Tanpa terasa, tahun ajaran baru kian dekat. Raymond dan bandnya yang telah mendapatkan jadwal manggung langsung merapatkan jadwal manggung. Beruntung, Bang Rojak mengerti. Dia memberi jadwal manggung di hari Sabtu dan Minggu, sehingga mereka dapat membagi waktu antara belajar dan bekerja.
Siang itu, di sebuah taman tampak Shely tengah melakukan sesi pemotretan. Kala itu, Raymond yang tengah jalan-jalan di taman itu secara tak sengaja bertemu Shely.
"Oke, tolong wajahya sedikit tegak, dan action," kata sang juru foto.
Shely mengikuti arahan sang fotografer. Beberapa shoot pun di ambil. Dan, taklama kemudian pemotretan pun selesai. Sang fotografer begitu puas melihat hasil jepretannya.
"Shely, kamu ada potensi untuk jadi model nih. Uhm, minggu depan kamu bisa ikut sesi berikutya?" tanya sang fotografer.
Shely berfikir. Dia teringat jika minggu depan sekolah sudah masuk. Dia sebenarnya ingin ikut, namun demi sekolahnya, dia memilih untuk mundur.
"Maaf, Bang. Kayakya kalau minggu depan aku tak bisa deh. Kan sekolah sudah masuk," kata Shely.
Sang fotografer mengangguk. Dia mengerti dengan kondisi Shely.
"Ya sudah, Shely. Uhm … tapi aku tetap rekomendasikan kamu. Nanti aku coba atur jadwalnya," kata sang fotografer.
Sesi pemotreatan pun selesai. Mereka menata perlengkapan fotonya dan bersiap pulang.
"Shely, kita pulang dulu. Lo mau barengan dengan kita?" tanya Sang Fotografer.
Shely diam sejenak. Dia pandangi sekitar taman, dan dia melihat Raymond di taman itu. Shely tersenyum pada sang fotografer yang menawarkan jasa.
"Makasih, Bang. Tapi biar gue pulang bareng temen aja," kata Shely.
Dia mengangguk. "Oke, Shel. Kita balik dulu. Sampai ketemu lagi. Ntar, gue kasih kabar deh."
"Iya, Bang Firman. Thanks ya," balas Shely.
Mereka langsung beranjak pulang. Sepeninggal mereka, Shely langsung menemui Raymond yang telah menunggunya di taman itu.
"Raymond. Lo udah lama disni?" tanya Shely.
"Uhm, gak lama juga sih. Kebetulan gue lewat aja habis cari buku. Dan, gak sengaja lihat pemotretan. Lo keren, Shel," kata Raymond memuji Shely.
"Ah, jangan gitu. Lo juga hebat dapat job manggung di Café Tango. Gue pernah lihat perform lo di sana," balas Shely.
Raymond tertawa renyah.Shely mengajak Raymond duduk di sebuah bangku di taman itu.Di taman itu, Shely dan Raymond membeli minuman dingin. Sambil menikmati minuman dingin, Shely membuka percakapan.
"Eh, Ray. Kalau nanti lulus, lo ngelanjutin kemana?" tanya Shely.
Raymond hanya menggelengkan kepalanya. Dia tampak belum ada gambaran.
'Gue gak tahu, Shel. Kalo maunya gue sih, nanti lulus gue maunya kerja. Yah, yang penting mandiri," kata Raymond.
Shely tersenyum manis. Dia sentuh pundak Raymond.
"Ray, lo musti mulai planning dengan masa depan lo. Memang, mungkin sekarang lo belum ada gambaran. Yang penting, lo udah punya niat mandiri itu udah bagus," kata Shely setengah memberikan nasehat.
Raymond diam sejenak. Dia berfikir. Dan, tak lama kemudian, Raymond balik bertanya pada Shely.
"Kalo lo, Shel. Setelah lulus SMA, apa yang bakalan lo lakuin?" raymond balik bertanya.
