Chereads / Buih Cinta di Bangku SMA / Chapter 24 - Cerita Kenaikan Kelas

Chapter 24 - Cerita Kenaikan Kelas

Akhinya, Ujian Akhir Semester pun di mulai. Hari demi hari yang begitu berat harus di lalui pelajar untuk naik kelas. Kebanyakan pelajar begitu resah takut jika nantinya mereka tinggal kelas. Begitu pula yang di rasakan Raymond dan kawan-kawannya. Dia begitu berhati-hati mengerjakan soal ujian. Tampak dia berfikir keras untuk mengerjakan ujian itu. Dan, setelah ujian itu berakhir, Raymond tak tampak senang. Dia sedikit resah. Siang itu, dia duduk sendiri di sebuah bangku depan kelasnya.

"Hei, Ray. Kok lo tampak lesu gitu? Ujian kan udah berakhir," sapa Dion sambil duduk di sebelahnya.

Raymond sejenak memandangi Dion. Dia berusaha tersenyum di tenggah keresahanya.

"Dion, gue ngerasa kesulitan di beberapa pelajaran. Gue khawatir jika tinggal kelas," kata Raymond.

"Ah, lo Ray. Jangan kelewat lesu gitu dong. Gue lihat sih, lo udah usaha. Lo udah kurangin waktu band, lo udah ikut bimbel, dan juga, gue lihat lo sudah berusaha merhatikan guru waktu nerangin. Gue yakin lo bakal naik, walau …." Dion memeutus ucapanya. Dia pandangi ke atas.

Raymond keheranan melihat sikap Dion. Dia pandangi Dion yang memandang ke atas. Dia lambaikan tangannya di depan wajah Dion.

"Hei, walau apa Bhro? Kok Lo mantengin atas mulu? Emang lo lihat bidadari turun gitu?" tanya Raymond.

Dion tertawa riang. " Yeee, mana ada bidadari turun nyamperin gue? Gue liatin tuh, langit-langit."

"Ya elah, langit-langit gitu aja di pantengin. Mending nonton konser bhro," balas Raymond.

Tiba-tiba terdengar sebuah suara misterius dari perut Dion. Raymond keheranan.

"Lho, itu tadi suara apaan?" tanya Raymond.

Dengan malu-malu, Dion tertawa renyah.

"Iye, itu. Perut gue pada konser nih. Konser keroncong. Ikutan yuk ke kantin. Gue lapar nih," ajak Dion.

Raymond berfikir sejenak. Tanpa memberikan kesempatan pada raymond, dia tarik tangan Raymond.

"Ih, pake mikir segala. Udah, lo ikut gue aja. Ntar gue traktir deh. Biasanya lo yang traktir gue. Yuk, jalan. Daripada mikir do'I lo yang gak pasti," ajak Dion.

Raymond pun mengalah. Sambil berjalan, dia bertanya pada Dion.

"Lo tahu siapa do'i gue?" tanya Raymond.

"jelas lah, itu hasil ujian lo. Lo segitunya resah kayak nunggu si do'i yang gak mesti datang aja," balas Dion dengan tertawa renyah.

Mendengar perkataan Dion, Raymond tertawa renyah. Dia tak menyangka jika Dion begitu pandai melucu, sangat kontras dengan wajahnya yang garang dan badannya yang besar.

"Yeee, yang gak pasti datang itu kan bang toyib, bukan do'I," balas raymond dengan tawa renyah.

Tak lama kemudian, sampailah mereka di kantin. Kantin itu begitu ramai. Dion yang sudah lapar hanya menggelengkan kepalanya.

"Buju buset! Nih kantin atau antrean sembako nih?" katanya keheranan.

Dion memandangi kursi di kanti itu, dan semuanya terisi penuh. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Mereka berdua akhirnya berjalan keluar sekolah, dan makan di warung depan. Di sana, rupanya pelayan warung itu masih ingat dengan raymond. Dia menatap Raymond dengan tajam. Dion langsung memesan makanan.

