Malam harinya, setelah belajar Chika berbaring di tempat tidurnya. Dia tampak tersenyum mengingat pertemuannya dengan Raymond.
"Ray, lo beneran aneh dan unik. Jujur, gue ngerasa penasaran dengan lo. Entah apa yang buat gue penasaran," katanya dalam hati.
Dia memandangi handphonenya. Dilihatnya kontak whats app Raymond. Ketika tengah tersenyum sendiri, ibunya mendatanginya.
"Chika, kok kamu senyum-senyum sendiri?" tanya ibunya.
"Uhm … nggak, Bu. Gak apa-apa," kata Chika dengan gugup.
Chika menyembunyikan hpnya. Ibunya melihat Chika menyembunyikan sesuatu. Dia tersenyum manis dan duduk di samping anaknya.
"Chika. Mama tahu ada yang kamu sembunyikan. Kamu gak bisa bohongi mama," kata mamanya.
Wajah Chika memerah. "Iiih … Mama. Chika gak apa-apa kok."
Ibunya tersenyum manis. Dia tahu tabiat anaknya, namun tak membahasnya.
'Ya sudah, Nak. Ini sudah pukul 21:30. Ayo tidur biar besok gak kesiangan," kata ibunya mengingatkan.
"Iya, Ma," balas Chika dengan singkat.
Ibunya beranjak dari kamar Chika. Dia mematikan lampu dan menutup pintu kamarnya. Chika perlahan terlelap dalam tidurnya. Keesokan harinya, di sekolah Chika tampak lebih ceria. Ketika masuk kelas, Windy keheranan melihat wajah Chika yang lebih murah senyum.
"Chik, gue pantengin lo hari ini kok kelihatan ceria banget?" tanya Windy curiga.
Chika memandangi temannya sambil tersenyum keheranan. "Oh ya? Kok perasaan gue biasa aja, Win?"
Windy memandangi sejenak. Dia seperti kurang yakin. "Uhm … apa gue perlu asupan vitamin A?"
Chika terkekeh. "Hihihi … lo ini bisa aja. Emang lo tadi di jalan gak nabrak tiang kan?"
"Ciye elah. Nabrak tiang segala. Ya kagak lah. Ada aja deh," kata Windy sambil tertawa.
Mereka saling pandang sejenak. Windy iseng menanyakan hasil bimbel Chika.
"Oh ya, Chik. Omong-omong, gimana dengan pelajaran biologi lo setelah ikut bimbel?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
Chika tersenyum manis. "Syukurlah, Win. Gue sedikit lega dengan kenaikan nilai biologi gue. Dan, ini sangat membantu gue memahami pelajaran biologi."
"Syukurlah, Chik," balas Windy singkat.
Tak lama kemudian terdengar bel berbunyi tanda pelajaran di mulai. Chika segera bersiap untuk mengikuti pelajaran di sekolahnya. Sementara itu, di SMA Putra Bangsa, tampak Raymond berdiri di depan pintu gerbang. Rupany, dia terlambat datang ke sekolah. Satpam yang menemuinya berkacak pinggang.
"Raymond! Kenapa kamu terlambat?" tanya Satpam itu dengan nada tinggi.
"Waduh, Pak. Tadi ban motor saya bocor. Belum lagi jalanan macet," kata Raymond menjelaskan.
Satpam itu mengernyitkan dahinya. Dia berfikir sejenak. Rupanya, Satpam itu begitu dilema. Di satu sisi, dia harus jalankan perintah kepala sekolah, di sisi lain dia iba melihat Raymond.
"Waduh! Gimana nih? Nanti kalau nih anak gue lolosin, bisa di skors gue. Tapi kalo gue larang, rasanya gak tega," pikirnya dalam hati.
Bersamaan dengan itu, muncullah sang kepala sekolah. Dia pandangi Raymond yang tengah memohon untuk masuk sekolah. Dia menghampiri Raymond.
"Hei, kamu lagi. Sudah jam berapa ini?" hardik kepala sekolahnya.
"Pak, maaf. Tadi ban motor saya bocor. Terus nambalnya antri," jawab Raymond.
Kepala sekolah itu menatap Raymond. Raymond yang mengerti kesenangan kepala sekolahnya hanya nyengir sambil memberikan isyarat. Agak lama kepala sekolahnya memandangi raymond, dan akhirnya dia mengijinkan Raymond masuk.
