Malam itu, di café Tango Raymond tengah manggung. Dan, tanpa terasa jam istirahat tiba.Setelah menyanyikan tiga lagu, dia dan teman bandnya bersitirahat sejenak. Chika melihat kedua temannya yang asyik mengobrol. Diam-diam, Chika yang merasa penasaran berniat mendatangi Raymond. Diam-diam, dia beranjak dari tempatnya duduk, Namun, niat itu dia urungkan tatkala melihat seorang wanita cantik yang berjalan mendatangi Raymond.
"Ray, keren lho permainan gitar lo," kata gadis itu tiba-tiba.
Raymond terkejut. dia pandangi Shely yang tiba-tiba datang ke tempat istirahat pemain band.
"Shely?" kata Raymond dengan wajah terkejut.
"Ciye … pujaan hati lo datang, Ray," celoteh Romi sambil memandangi Rinda.
Raymond memandangi Romi sambil mencubit lengannya. "Lo, Rom. Ada-ada aja deh."
"Gue yang ajak dia, Ray. Soalnya kan dia penasaran pingin lihat lo manggung," kata Rinda.
Raymond hanya tersenyum simpul. Dia persilahkan Shely duduk. Dia duduk di sebelah Raymond,
"Shel, Lo masih jalani sesi pemotretan?" tanya Raymond.
"Iya, Ray. Daripada nganggur," kata Shely.
Mereka yang memang satu sekolahan terlibat dalam percakapan ringan. Tampak sesekali terdengar gelak tawa diantara mereka. Sementara, Chika memandang mereka dengan wajah sedikit kecewa.
"Yah, sial. Keduluan tuh ama cewek itu," kata Chika dalam hati.
Chika terdiam sejenak. tiba-tiba pundaknya di tepuk seseorang. Chika spontan memandanginya.
"Windy? Lo bikin gue jantungan aja," kata Chika dengan nada gugup.
Windy tertawa lepas. "Ya elah, Chik. Tadi gue ama Ujik nyariin lo, ternyata lo di mari. Omong-omong, lo lagi ngapain di sini?"
Chika begitu gugup. Dia benarkan kacamatanya sambil sedikit berdehem.
"Uhm … gue cuman mau ke belakang," jawab Chika sekenanya.
Windy kembali tertawa lepas. "Ke belakang? Maksud lo ke toilet? Noh, petunjuknya ada di sana. Nah, kok gue curiga? Jangan-jangan …."
Windy emandangi Chika dengan wajah menyelidiki. Dia melihat sekitar tempat itu, dan ternyata tak jauh dari tempat itu ada Raymond dan teman bandnya tengah beristirahat. Windy memandangi gadis cantik yang duduk di sebelah Raymond.
"Ah, gue tahu. Lo mau ngedatengin si Raymond itu kan?" kata Windy dengan senyum di kulum.
Dia mainkan alisnya sambil tersenyum menggoda Chika. Chika hanya diam dengan wajah memerah menahan malu.
"Udah, gue anterin aja yuk," ajak Windy sambil menggandeng Chika.
"Uhm … gak, Win. Udah, kita kembali ke tempat duduk aja," balas Chika yang merasa malu.
"Lho, kok batal. Ayolah, gue anterin lo," ajak Windy sambil membujuk Chika.
Chika kembali menolaknya. "Udah, Win. Kita balik aja. Gue malu."
Windy terdiam sejenak. dia lihat wajah Chika begitu merah menahan malu. Dilihatnya Chika tertunduk sambil memainkan jarinya.
"Ya udah. Tapi jangan nyasar lagi ya. Yuk, kita kembali duduk," ajak Windy.
Chika hanya mengangguk dan mengikuti Windy. Di meja itu, Ujik yang baru saja kebingungan mencari Chika memandangi Chika yang menunduk malu.
"Ya elah, Chik. Gue kira lo di bawa kolong wewe. Tiba-tiba lo ngilang aja," kata Ujik yang begitu khawatir.
"Ya elah, Jik. Tuh Cika bukan di bawa kolong wewe, tapi lagi mo nemuin sang pangeran," kata Windy sambil tersenyum memandangi Chika.
Chika merasa malu. Wajahnya semakin memerah. "Iiih! Nggak lah, Win."
Wiwin terkekeh. "Iya, Chik. Nggak … uhm … maksudnya nggak salah kan?"
Chika tersenyum malu memandangi Uji. Tanpa bicara, dia mencubit tangan Windy dengan gemas. Windy hanya tersenyum mengaduh kesakitan.
Uji hanya tersenyum memandangi Chika. "Chika, lo bebas kok suka dengan siapapun. Lagian lo masih bagus dong suka sama cowok. Itu artinya lo normal."
"Iiiih, Ujik. Gue hanya ingin kenal lebih jauh sama Raymond," balas Chika menahan malu.
"Iya, awalnya kenal, lalu turun ke hati dan jadi gebetan. Bukan begitu, Chika?" balas Windy dengan tawa menggoda.
Chika akhirnya terdiam. Dia hanya tersenyum menahan malu. Dan, tak terasa jam istirahat selesai. Raymond kembali manggung bersama bandnya.
Chika memandangi Raymond dari tempatnya duduk tak berkedip. Dia tampak senyum-senyum sendiri. Namun, setelah bermain satu lagu, Windy mengajak Chika pulang.
"Chik, kita pulang yuk. Udah malam nih," ajak Windy.
Chika menyetujui ajakan Windy. Mereka bertiga akhirnya beranjak dari café itu dan pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumahnya, Chika langsung masuk ke kamarnya.
