadi tukang ojek. Sekarang, gue jadi tukan ojek lagi. Apa nanti nasib gue jadi tukang ojek?" kata Raymond sambil tertawa.
Chika tersenyum mendengar jawaban Raymond. "Yah, kok lo pesimis gitu? Jangan pesimis dong. Siapa tahu lo besok punya pangkalan ojek sendiri."
"Yah, sama aja dong. Do'a lo buruk banget sih, Chik," kata Raymond.
"Yah lo juga begitu. Mau ya besok lusa kita berangkat bareng. Jujur, gue seneng kenal lo lebih jauh," kata Chika mulai melancarkan aksinya.
Raymond kembali terdiam. Dia kembali memikirkan tawaran Chika.
"Uhm, Chika sih lumayan jagi matematika. Dan, bahasa inggrisnya juga yahud. Kayaknya gak ada salahnya sih kalau aku terima," kata Raymond dalam hati.
Raymond terdiam sambil senyum sendiri. Chika memandangi Raymond yang terbang ke awang-awang. Dia tepuk pundaknya dengan keras.
"Hei, kok malah bengnong? Ntar lo di sambit ama kolong wewe lho," kata Chika membuyarkan lamunan Raymond.
"Oooh, Eh. I—Iya. Gue mau deh. Tapi janji ya, ajarin gue," kata Raymond.
"Iya, Ray. Uhm, gue masuk dulu ya. Thanks lho udah nganterin gue," kata Chika.
Raymond membalas singkat. " Iya, sama-sama. Gue pulang dulu ya."
Chika hanya tersenyum sambil mengangguk. Raymond buru-buru pulang ke rumahnya. Sepeninggal Raymond, Chika tersenyum simpul.
"Benar juga cerita Mayang. Ternyata tuh cowok keren sih, tapi lugu banget," katanya dalam hati.
Chika segera masuk ke dalam rumahnya, dan langsung menuju ke kamarnya. Sementara itu, di tempat lain Mayang yang baru berpacaran dengan Ferry tampak duduk di sebuah café. Mereka terlibat dalam sebuah percakapan.
"Say, tadi sudah paham dengan pelajaran Fisika?" tanya Ferry.
Mayang tersenyum manis. "Tentu dong. Masak di bimbing Kak Ferry gak faham juga."
"Ah, kamu tuh, May. Pinter banget merayu," kata Ferry sambil menyentil hidung Mayang dengan gemas.
Mereka berdua tertawa ringan sambil menikmati minuman di depannya. Setelah hari mulai malam, mereka berdua pulang. Ferry mengantar Mayang pulang ke rumahnya. Di tengah perjalanan, Ferry membuka percakapan.
"Eh, May. Nanti kalau lulus SMA, lo mau kuliah di fakultas apa?" tanya Ferry.
"Uhm, gue sih maunya kuliah di fakultas tehnik, tapi jujur. Gue mulai oleng," kata Mayang.
Ferry keheranan mendengar jawaban Mayang. "Lho, kok oleng?"
"Iya. Gue mendadak ingin jadi ibu rumah tangga aja, deh," balas Mayang.
Ferry tertawa ringan. "Ya elah, May. Suatu saat, lo itu jadi ibu rumah tangga. Tapi apa tak sebaiknya juga menerapka ilmu yang lo pelajari di sekolah. Siapa tahu ilmu itu bisa berguna kelak."
Mayang hanya tersenyum simpul. Dan, tak lama kemudian sampailah mereka di rumah Mayang.
"Say, aku masuk dulu ya. Terima kasih jalan-jalannya," kata Mayang dengan senyum manisnya.
Ferry mengangguk. "Ya udah, May. Gue pulang dulu ya. Uhm … oh ya. Untuk pelajaran Kimia, kalau kesulitan silahkan kontak gue kapan aja."
"Siap, Bos," balas Mayang singkat.
Ferry segera memacu motornya meninggalkan rumah Mayang. Sepeninggal Ferry, Mayang langsung masuk ke kamarnya. Dia rebahkan dirinya di tempat tidurnya sambil tersenyum manis. Ketika itulah, dia dikejutkan oleh suara di hpnya. Dia ambil hpnya, da nada sebuah pesan masuk.
"Chika?" katanya sambil tersenyum manis.
Dia buka pesan Chika. Di abaca pesan Whats App itu sambil tersenyum manis. Mayang langsung menghubungi Chika. Terdengar nada sambung, dan tak lama kemudian panggilan itu di terima.
"Chika, lo tadi jalan sama Raymond?" tanya Mayang melalui telepon.
"Iya, May. Jujur, dia bikin gue penasaran. Tuh anak lugu bener ya," kata Chika di balik teleponnya.
Mayang tertawa renyah. "Menurut lo, dia gimana, Chik?"
"Yah gitu deh. Dia itu konyol, tapi unik, Gue penasaran banget nih ama tuh cowok. Beda bener dari banyak cowok yang gue kenal," balas Chika melalui telepon.
Chika menceritakan kelakuan Raymond di tempat bimbel. Mayang tersenyum mendengar cerita Chika mengenai Raymond.
"Tuh cowok ternyata tetap aja begitu. Memang sih, raymond bukan orang yang pandai, tapi dia unik. Uhm, kira-kira lo bisa naklukin dia?" kata Mayang.
Chika sejenak terdiam, namun tak lama kemudian dia menjawab,
"Gue gak akan nyerah demi gelang yang lo tawarin jadi bahan taruhan. Gue akan berusaha buat dia bertekuk lutut, May," jawabnya melalui telepon.
Mayang tersenyum mendengar jawaban Chika.
"Oke, waktu lo sampai menjelang Ujian Akhir Semester. Lo buat Raymond bertekuk lutut, gelang ini buat lo. Tapi, gue bakal dapat kolektsi topi lo kalau lo kalah," balas Mayang sambil tersenyum manis.
Mereka berdua kembali bercakap-cakap melalui telepon. Setelah beberapa lama, telapon pu ditutup. Hari makin malam, dan Mayang pun akhirnya terlelap dalam angannya. Sementara, di kamarnya Chika tersenyum sendiri. Diam-diam perasaan cintanya pada Raymond tumbuh,
"Uhm, raymond. Lo bener-bener cowok yang beda. Gue mulai kagum sama lo," katanya dalam hati.
Namun, dia kembali tersadar jika dirinya tengah bertaruh dengan Mayang.
"Waduh. Gue lupa. Jangan sampai gue jatuh cinta pada Raymond. Gue harus bisa kalahin Mayang," katanya dalam hati.