"Hei, kamu ke kantor saya dulu," kata kepala sekolahnya.
Raymond menurut. Sesampainya di kantor, kepala sekolah itu langsung menutup pintu dan menyuruh Raymond duduk.
"Nah, bagaimana pesanan saya?" tanya kepala sekolah itu sambil tersenyum manis.
"Tenang, ini pesanan bapak," kata Raymond memberikan sebuah CD.
Kepala sekolah itu membuka laptopnya. Dia masukkan CD itu. Dia tersenyum melihat isi CD itu. setelah puas, dia copy file di CD itu hingga selesai, lalu mematikan laptopnya.
"Baik, sekarang isi surat ini dan berikan pada guru yang mengajar," kata kepala sekolah memberikan sebuah surat.
Raymond mengisi surat keterangan keterlambatan itu, dan kepala sekolah menandatanganinya. Setelah itu, Raymond segera masuk ke dalam kelas dan mengikuti pelajaran.
Pada jam istirahat di SMA 52, Chika tampak duduk sendiri di kantin. Dia menikmati minuman di depannya. Chika kembali teringat akan pertemuannya dengan Raymond di tempat bimbel. Diam-diam, Chika tersenyum sendiri.
"Raymond. Lo beneran unik," katanya dalam hati.
Ketika tengah temenung, Rita tiba-tiba menepuk lembut pundaknya. Chika sempat terkejut melihat Rita yang telah berada di depannya. Wajahnya memerah.
"Chik, kok tumben lo tersipu begitu? Uhm … kayaknya nih, … lo rada-rada …." Rita tersenyum simpul melihat Chika yang tersipu malu.
"Iiiih! Kamu tuh, Rit. Jangan ngarang deh. Mentang-mentang anak bahasa," balas Chika dengan menahan malu.
Rita tertawa lepas. Chika memandangi sekitarnya. Dilihatnya, kantin itu cukup sepi. Dengan berbisik, Chika membuka percakapan dengan Rita.
"Eh, Rit. Gue mau tanya seputar Raymond. Uhm … menurut lo, apa sih yang unik dari dia?" tanya Chika.
Rita tersenyum manis. 'Uhm, mulai penasaran ya dengan dia?"
Chika hanya tersenyum menahan malu. Rita akhirnya menceritakan kembali kisah persahabatannya dengan Raymond.
"Chik. Waktu pertama gue ketemu dia, satu hal yang buat gue kagum adalah ketika dia datang jauh lebih awal ketimbang siswa lain. Lo tahu, sepulang sekolah dia tak pernah pulang ataupun bermain di luaran. Dia memilih tidur di kelas sebelum bimbel dimulai," kata Rita.
Chika terbelalak. "Ah, yang bener lo? Emang dia sering begitu?"
"Iya, Chik. Awalnya, gue ngerasa lucu ngeliatin dia. Tapi, setelah pertemuan kedua, gue mulai kagum dengan semangat belajarnya," jawab Rita.
Sejenak, dia menghela nafasnya. Obrolan mereka sempat terhenti ketika pelayan kantin mengantarkan minuman pesanan Rita. Sejenak, Rita meminum sedikit minuman itu. Setelah meminum sedikit minumannya, Rita kembali berkata pada Chika.
"Raymond memang bukan anak yang pintar seperti teman-teman kita, tapi dia banyak mengajarkan pada gue bahwa sesekali kita harus berani memilih dengan segala resikonya," kata Rita.
Rita teringat akan percakapannya dengan Raymond ketika baru mengenalnya.
--- Ingatan Rita ---
Sore itu, ketika tengah beristirahat setelah pelajaran pertama, Raymond menemuinya.
"Eh, Rita. Kita makan di warung itu, yuk," ajak Raymond.
Rita keheranan. Baru pertama kalinya ada cowok yang mengajaknya makan bareng. Raymond keheranan.
"Rita, kok bengong? Kenapa?" tanya Raymond.
Dengan malu-malu, Rita menjawab pertanyaannya dengan suara lirih.
"Ray, maaf. Ini pertama kalinya gue diajak makan sama cowok," kata Rita.
Raymond terkejut. "Kok begitu?"
"Entahlah. Tapi, oke deh. Yuk," kata Rita menyetujui ajakan Raymond.