Dia senyum-senyum sendiri sambil diam-diam memandangi kontak what's app Raymond.
"Raymond. Jujur, gue mulai mengagumi lo. Di balik ketidak pintaranmu, ada sisi yang buat gue penasaran. Dan lo mau tahu, malam minggu ini adalah yang terindah buat gue,:" katanya dalam hati.
Chika duduk di tempat tidurnya. Dilihatnya, hari makin malam. Dia matikan lampu kamarnya, dan meletakkan hpnya di meja dekat tempat tidurnya sebelum akhirnya dia terlelap dengan sejuta mimpi indah yang ada di pikirannya.
Keesokan paginya, Chika tampak berjalan menikmati udara pagi. Dia begitu senang berjalan di pagi hari sambil menikmati pemandangan di sekitar rumahnya. Setelah cukup lama berjalan, dia memutuskan beristirahat di teras depan rumahnya. Dia teguk air putih ayang ada di meja teras.
"Ahhh, segar," katanya sambil menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
Dan, tak lama kemudian terdengar suara motor matic berhenti di depan rumahnya. Rupanya, pagi itu Mayang yang lama tak bertemu Chika mengunjungi rumahnya.
"Mayang?" sapa Chika.
Mayang tersenyum manis. Dia parkir motornya dan menguncinya. Tak lupa, dia buka helmnya. Chika sedikit heran melihat model rambut Mayang yang di potong sedikit pendek. Tidak seperti biasanya yang selalu berambut panjang.
"Lho, May. Tumben lo potong rambut pendek?" tanya Chika dengan senyum manisnya.
"Gue lagi pingin rambut pendek, Chik. Udah jenuh juga rambut panjang. Uhm, gimana? Gue cocok dengan potongan ini?" tanya Mayang sambil tersenyum dan memainkan alisnya.
Chika tersenyum simpul. "Cocok, kok. Lo malah kelihatan cantik, May.
Mayang tersenyum simpul. "Makasih, Chik. Awalnya gue ngerasa beda dengan potongan ini, tapi ternyata cocok juga."
Chika tersenyum simpul.
Uhm … masuk yuk," ajak Chika.
Mayang mengangguk. Dia ajak Mayang masuk ke kamarnya.
"Maaf, May. Masih berantakan. Semalam gue abis diajak temen ke café Tango. Teman lama gue ulang tahun, dan gue diajak makan di café itu," kata Chika sambil merapikan buku yang berserakan di kamarnya.
"Gak apa-apa, May. Nyantai aja kali," balas Mayang.
Mayang keheranan melihat tempat tidur Chika masih berantakan. Namun, dia hanya diam dan membiarkan Chika membereskannya.
Setelah beres, Chika berniat mencuci muka sebentar.
"Uhm, gue mau cuci muka bentar. Abis jalan-jalan pagi tadi," kata Chika.
Mayang hanya mengangguk. Dia membaca sebuah manga sambil menunggu Chika yang masih mencuci muka.
Tak lama kemudian, Chika membawa makanan kecil ke dalam kamarnya. Ketika menyajikan makanan kecil, Chika keheranan melihat gelang yang di pakai Mayang.
"May, gelangnya bagus banget. Gue boleh lihat?" tanya Chika.
Mayang tersenyum, dan melepasnya. Chika melihat gelang itu. Dia begitu keheranan karena gelang itu begitu indah.
"May, ini gelang beli di mana? Bagus banget. Peraknya begitu indah," kata Chika memuji keindahan gelang itu.
Mayang tersenyum simpul. "Uhm … ini kenang-kenangan dari Riyadh, teman gue. Waktu kenaikan kelas 11, dia pulang kembali ke Maroko, negara asalnya."
Chika mengernyit keheranan. Dia tahu Mayang tak begitu faham bahasa asing, sedangkan Maroko menggunakan bahasa arab.
"Maroko? Teman lo emang ada yang dari Maroko? Terus, lo kalo bicara ama dia pakai bahasa apa?" tanyanya.
Mayang tersenyum manis. "Ya pake bahasa Indonesia, lah Chik. Dia fasih kok bahasa Indonesia. Kabarnya sih, dia beberapa tahun di Kota Malang."
"Kota Malang? Kota yang terkenal dengan Apel Batu itu?" tanya Chika.
Mayang mengangguk. "Iya. Dia pindahan dari situ. Tapi, persahabatan kita hanya setahun. Kini, dia sudah kembali ke Maroko, dan sebelum pergi dia berikan ini sebagai kenang-kenangan."
Chika manggut-manggut. Dia kembalikan gelang itu pada mayang. Mayang iseng melihat sebuah lemari kaca di kamar Chika. Dia melihat banyak sekali topi dan syal yang indah.
"Chik, topi lo bagus-bagus," kata Mayang mengagumi koleksi topi Chika.
"Ah, Lo, May. Biasa lagi. Yah, itu semua oleh-oleh dari sepupu gue. Ada yang kebetulan di pelayaran. Tiap pulang, dia beri satu topi buat gue. Tapi … ada sih yang gue minati," kata Chika sambil mendekati Mayang.
Dia mengambil sebuah topi yang sebenarnya paling sederhana. Mayang keheranan.
"Lho, kok malah topi ini?" tanya Mayang.
"May. Ini topi pertama yang gue beli sendiri. Walau tak sebagus yang lain. Gue seneng banget dengan topi ini. Warna dan desainnya menarik," kata Chika.