Chereads / Buih Cinta di Bangku SMA / Chapter 28 - Dinamika Di Kelas XII

Chapter 28 - Dinamika Di Kelas XII

Waktu terus berjalan. Chika yang merasa lemah dengan pelajaran biologi akhirnya memutuskan untuk mengikuti Bimbel. Beberapa pelajaran yang dia rasa kurang pun dia ambil. Bersama Windy, dia mengikuti bimbel di tempat yang sama dengan Mayang. Setelah sebulan mengikuti bimbel, ada satu lagi anak IPA yang mempunyai kendala yang sama. Dia seorang cowok yang kocak bernama Uji. Siang itu, sepulang sekolah Chika hendak berjalan ke lokasi bimbel. Tiba-tiba dia di sapa seorang cowok dari kelas lain.

"Chika. Lo mau kemana?" tanyanya.

"Gue mau ke tempat bimbel," jawab Chika.

Uji terdiam sejenak. Dia teringat pernah melihat Chika di lokasi bimbel tempatnya mendaftar.

"Eh, lo ikut bimbel Angkasa Prima itu?" tanya Uji.

"Iya. Gue udah sebulan bimbel di sana," jawab Chika.

Uji tersenyum. dia tahu, Chika begitu popular di SMA itu. Iseng dia mengajak Chika berangkat bersama.

"Uhm, Chik. GImana kalo kita barengan ke sana. Kebetulan gue baru masuk. Kali aja lo bisa tunjukin jalanya, soalnya gue udah lupa," katanya.

"Lho, lo ikut bimbel juga?" kata Chika keheranan.

"Iya, gue koit kalo kena biologi ama kimia. Memang sih, gue maunya masuk informatika. Tapi, kalo kagak lulus juga ngulang," katanya dengan senyum simpul.

Sejenak, Chika berfikir. Windy selalu berangkat sendiri. Setelah mempertimbangkan, dia akhirnya menyetujui usulan Uji. Dengan mengendarai motor butut itu, Chika berangkat ke lokasi Bimbel.

"Uhm, lumayan deh. Bisa hemat ongkos. Daripada naik metromini atau angkot," katanya dalam hati.

Sementara itu, di SMA Putra Bangsa, Raymond tengah berusaha keras belajar akuntansi. Ketika itu, dia di suruh menyelesaikan sebuah kasus di sebuah toko. Ketika dia mengeluarkan senjatanya, teman-teman dan gurunya tampak begitu terkejut. Raymond ternyata telah mempersiapkan uang mainan yang begitu banyak, dan dia tempatkan di sebuah tas. Dengan tenang, Raymond mengeluarkan uang mainan yang telah dia tata di atas mejanya. Gurunya keheranan dengan ulah Raymond.

"Raymond. Apa yang kamu lakukan dengan uang mainan itu?" tanya gurunya.

"Yah, Bu. Kalau hanya disuruh ngitung angka yang bejibun mah kurang seru. Masak kita cuman ngitung duit tapi duitnya kagak ada? Nah, daripada kita hanya ngitung angin dan jadi pusing, lebih baik bawa uang mainan ini, biar serasa jadi konglomerat," jawab Raymond dengan tenang.

"Gerrr!" seluruh kelas tertawa melihat ulah Raymond. Gurunya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

"Yaelah, Ray. Kamu tuh ya … badung abis. Tapi, saya tertarik dengan cara kamu. Coba kamu praktekkan," kata gurunya.

Di depan gurunya, Raymond memperagakannya.

"Nah, ini Bu. Ini saya ada pecahan duit 20 ribu, 50 ribu, dan 100 ribu. Sekarang kita lihat nih soalnya," kata Raymond mulai mempraktekkannya.

Dia baca soal itu. Raymond mengambil uang mainan itu sejumlah dengan soal itu, sisanya dia sendirikan. Lalu, dia mulai mencoba membuat neraca lajur. Dan, setelah meihat tutorial sebelumnya, raymond mulai beraksi. Dia kelompokkan uang itu sesuai dengan contoh, lalu dia mulai menyesuaikan dengan soalnya. Setelah uang itu di di hitung, barulah dia menghitung kembali, dan akhirnya dia menyelesaikannya.