"Bang, gue pesan ketoprak satu, ama kopi dua," kata Dion.

Pelayan itu sejenak memandangi Raymond sebelum akhirnya berlalu meninggalkan mereka berdua. Tak lama kemudian, pelayan itu menghidangkan pesanan Dion, dan meniggalkannya. Mereka berdua menikmati hidangan itu sambil melepas penat selepas ujian.

Sementara itu, di SMA 40, Mayang tengah berada di kantin. Dia duduk seorang diri. Ketika duduk sendiri, Riyadh tiba-tiba mendatanginya, dan duduk di depannya.

"May. Bagaimana ujian kamu?" tanya Riyadh.

"Ya syukurlah berjalan lancar. Tapi, gue lemah di pelajaran IPS," jawab Mayang.

Riyadh tersenyum manis. Dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan memberikannya pada Mayang.

"Mayang, ambillah. Ini kenang-kenangan dari aku," kata Riyadh dengan senyum manis.

Sejenak Mayang terhenyak. Dia pandangi Riyadh dengan ekspresi keheranan.

"Kenang-kenangan? Maksud lo?" kata Mayang keheranan.

Riyadh tersenyum manis. Dia pakaiakan gelang itu di pergelangan Mayang. Sambil memakaikan gelang itu, Riyadh berkata, "Mayang. Setelah kenaikan kelas, aku akan kembali ke Maroko."

Riyadh memegang lembut tangan Mayang sambil tersenyum memandagi wajahnya.

"Mayang, masa tugas ayahku di Indonesia sudah selesai. Kita sekarang tengah berkemas, dan bersiap kembali ke sana. Dan …," kata Riyad menghentikan sejenak perkataannya.

Dia lepaskan pegangan tangannya. "Dan, inilah saatnya kita berpisah, Mayang. Sekolah sudah membagikan raportku lebih awal. Nanti sore, aku akan ke bandara dan berangkat."

Mayang terdiam. Dia sejenak memandangi gelang pemberian Riyadh itu. Setelah itu, dia kembali memanadangi Riyadh.

"Riyadh, terima kasih dengan pertemanan ini. Gue akan ingat kisah ini seumur hidup gue. Semoga sukses di Maroko, Riyadh," kata Mayang.

Riyadh hanya mengangguk. Dia tersenyum pada Mayang sebelum akhirnya beranjak dari sana. Siang itu, Riyadh langsung pulang dan bersiap untuk berangkat ke bandara.

Malam harinya, Raymond tengah merenung di kamarnya. Perasaan resah kembali menghantuinya. Anggi yang melihat keresahan di wajah Raymond mendatanginya. Dia tersenyum manis. Raymond yang melihat ibunya berbeda tampak keheranan.

"Ma," sapa Raymond dengan wajah keheranan.

"Nak, kenapa kamu kelihatan resah?" tanya Anggi.

Raymond terdiam sejenak. Wajahnya begitu resah. Dia menatap ibunya dengan wajah lesu.

"Ma, andai Raymond tinggal kelas, apa mama kecewa?" tanyanya dengan wajah takut.

Anggi tersenyum manis mendengar jawaban anaknya. Dia belai lembut kepala anak semata wayangnya.

"Raymond, mama akan tetap sayang sama raymond. Tinggal kelas itu artinya kamu di sayang gurumu," kata Anggi menghibur anaknya.

Raymond terkejut mendengar jawaban ibunya. Dia menatap ibunya seolah tak percaya.

"Lho, Ma. Kok mama bilang gitu?" tanya Raymond keheranan.

Anggi kembali tersenyum manis. Dia pegang dengan lembut tangan putranya.

"Nak, selama ini mama sering marahin kamu bukan karena takut kamu tinggal kelas. Mama hanya gak ingin kamu sia-siakan waktumu untuk hal yang kurang berguna." Anggi menghela nafasnya sejenak.

