Chereads / Buih Cinta di Bangku SMA / Chapter 27 - Pelajaran Yang Makin Sulit

Chapter 27 - Pelajaran Yang Makin Sulit

Malam itu, Raymond begitu suntuk. Dia amati tugas bahasa Indonesia dari gurunya yang dia nilai aneh.

"Ya elah! Baru masuk sekolah, eeeh ini ada tugas disuruh wawancara," gerutunya.

Dia hanya menggelengkan kepalanya. Dia membaca perintah dari gurunya.

"Uhm … wawancaralah orang di sekitarmu." Raymond membacanya dalam hati.

"Oke, lalu … perintah selanjutnya…," gumamnya dalam hati sambil membaca tugas itu.

Dia membaca topic yang di perintahkan. Sambil mengernyitkan dahinya, dia baca secara teliti perintah gurunya itu. Agak lama dia membacanya. Dan setelah mengerti, dia akhirnya mencoba memperagakannya. Dia berdiri di depan sebuah kaca sambil membawa handphonenya.

"Selamat malam, Pak. Saya Raymond, dari SMA Putra Bangsa," kata Raymond bergaya bak wartawan.

Lalu, Raymond membesarkan suaranya. "Iya, selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?"

Kembali Raymond menggunakan suara aslinya.

"Selama libur di hari lebaran, kegiatan apa yang bapak lakukan?" katanya.

Raymond kembali bergaya bak seorang yang sudah dewasa. Dia membesarkan suaranya.

"Kegiatan yang saya lakukan banyak. Banyak sekali, selain mengunjungi saudara, saya juga …." Tiba-tiba Robby melihat Raymond yang berdiri di depan cermin tertawa lepas.

"Hahahah! Nak, kamu ngapain di depan cermin?" tanya Robby.

Raymond terkejut. Dia pandangi ayahnya yang berdiri di luar kamar. Dengan wajah jutek, dia menunjukkan tugas di awal tahun ajaran baru itu.

"Ini, Pa. Tugas Pak Ibas aneh banget. Masak, raymond harus wawancara orang. Mana topiknya seputar mudik lagi," keluh Raymond.

Robby tersenyum manis. Dia membaca tugas anaknya.

"Oh, begitu. Baiklah, daripada susah-susah, biar kamu wawancara papa saja," kata Robby,

Raymond tersenyum. Dia menyalakan perekam di handphonenya dan mulai bergaya bak seorang wartawan. Dia wawancara ayahnya demi tugas sekolahnya. Raymond mengajukan beberapa pertanyaan pada ayahnya. Setelah beberapa menit, tugas itu selesai. Sepeninggal ayahnya, Raymond mencatat hasil wawancaranya. Dia tersenyum simpul sambil menulis hasil wawancaranya.

Hari demi hari berlalu. Di kelas 12 IPS, pelajaran makin sulit. Raymond yang lemah di matematika dan bahasa inggris kembali mengalami kesulitan. Terlebih, ketika menghadapi akuntansi. Dia begitu pusing menghadapi pelajaran itu. Pagi itu, dengan langkah lunglai, Raymond berjalan ke kelasya. Shely yang melihatnya tersenyum simpul. Dia dekati Raymond.

"Ray, lo kenapa? Kok bejek amat tuh mukanya?" tanya Shely.

"Yah, gue sebel nih ama pelajaran akuntansi. Kita di disuruh ngitung duit, tapi kagak ada duitnya. Kayak-kayaknya aja kita tajir, nyatanya duitnya duit boongan," keluh Raymond.

Shely tersenyum manis. Dia menyentuh pundak sahabatnya itu.

"Yaelah, Ray. Namanya aja sekolah. Memang sih, gue rasain pelajaran sekarang sulit. Tapi, kita jangan menyerah. Kita harus usaha," kata Shely.

Raymond terdiam. Shely kembali menasehati Raymond.

"Ray, di kelas gue juga gak kalah sulit. Lo kan tahu gue masuk bahasa. Masak, gue disuruh ngarang mulu. Eeeh, bukannya kita fokus di dunia nyata, kita malah di suruh ngayal. Belum lagi, gue dapet pelajaran bahasa asing yang lumayan bejibun. Beruntung aja kagak diajarin Bahasa Alien atau Bahasa Planet Namec. Di jamin gue besok BCA alias Botak Cuman Atasnya doang," lanjutnya sambil tertawa.

