Sementara itu, di SMA 40, Mayang tengah duduk di deopan kelasnya. Diam-diam, dia memandangi gelang pemberian teman dekatnya, Riyadh. Ketika tengah melamun, salah satu temannya menggodanya.
"Ciye elah, Mayang. Kok bengong gitu?" tanya temannya.
Mayang seperti tersadar. Dia pandangi teman yang menggodanya.
"Oh, Uhm … nggak kok. Aku gak apa-apa," kata Mayang dengan gugup.
Temannya duduk di sebelah Mayang. Dia memandagi gelang pemberian Riyadh yang di gunakan Mayang.
"May, lo naksir tuh cowok ya?" tanya temannya.
Mayang hanya tersenyum simpul. "Nggak, Win. Dia cowok yang baik. Sayang, dia keburu kembali ke Maroko."
Temannya tersenyum memandangi Mayang. Dia tepuk pundaknya dengan lembut,
"Gue juga pernah kenal tuh anak. Orangnya keren sih. Sempat mau gue gebetin, eeh ternyata dia udah tunangan," kata temannya.
"Yee, lo yang nuduh gue ternyata lo yang naksir dia," balas Mayang tertawa lepas.
Mereka berdua tertawa lepas. Setelah percakapan itu, mereka membicarakan masalah pelajaran. Dan, tak terasa bel kembali berbunyi tanda masuk kelas. Mayang kembali masuk ke kelasnya dan mengikuti proses belajar mengajar di kelasnya.
Di SMA Putra Bangsa, Raymond tengah duduk di kelasnya. Rupanya sang guru belum datang. Kelas Raymond begitu ramai ketika guru yang mengajar pelajaran itu belum datang. Dan, tak lama kemudian, guru itu datang.
"Selamat siang, anak-anak. Maaf, saya tadi terlambat karena ban motor saya bocor. Uhm … oke. Sekarang keluarkan buku gambar kalian," kata Pak Dwi, guru seni rupa.
Raymond yang menyukai pelajaran seni rupa begitu senang siang itu. Dia mengeluarkan buku gambar dan peralatan menggambarnya.
"Oke, topic siang ini kalian belajar keluar kelas. Silahkan menggambar obyek yang kalian lihat di luar," kata Pak Dwi.
"Horeee!" teriak para siswa yang tampak jenuh di kelas.
Mereka segera berhamburan keluar mencari obyek. Para siswa pergi ke berbagai tempat. Semuanya berpencar. Namun, Raymond yang masih badung justru memilih pergi ke dekat ruang guru.
Dengan tenang, dia menggambar obyek yang dia lihat. Waktu terus berjalan, dan tak terasa jam pulang sekolah hampir tiba. Raymond yang telah menggambar langsung menyerahkannya pada Pak Dwi.
Sejenak, dia memandangi gambar para murid. Dan, tak berapa lama kemudian dia membagikannya. Ketika giilaran Raymond, Pak Dwi menahan tawanya. Rupanya, dia menggambar sang kepala sekolah yang terpeleset di depan ruangannya.
"Raymond, kamu ini kok nekat benar?" tanya Pak Dwi.
"Ya, saya ingin cari tantangan, Pak. makanya saya menggambar beliau," kata Raymond.
"Pssst, hati-hati. Jangan sampai tahu kepala sekolah ya," kata Pak Dwi.
Raymond hanya tersenyum simpul. Dan, tak lama kemudian, tibalah waktunya pulang. Raymond tengah bergegas untuk pulang. Sementara itu, sepulang sekolah Chika yang hendak berangkat bimbel tengah menunggu Uji.
"Yah, Uji masih ada pelajaran tambahan," bathinnya.
Chika menunggu di depan sekolahnya. Ketika tengah menunggu, Rita yang baru saja pulang menghampirinya.
"Chik, kok belum pulang?" tanya Rita.
"Gue nungguin Uji. Dia lagi ada pelajaran tambahan," kata Chika.
"uhm …, oke deh. Gue pulang dulu ya," kata Rita.
Chika hanya mengangguk. Rita berjalan ke mobil yang menjemputnya. Tak lama kemudian, Uji yang telah pulang buru-buru ke parkiran. Dia mengambil motornya dan langsung pergi ke tempat bimbel bersama Chika yang telah menunggunya.