Mereka pergi ke warung di depan tempat bimbel. Sambil memesan es kelapa muda, mereka berbincang-bincang untuk saling mengenal. Dan, secara tak sengaja Raymond melihat sesuatu di balik map yang dibawa Rita.
"Rit, itu yang ada di map lo apa? Gue lihat dong," pinta Raymond.
Rita yang kala itu masih malu-malu berusaha menyembunyikannya.
"Uhm, bukan apa-apa, Ray. Ini gak penting," kata Rita dengan malu-malu.
Raymond tak perduli. Dia tetap memaksakan keinginannya untuk melihat sesuatu itu.
"Rit, udah. Please, gue pingin lihat," rayu Raymond.
Rita tak sampai hati melihat ekspresi wajah Raymond. Dia akhirnya mengalah. Dengan malu-malu, dia perlihatkan gambar anime yang dia buat. Namun, di luar dugaannya, raymond begitu mengaguminya.
"Rit, lo hebat lho. Ini manga buatan lo?" tanya Raymond dengan nada kagum.
Dengan malu-malu, Rita menjawabnya. "I—Iya, Ray. Itu hanya buat isi waktu kosong kok. Terutama kalau aku jenuh dengan pelajaran sekolah."
Raymond berdecak kagum. "Rit, ngapain lo musti malu? Ini keren lho. Hobi ini bagus. Udah, lo gak usah malu. Ada-ada aja lo ini."
"Tapi, Ray. Gue pingin masa depan gue cerah. Gue pingin sukses dan ngebanggain orang tua gue. Gue pingin lulus dengan nilai yang bagus supaya orang tua gue bangga," kata Rita.
Raymond tersenyum manis. Dia sentuh pundak Rita dengan lembut.
"Rita, dengan apapun yang buat selama bersifat positif, orang tua lo pasti bangga," kata Raymond.
Raymond terdiam sejenak. Dia menceritakan masa lalunya yang kelam, hingga akhirnya dia terpaksa sekolah di sekolah yang terkenal dengan reputasi buruknya.
"Rita, jujur. Gue iri sama lo. Lo punya hobi yang … wow. Keren. Tapi, lo masih jago dengan pelajaran sekolah. Sedangkan gue, lo lihat. SMA gue aja begitu. Apalagi pelajaran gue. Tapi, gue juga pingin buat orang tua gue bangga, namun … jujur. Gue belum tahu caranya. Sedangkan lo? Gue gak bisa bilang dah," kata Raymond.
Rita terdiam. Raymond kembali melanjutkan perkataannya.
"Rita, lo jangan malu dengan hobi lo. Apapun yang lo suka selama positif, kembangin walau itu memakan waktu lama. Lo boleh utamain sekolah, tapi hobi bagus gini jangan buat lo malu," lanjutnya.
Rita terperanjat mendengar nasehat dari Raymond.
Dalam hati, dia berkata, "Gue gak nyangka, ternyata anak yang dikenal berandal ini justru lebih mengerti aku ketimbang teman-teman sekolahku.
Raymond mengambil sebatang rokok, dan menyalakannya. Sejenak, dia menghisapnya dan menghembuskan asap itu.
"Sorry. Maklum, Rit. Gue ini ahli hisap." Raymond berceloteh sambil tersenyum ringan. Setelah beberapa saat, dia kembali menasehati Rita yang tertegun.
'Rit, kita gak tahu masa depan. Sekarang, kita hanya utamakan sekolah, tapi di masa depan,
bisa jadi hobi lo nantinya yang justru buat orang tua lo bangga ketimbang nilai raportmu sekarang. Please, lo jangan meremehkan kemampuan Lo yang ini walau kelihatan remeh," lanjutnya.
--- Ingatan Rita ---
"Nah, itulah Chik yang buat gue kagum sama nih orang," kata Rita.
"Jujur, gue baru sadar untuk ngehargai sebuah karya, kita harus bisa menghargai karya kita dulu. Dan, karena dialah aku ingin mencoba hal baru," lanjutnya menutup ceritanya.
Chika menggut-manggut. Rasa penasarannya pada Raymond makin kuat setelah mendengar cerita Chika. Mereka kembali bercakap-cakap sebelum akhirnya mereka masuk ke kelas masing-masing.