Raymond tertawa lepas mendengar ocehan Shely.

"Yaelah, Shel. Emang ada ya bahasa Planet Namec? Apa kagak sekalian ngumpulin tujuh bola naga?' balas Raymond sambil tertawa.

Shely tertawa lepas. "Iya, Lo jadi Son Goku gitu?"

"Hahahah ... Shel. Lo bakat ngelucu juga," balas Raymond.

Mereka kembali tertawa lepas. Setelah tawa mereda, Shely kembali menasehati Raymond.

"Ray, apapun kesulitan pelajaran di sekolah, Lo jangan nyerah. Lo musti usaha dan kuat. Gue juga rasain beratnya sekolah, tapi gue gak nyerah," kata Shely memberi nasehat.

Raymond terdiam. Dia memikirkan ucapan Shely. Dan, tiba-tiba dia tersenyum manis.

"Eh, makasih lho nasehatnya. Gue akan coba untuk ikutin saran lo," kata Raymond dengan senyum manis.

Mereka akhirnya berpisah. Shely memasuki kelas bahasa, dan Raymond berjalan ke suatu tempat. Rupanya, dia kembali membolos.

"Gue akan coba pakai cara ini aja. Siapa tahu cara ini moncer," katanya dalam hati.

Raymond memacu motornya dan pergi ke toko mainan. Sesampainya di sana, dia temui penjual mainan.

"Pak. gue mau beli duit mainan. Ada gak?" tanya Raymond.

Penjual mainan itu tertawa. "Yaelah. Buat apa?"

"Udah, gue beli deh. Buruan nih, keburu ketangkap guru yang patroli," pinta Raymond.

Dengan keheranan, penjual itu akhirnya mengeluarkan uang mainan dengan berbagai pecahan. Raymond akhirnya memilih uang pecahan yang nominalnya 5 ribu hingga 100 ribu. Dia membelinya begitu banyak. Setelah membayarnya, Raymond segera pergi dari sana.

Di SMA 40, Chika yang masuk jurusan IPA tampak bisa mengikuti semua mata pelajarannya. Namun, ternyata pelajaran Biologi dia rasakan semakin sulit. Pada jam istirahat, dia berkeluh kesah pada sahabatnya. Mereka duduk di taman depan kelas.

"Windy, gue udah belajar Biologi, tapi gue rasa pelajaran ini makin sulit aja," kata Chika.

Sejenak, Windy memandangi Chika. Dia seolah tak percaya jika sahabatnya kesulitan dengan pelajaran sekolah.

"Ah, yang bener, Chik. Gue lihat lo kayaknya jago deh di sekolah ini. Gue dengar dari para guru, lo masuk jawara di kelas dua," kata Windy tak percaya.

"Ah, mereka tak paham kesulitan gue. Duuh, padahal gue nih ngebet banget masuk fakultas kedokteran," kata Chika dengan nada sedih.

Windy menghiburnya. "Chika, lo pasti bisa. Justru gue yang iri ama lo. Lo nilai lo semuanya menjulang tinggi."

Chika tertawa sambil mengernyitka dahinya. "Maksud lo?"

"Yaelah … Chik. Nilai lo serba A, lalu B hanya di kimia ama Biologi. Sedangkan gue? Masih ada nilai C. makanya, gue mau ikutan bimbel. Kelas gue semuanya jawara, nah gue … kebetulan aja pindah kemari. Jadilah gue satu-satunya di kelas kita yang paling blo'on," balas Chika.

Chika terdiam sejenak. Windy kembali menasehati Chika.

"Chik. Gue tahu mungkin gue blo'on, tapi gue gak menyerah. Gue tetap usaha supaya gue bisa lebih baik. Lo jangan nyerah, ya. Ntar, kalo lo nyerah, gue tanya pelajaran yang gue gak ngerti ke siapa coba?" lanjutnya.

"Uhm … Windy. Lo begitu perduli sama gue. Makasih ya lo udah nasehatin gue. Uhm, gue ada nih rekomendasi bimbel yang oke di sini. Lo mau tahu?" tanya Chika.

Windy mengangguk. Chika sejenak menghubungi Mayang. Dia menanyakan lokasi bimbel yang pernah dia ikuti. Dan, setelah mendapat informasi dari Mayang, Chika memperlihatkan handphonenya.

"Eh, temen gue udah ngabarin. Ini lokasi bimbelnya," kata Chika.

Windy memandanginya sesaat. Dia begitu percaya pada Chika.