Dan, sore harinya di lokasi bimbel, Chika tengah mengikuti pelajaran. Dia begitu fokus memperhatikan materi yang di sampaikan sang mentor. Dan, setelah sekitar setengah jam pelajaran itu di mulai, tiba-tiba pintu kelas di ketuk. Sang mentor membukanya.
"Lho, kamu?" kata Mentor yang mengenali sosok di balik pintu.
"Uhm … I—Iya, Pak Imam. Uhm … maaf. Tadi saya ketiduran dirumah," kata Raymond.
Pak Imam tertawa simpul.
"Udah, Ray. Masuk yuk," ajak Pak Imam
Raymond mengangguk dan segera masuk kelas.
Pelajaran pun berlanjut, dan Raymond duduk di bangku belakang. Dia berusaha mengikuti materi itu, walau dia tak mengerti. Waktu terus berjalan, dan tak terasa jam istirahat tiba.
Raymond langsung beranak dari duduknya dan hendak keluar. Namun, dia terkejut ketika tangannya di pegang seseorang. Spontan dia melihat orang yang memegangi tangannya.
"Raymond? Ingat gue?" sapanya.
Raymond memandangi sejenak. Dia seperti mengingat-ingat cewek di depannya.
"Uhm … Windy ya?" kata Raymond dengan senyum manis.
"Iya. Luar biasa. Ingatan lo tajam bener," puji Windy.
"Ciye elah, Win. Lo itu ada-ada aja deh. Mana ada yang kagak kenal keponakan sang kepala sekolah?" balas Raymond.
'Gue dua tahun nih di Surabaya sejak kita berpisah. Dan gak nyangka, kita ketemu di sini. Uhm … oh ya, temen gue nih mau kenalan," kata Windy sambil merangkul Chika.
Raymond mengernyitkan dahinya. Dia memandangi Chika dengan keheranan. Chika hanya tersenyum simpul. Dengan percaya diri, dia menjulurkan tangannya.
"Ray, Gue Chika," kata Chika dengan senyum manis.
Raymond sejenak mengernyitkan dahinya. Dia memandang Chika seolah tak percaya.
"Nih cewek … kirain cupu ternyata pede juga dia," katanya dalam hati.
Raymond terdiam sejenak. Dia pandangi Windy.
"Ray, kok lo malah bengong? Kasihan tuh sobat gue," kata Windy.
Raymond tersadar. Dia buru-buru menjulurkan tangannya. Dengan singkat, Raymond memperkenalkan dirinya.
'Uhm … Gue Raymond," balasnya singkat.
Raymond yang merasa grogi buru-buru melepaskan tangannya. Dia hendak keluar, tapi tangannya di tarik Windy.
"Eeeh, Ray. Lo mau kemana? Belum juga kenal ama sobat gue," kata Windy.
Raymond yang begitu canggung tampak salah tingkah. Chika dengan tenang membuka percakapan dengan Raymond.
"Ray, lo sekolah di mana?" tanya Chika.
Raymond yang begitu canggung kebingungan menjawabnya. Namun, rasa penasarannya pada Chika begitu kuat. Raymond mencoba menghilangkan rasa canggungnya dengan wanita.
"Uhm, gue sekolah di Sekolah Sihir Hogwart," kata Raymond dengan nada bercanda.
Windy dan Chika tertawa lepas mendengar jawaban Raymond.
"Ya elah, Ray. Lo ini masih aja suka ngocol," kata Windy.
Raymond hanya tertawa lepas.
"Ya maklumlah. Lo tahu gue dari planet Ngumut alias Ngocol tapi Muka Tembok," jawab Raymond sambil.bercanda.
Chika dan Windy kembali tertawa lepas mendengar perkataan Raymond. Tiba-tiba, terdengar suara dari perut Raymond. Dengan wajah malu, Raymond memandangi Windy dan Chika.
"Waduh. Perut gue pada ngegelar konser. Gue cabut dulu ya, mau makan ke sebelah. Laper nih," kata Raymond
Windy dan Chika mengerti. Raymond yang kelaparan buru-buru pergi ke warung sebelah. Dia memesan makanan di warung itu. Ketika memesan makanan di warung itu, dia bertemu dengan Uji, teman sekelasnya. Dia menyapanya.