"Nak, mama senang dengan perubahanmu sekarang. Mama senang kamu mulai rajin belajar. Jujur, mama tak terlalu memperdulikan berapa nilai yang kamu raih. Berapapun nilainya, selama kamu berusaha sendiri sudah membuat mama bangga. Untuk apa kamu dapat nilai bagus kalau itu hasil mencontek? Atau di kerjakan orang lain? Coba renungkan, Nak," Lanjutnya.

Raymond kembali terdiam. Dia berfikir sejenak, dan baru menyadari alasan ibunya yang selalu bersikap keras kepadanya selama ini. Dalam hati, Raymond begitu terharu.

"Oh, ternyata mama selama ini keras kepadaku karena alasan itu. Maafkan aku, Mama. Aku sadari selama ini, aku selalu membuang waktuku hanya untuk kesenangan sesaat," katanya dalam hati.

Melihat raymond yang tertunduk, Anggi menyentuh lembut pundaknya. Dia sentuh dagu Raymond, dan memandangi wajahnya dengan senyum manis.

"Nak, mama tidak melarang kamu bermain band selama itu tak menganggu belajarmu. Silahkan kamu main band, tapi jangan lupakan sekolah. Dan, setelah setahun ini, mama merasa bangga dengan perubahanmu," kata Anggi dengan senyum manisnya.

Anggi hendak beranjak, namun raymond memegangi tangannya. Dia mencium tangan ibunya dengan penuh kasih sayang, dan memeluknya erat-erat.

"Ma, maafkan raymond yang selama ini salah menilai mama. Raymond tak mau kecewakan mama lagi," kata raymond dengan nada menyesal.

Anggi memeluk erat putranya. Dia mengelus punggungnya.

"Sudahlah, Nak. Mama sudah memaafkanmu. Sudah, Nak. Jangan risau untuk hadapi hari esok. Apapun hasil belajarmu sudah membuat Mama bangga. Tidurlah, Nak," kata Anggi menghibur Raymond.

Raymond mengangguk. Anggi membelailembut kepala putranya sebelum akhirnya beranjak dari kamar raymond. Tak lupa, Anggi menutup pintu kamar Raymond. Dan, keesokan harinya adalah pembagian Raport. Siang itu, Raymond yang menunggu di depan kelas begitu berdebar-debar. Diintipnya ibunya yang tengah berbicara pada gurunya.

"Waduh, gimana nih? Gue naik kelas kagak? Duuuh, kalau sampai tinggal kelas, kasihan Nyokap gue," bathinnya.

Raymond tampak mondar-mandir di depan kelasnya. Ketika itu, Shely yang bersama ibuya melihatnya. Shely menghampirinya.

"Eh, Ray. Lo ngapain koq kayak setrikaan gitu?" goda Shely.

Raymond berusaha tersenyum di tengah kegundahannya.

"Shel, jujur. Gue resah banget nih. Mana sekarang gilira nyokap gue yang dipanggil guru," kata Raymond.

Shely berusaha menenangkan raymond. Dia sentuh pundaknya dengan lembut.

"Udah, Ray. Lo pasti naik kelas kok," kata Shely.

Dan, tak lama kemudian Anggi keluar dari kelas itu. Dia menyapa Shely dan ibunya.

"Tante, bagaimana hasilnya Raymond?" tanya Shely pada Anggi.

Deg! Raymond makin resah. Keringat dingin mengucur deras. Sejenak, Anggi memandangi Raymond dengan senyum simpul. Dia menepuk pundak putranya dengan buku raport yang di pegangnya.

"Ray, kamu kok lesu amat? Nih, lihat sendiri raport kamu!" kata Anggi sambil memberikan raportnya.

Raymond membukanya, dan ternyata dia naik kelas. Tampak senyum di bibirnya. Anggi tersenyum pada ibunya Shely. Sejenak, Anggi berkenalan dengan ibunya Shely sebelum akhirnya pulang ke rumah bersama Raymond.