Shely tersenyum manis. Dia memandangi jauh ke depan, dan diam sejenak sambil tersenyum manis.
"Uhmmm. Kalo gue maunya sih kuliah di kedokteran. Tapi, entah gue masuk gak. Hanya, untuk saat ini gue coba peruntungan di dunia modelling. Kalau gol, mungkin gue mau nunda kuliah dulu," kata Shely.
Raymond tersenyum manis sekaligus mengagumi obsesi Shely.
"Semoga lo sukses sebagai apapun, Shel," kata Raymond memberi semangat.
Shely tersenyum manis."Terima kasih, Ray."
Sejenak, mereka saling diam. Raymond melihat jam tangannya. Rupanya tak lam lagi sore menjelang. Tak terasa mereka telah berbincang-bincang hingga sore menjelang.
"Shel, kita pulang yuk. Uhm … lo gak bawa motor?" tanya Raymond.
Shely hanya mengangguk. "Motor gue masuk bengkel. Tadi gue di jemput ama Bang Firman."
Raymond mengerti. "Ya udah, gue anterin lo pulang. Yuk."
Shely mengangguk. tak lama kemudian, mereka beranjak meninggalkan taman itu. Sesampainya di rumah Shely, Raymond langsung pamit pulang. Sesapainya di rumah, Raymond mulai menata buku pelajaranya. Buku paket bekasnya dia taruh di kardus, lalu disimpannya di gudang.
Malam harinya, Raymond termenung sendiri di kamarnya. Dia merenung di kamarnya.
"Perkataan Shely ada benarnya. Uhm, tapi gue belum ada gambaran mengenai apa yang akan gue lakuin," katanya dalam hati.
Raymond berfikir sejenak. "Uhm, mending gue jalanin yang sekarang aja dulu, daripada botak kepala gue."
Hari berganti hari. Dan, tak terasa tahun ajaran baru di mulai. Chika begitu bersemangat memasuki kelas baru. Di sana, dia bertemu Windy, salah satu temanya di sekolah Dasar.
"Windy?"sapa Chika.
Windy tersenyum manis. Dia memeluk erat Chika sahabat lamanya di sekolah dasar.
"Chika? Duuh. Udah enam tahun nih kita gak ketemu. Dan, penampilanmu koq berubah ya?" tanya Windy.
Chika hanya tersenyum manis. Dia balik bertanya pada Windy.
"Eh, Windy. Seingat gue, lo kan sekolah di Surabaya sejak kelas dua SMP. Gimana nih cerita di Surabaya?" tanya Chika.
Windy tesersenyum manis. Dia akhirnya menceritakan pengalamannya ketika sekolah di Surabaya. Banyak cerita konyol yang dia ceritakan. Cukup banyak pengalaman yang dia ceritakan semasa tinggal di Surabaya.
"Yah, Chika. Memang, kenangan gue di sana begitu banyak. Temen gue seru-seru. Tapi, sejak bokap dipindah kemari, gue jadi musti adaptasi lagi. Tapi, gue seneng ketemu lo lagi," kata Windy.
Teng! Teng! Teng! Terdengar lonceng sekolah di bunyikan. Para siswa masuk ke kelas. Setelah memberi salam, wali kelas langsung mengadakan absensi. Setelah mengadakan absensi, kegiatan belajar mengajar pun di mulai. Dan, pelajaran pertama adalah bahasa Indonesia.
"Karena ini adalah hari pertama kalian belajar, seilahkan ceritakan kegiatan kalian selama liburan. Dan, untuk kesempatan pertama, kita persilahkan Windy maju ke depan," kata Bu Guru.
Windy terkejut. Sejenak, dia pandangi Chika.
"Waduh, Chik. Kok gue yang duluan?" tanyanya dengan suara lirih.
"Udah. Lo cerita apa aja deh. Lo pasti bisa," balas Chika memberi semangat.