"Eh, lo yang tadi terlambat ya?" tanyanya.
"Iya. Eh, kok tadi gue belum lihat lo di kelas?" tanya raymond.
Uji tertawa lepas. "Yaelah, bhro. Gue duduk di depan masak lo kagak lihat?"
Raymond mengingatnya. Dan, dia akhirnya mengerti.
"Oh, mungkin gue tadi masih ngantuk," kata raymond.
Tak lama kemudian, datanglah pesanan Raymond. Sambil menikmati makanan itu, dia bercakap-cakap dengan Uji. Dari situlah raymond tahu jika cowok yang menyapanya adalah teman dekat Chika. Dalam hati, raymond begitu penasaran dengan Chika, namun dia berusaha memendamnya. Tak terasa, jam istirahat selesai.
Raymond dan Uji kembali ke tempat bimbel. Ketika dia masuk ke kelasnya, Chika langsung menarik tanganya.
"Ray, lo duduk di sini aja biar lekas ngerti," bujuk Chika.
Raymond tampak kebingungan. Dia lihat, di sekitarnya hanya dia yang pria.
"Waduh, Chik. Kok gue cowok sendirian di sini?" kata Raymond dengan suara lirih.
"Yeee, emang takut gue perkosa?' goda Chika.
Raymond terkejut mendengar perkataan Chika. Dia kembali menatap Chika seolah tak percaya dengan penglihatannya.
"Nih anak … Ih! Penampilannya cupu, tapi kok pede banget? Mana berani ngegoda gue lagi?" gumamnya dalam hati.
Chika tersenyum melihat Raymond yang celingukan.
"Eh, ayo. Duduk di sini. Kita-kita jinak kok," goda Chika.
Raymond hanya terdiam. Dia akhirnya mengalah dan duduk di sebelah Chika. Tak lama kemudian.
Pelajaran pun di mulai. Raymond berusaha memperhatikan pelajaran itu, namun dia tak kunjung mengerti. Ketika tiba waktunya mengerjakan soal latihan, dia tampak kebingungan.
"Ugh! Ini soal apaan ini? Pakai sinus lah, cosinus … apa-apaan ini?" gumamnya dalam hati.
Chika memandanginya. Dia tersenyum simpul melihat Raymond yang berusaha keras mengerjakan sendiri soal itu.
"Hmmm, benar kata Mayang. Ini anak memang bener-bener gak pandai. Tapi, jujur nih anak juga unik," katanya dalam hati.
Sambil mengerjakan soal latihan, Chika mengamati Raymond yang tak menguasai matematika, tapi tetap berusaha mengerjakan soal itu sendiri. Dan, setelah waktu pengerjaan itu selesai, Chika melihatnya tak menyelesaikan soal itu. Hanya beberapa soal yang dia kerjakan.
Kembali instruktur menerangkan soal latihan itu. Dia menjelaskan dengan begitu sabar dan telaten. Tak terasa, waktu menunjukkan pukul 5:50.
"Baik, anak-anak. Sekarang waktunya pulang. Jangan lupa, kalian kerjakan tugas di halaman 10. Selamat sore," kata Pak Imam menutup pertemuan.
Para peserta bimbel langsung berhamburan keluar. Ketika hendak ke parkiran motor, Chika mengejarnya.
"Ray, tunggu," kata Chika.
Raymond memperlambat langkahnya. Dia pandangi Chika yang mempercepat langkahnya.
"Ada apa,Chik?" tanya Raymond.
"Ray, tadi gue lihat lo gak selesaikan sola latihan. Emang, lo gak paham?" tanya Chika.
Raymond menghela nafas panjang. Dia tersenyum manis memandangi Chika.
"Iya, Chik. Gue memang lemah di matematika. Jadi, gue pilih kerjain sebisa gue. Lebih baik, gue kerjain segitu tapi hasil karya gue sendiri daripada ngerjain semua tapi bukan karya gue," kata Raymond.
Chika diam-diam mengagumi kepribadian Raymond. Dia hanya mengangguk. Sesampainya di area parkir, Chika pulang bersama Uji, sementara Raymond mengambil motornya dan tancap gas ke rumahnya.