"Nah, ini bu. Bagaimana?' tanya Raymond menunjukkannya.

Gurunya tersenyum simpul melihat hasilnya. Dia berkata pada Raymond.

"Ray, jawabanmu salah karena kamu mengelompokkan uang itu salah," kata gurunya.

Raymond tercengang. Dia keheranan.

"Bu, bagaimana bisa salah? Kan saya ikuti tutorial?" kata Raymond.

Gurunya akhirnya membimbing Raymond. Dia kelompokkan uang itu, dan lalu menghitung ulang neraca itu.

"Nah, Raymond. Kamu lupa. Aset disini seharusnya masuk debet, bukan di kredit. Kalo kamu masukkan di kredit itu artinya kamu korupsi," kata Gurunya menjelaskan.

"Gerr!! Seisi kelas kembali tertawa, namun Raymond tetap tenang. Justru karena ulah raymond itulah, sang guru akuntansi malah memberikan perhatian lebih. Dia justru memuji Raymond.

"Raymond. Kamu benar-benar luar biasa," kata gurunya sambil mengelus pundak Raymond.

Guru itu akhirnya meminjam uang mainan yang di bawa raymond, dan menjelaskan pelajaran akuntansi dengan uang mainan itu. Para siswa yang awalnya begitu malas dengan pelajaran akuntansi akhirnya sedikit bersemangat. Tanpa terasa, hari telah siang. Setelah pelajaran akuntansi, kelas pun bubar. Raymond mengemasi uang mainannya dan berjalan pulang.

Ketika berjalan pulang, beberapa teman wanita menyapanya.

"Ray, lo beneran keren deh. Kayak konglomerat beneran," kata Linda, teman sekelas Raymond.

"Hahahah, terus lo mau minta apa? Nih ada duit sekoper," kata Raymond bercanda.

Linda tertawa renyah. "Yah, beliin gue bus dong. Biar bisa piknik sekelas."

"Iya, gue beri lo foto bus yang gede aja. Kan duitnya mainan, nah busnya juga poster. Pasti dapat deh," balas Raymond sambil tertawa renyah.

Linda dan beberapa teman wanitanya tertawa renyah.

"Udah, Pak Konglo, kita pulang dulu ya," sahut Reny, teman akrab Linda.

Raymond hanya tertawa renyah. Dia langsung menuju ke parkiran dan menyalakan motornya, lalu pulang ke rumahnya.

Di sebuah café dekat dengan sebuah perguruan tinggi, tampak Mayang tengah menunggu Ferry. Sudah lebih dari sebulan sejak pertemuan di toko buku itu, hubungan Mayang dan Freddy tampak begitu akrab. Perasaan cinta Mayang pada Ferry kian tumbuh, namun dia tetap fokus pada pelajaran sekolah. Siang itu, dengan mengenakan seragam SMA dia tengah menunggu Ferry. Tak lama kemudian, Ferry datang ke café itu. Dia langsung duduk di depan Mayang.

"Maaf, tadi gue ada kuis dadakan. Makanya agak telat," kata Ferry.

"Uhm, gitu. Gak apa, deh," balas Mayang dengan wajahyang agak jutek.

Ferry tersenyum melihat Mayang yang sedikit gondok. Dilihatnya, dia hanya mengaduk minuman di depannya yang tinggal separuh.

"Uhm … jangan gitu dong, May. Cup, maaf, ya. Lain kali aku coba on time," kata Ferry dengan senyum manis.

Mayang akhirnya kembali tersenyum. Sejenak, mereka berbincang-bincang. Dan setelah agak lama di sana, Ferry mengajak Mayang jalan.

"May. Kita jalan yuk. Ada yang ingin gue omongin," ajak Ferry.

Mayang hanya mengangguk. Setelah membayar minumannya, mereka berdua berjalan ke sebuah taman dekat kampus itu. Di sana, Ferry mengajak Mayang duduk di sebuah bangku.