Windy akhirnya maju ke kelas. Dia ceritakan pengalamannya selama liburan. Setelah Windy selesai, guru itu memanggil murid yang lain. Beraneka ragam cerita mereka di masa liburan. Sementara itu, di SMA Raymond pengalaman berbeda dia dapatkan. SMA Putra Bangsa yang terkenal dengan siswanya yang badung bukannya bersemangat setelah liburan panjang, justru banyak siswa yang tak masuk di hari pertama.
Di kelasnya, Raymond tampak celingukan kelasnya yang kosong ketika jam pelajaran di mulai. Dari sekitar 40 bangku, hanya 15 bangku yang terisi. Guru yang masuk di kelasnya pun keheranan. Dia melihat absensinya, dan menatap kelas itu dengan wajah keheranan.
"Anak-anak. Hanya segini yang hadir?" tanya Pak Guru.
"Iya, Pak." kata para siswa.
Guru itu hanya tersenyum manis. Walau kurang dari sepatuh siswa yang hadir, guru itu tetap memberikan pelajaran. Jam demi jam berlalu, dan tanpa terasa jam istirahatpun tiba. Raymond yang duduk di depan kelas barunya mendadak di datangi Dion yang kini telah berbeda kelas.
"Eh, Ray. Gimana kelas baru lo?" tanya Dion.
Raymond tertawa renyah. Wih, kelas gue sepi men. Kayak kuburan. Populasinya pada kempes," jawab Raymond.
Dion tersenyum manis. "Yee, sama. Di kelas gue, yang masuk cuman tujuh ekor dari total empat puluh ekor. Mana yang masuk pejantan semua," kata Dion tertawa renyah.
Raymond terkejut mendengar perkataan Dion. Dia membelalakkan matanya.
"Serius lo?" tanyanya seolah tak percaya.
"Serius, Bhro. Ayo ikut gue," ajak Dion.
Raymond mengikuti Dion. Dan, memang benar. Di kelas itu hanya tujuh siswa yang masuk.
"Gile. Nih orang pada ngapain ya? Udah libur sebulan lebih, eh masih nambah," kata Raymond.
"Yah, ginilah teman kelas gue, Ray. Tapi enaknya, tadi kagak ada pelajaran. Jadinya, kita hanya makan di kantin doang," kata Dion.
Raymond hanya menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.
"Waduh, rupanya teman kita nih unik-unik. Udah libur panjang, malah kini lembur di rumah," katanya sambil tertawa renyah.
Mendengar perkataan Raymond, Dion tertawa renyah. Mereka kembali bercakap-cakap di depan kelas sambil sesekali tertawa renyah.
Waktu terus berjalan. Di hari pertama, rupanya sekolah pulang lebih pagi. Sepulang sekolah, Mayang mampir ke sebuah toko buku. Dia hendak membeli buku paket yang dibutuhkan untuk sekolah.Ketika membeli buku, secara tak sengaja dia bertemu dengan Shely. Mayang dan Shely sama-sama terkejut.
"Lho, lo kan temen bimbelnya Raymond," kata Shely dengan wajah terkejut.
Mayang hanya diam. Dia teringat akan pertikaiannya dengan Shely di depan Bimbel. Namun, dia berusaha menenangkan dirinya.
"Iya. Dulu gue temen bimbelnya raymond. Lo seingat gue yang naksir Raymond ya?" balas Mayang.
Shely terdiam sejenak. Dia teringat akan pertikaiannya di lokasi bimbel. Entah bagaimana awalnya, Shely berniat untuk berdamai dengan Mayang.
"Iya. Uhm, gue minta maaf atas kejadian itu," kata Shely.
Mayang tersenyum manis. Mereka akhirnya berjabat tangan.
"Iya. Gue juga minta maaf. Uhm, gue permisi dulu ya. Mau bayar buku ini," kata Mayang.
Shely hanya mengangguk. Mayang segera pergi ke kasir dan membayar buku yang dia beli. Setelah itu, dia langsung pulang ke rumahnya.