"Oke, gue percaya ama lo. Nanti sepulang sekolah kita ke sana ya," ajak Windy.

Chika mengangguk. dan, tak terasa bel masuk kelas berbunyi. Mereka segera masuk ke kelasnya.

Di SMA 52, Mayang tengah mengikuti kegiatan belajar mengajar. Semenjak putus dari Davis, Mayang semakin fokus pada sekolahnya. Dia tengah memperhatikan guru yang menerangkannya.

"Baiklah, anak-anak. Sebelum kalian pulang, silahkan catat tugas matematika di papadn tulis," perintah gurunya.

Mayang mencatat tugas itu. Dan, tanpa terasa bel berbunyi. Sekolah telah berakhir. Mayang langsung beranjak dari kelasnya. Ketika berjalan ke parkiran motor, Davis menyapanya.

"May, gimana kabar lo?' tanya Davis.

"Ya, begini ini, Vis. Gue tetap Mayang," kata Mayang dengan senyum simpul.

Davis tersenyum manis. Mayang sejenak memandangi Davis. Dilihatnya, dia sendirian. Iseng, Mayang kembali bertanya.

"Vis, sejak tahun ajaran baru, gue lihat lo sering sendirian. Kok tumben? Emang gimana hubungan lo sama Grista?" tanya Mayang.

Davis menghela nafas panjangnya. Namun, dia kembali tersenyum manis.

"Gue dikhianati Grista. Diam-diam dia jalan ama anak SMA lain," kata Davis.

Mayang terkejut. Davis kembali melanjutkan ceritanya.

"May, lo gak pernah lihat Grista lagi kan sekarang?" lanjutnya.

Mayang sejenak berfikir. Dia mengernyitkan dahinya sambil mengingat-ingat sesuatu.

"Iya. Kok sejak seminggu lalu gue gak lihat dia? Bukannya dia kelas XI-C?" kata Mayang keheranan.

Davis tersenyum simpul. "Dia hamil, May. Dia hamil ama cowok itu, dan cowoknya gak mau tanggung jawab. Cowoknya kabur."

Mayang terkejut. "Eh, yang bener lo? Brengsek bener tuh cowok."

Davis terdiam. Wajahnya tampak sedih.

"Satu-satunya penyesalan gue adalah, gue ngecampakin lo ketika lo sudah cinta sama gue. Gue nyesel, May. Tapi, gue gak minta kita balikan. Gue hanya ingin, kita jadi teman seperti sekarang," kata Davis.

Mayang tersenyum memandangi Davis. Dia pegang pundaknya dengan lembut.

"Vis. Gue udah maafin lo. Sekarang, kita harus sama-sama sukses. Kita bisa kembali bersaing dalam prestasi sekolah seperti halnya ketika kita kelas dua. Dan, selama kita pacaran, itu yang buat gue terkesan. Bagaimana?" kata Mayang sambil menunjukkan jari jentiknya.

Davis tersenyum simpul. Dia melingkarkan jari jentiknya. Mereka sama-sama tersenyum.

"Baiklah. Kita kembali bersaing dalam prestasi sekolah. Terima kasih, May atas nasehat lo," balas Davis.

Mereka akhirnya berpisah dan pulang ke rumah masing-masing. Sesampainya di rumah, Mayang segera mengerjakan tugas rumahnya. Karena ada tugas yang sulit, Mayang akhitnya menghubungi Ferry dan membuat janji untuk bertemu.

Malam harinya, Ferry mengunjungi rumah Mayang. Sejak pertemuan itu,hubungan Mayang dan Ferry kian akrab. Tak jarang, setiap ada kesulitan Mayang selalu bertanya pada Ferry. Dan, malam itu, Mayang yang kesulitan dengan tugas kimia dan Fisika memperlihatkan tugasnya.

"Kak Ferry, ini tugas sekolah yang mayang tak tahu. Mayang bingung dengan rumus gerak lurus tak beraturan," kata Mayang.

Ferry memandangi tugas sekolah itu. Dia tersenyum simpul. Dengan sabar dan telaten, dia menjelaskan rumus-ruus fisika itu. Tak jarang dia beri contoh kasus untuk mempermudah Mayang memahaminya. Dari ruang tengah, ibunya Mayang tersenyum melihat kesungguhan putrinya belajar. Karena kerap mengajari putrinya, ibunya tak pernah melarang Ferry menemui putrinya.