"Mayang, setelah sekian lama gue kenal ama lo, jujur. Gue mulai ngerasa …," kata Ferry sambil memikirkan sesuatu.

Mayang yang mulai mencintai Ferry bersorak dalam hati. Dia begitu kegirangan, namun dia begitu penasaran dengan perkataan Ferry. Iseng, Mayang bertanya pada Ferry.

"Emang, lo ngerasa bagaimana?" tanyanya begitu antusias.

"Gue ngerasa, kembali ceria. Gue ngerasa selalu happy dekat ama lo," jawab Ferry.

"Oh ya, kah?" tanya Mayang dengan nada sedikit kecewa.

Ferry mengangguk. Dia menatap jauh ke depan. Wajahnya berubah sedikit sedih.

"May, gue pernah kehilangan adik perempuan gue. Dia telah tiada, tepat ketika gue baru masuk kampus ini," kata Ferry.

Ferry sejenak terdiam. Wajahnya begitu sedih.

"Adik perempuan gue meninggal setelah menderita kanker otak. Dan, setelah mengenal lo, gue ngerasa kembali punya adik perempuan," kata Ferry.

Mayang menghela nafasnya. Dia menahan rasa kecewa di hatinya. Kendati perasaannya dongkol, Mayang berusaha menunjukkan senyumnya.

"Yah! Sial. Gue kira lo bakalan ngomong kalau cinta ama gue. Ternyata, selama ini lo anggap gue adik," gerutunya dalam hati.

Ferry memandanginya dengan senyum manis. Dia sentuh dengan lembut pundak Mayang.

"Mayang, gue anggap lo sebagai adik gue. Gue akan berusaha selalu ada buat lo. Makasih, May selama ini lo udah buat gue serasa jadi kakak," kata Ferry.

"Uhm … I—Iya, Kak," kata Mayang sambil menahan kekecewaannya.

Sejenak, mereka terdiam. Mayang yang begitu kecewa memandang ke depan dengan wajah jutek. Dia begitu kecewa karena cintanya ternyata bertepuk sebelah tangan. Tanpa terasa, hari makin sore. Ferry yang membawa motor akhirnya mengantarkan Mayang pulang ke rumahnya.

Malam harinya, Mayang merenungi ucapan Ferry. Dia tampak kurang bersemangat karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Hatinya berkecamuk.

"Yah, jadi selama ini, sia-sia juga perasaan gue ke Ferry? Ternyata, gue hanyalah seorang adik. Padahal, gue mengharap lebih dari itu," bathinya.

Mayang mengernyitkan dahinya. Dia menggigit bopointnya sambil melamun. Namun, suara hatinya membisiki.

"Mayang, apa salahnya jika dia anggap kamu adik? Dia mungkin masih teringat mediang adiknya. Kenapa tak kamu jalani dulu?" kata suara nuraninya.

Mayang terdiam sejenak. Dia akhirnya memilih untuk fokus ke pelajaran sekolahnya dulu.

"Uhm, gue lebih baik fokus ke pelajaran gue. Kedekatan gue sama Ferry juga ada baiknya," katanya dalam hati.

"Cling!" sebuah pesan whats app masuk di hpnya. Mayang segera mengambil hpnya, dan membuka pesan itu. ternyata memo suara dari Ferry.

"May, semangat belajarnya ya. Jangan tidur kemalaman, nanti digigit Nyamuk." Begitu bunyi memo suara dari Ferry.

Mayang tertawa ringan mendengar memo itu. Dia membalasnya dengan memo suara juga.

"Yeee! Biarin aja gue digigit nyamuk, asal nyamuknya abang Ferry yang ganteng," balas Mayang.

Di kamar kostnya, Ferry yang mendengar pesan suara Mayang tertawa lepas. Dia pun membalas.

"Yah, kalo abang jadi nyamuk gak mau ngegigit adik Mayang. Maunya nyanyi lagu aja," balas Ferry.

Mayang kembali membalas pesan suara itu. Beberapa kali mereka saling berbalas pesan malam itu sebelum akhirnya Mayang menutup pesan untuk kembali fokus pada pelajarannya di sekolah.