Nie HuaiSang tertunduk di atas sikunya yang bertumpu meja. Kipasnya menutupi wajah yang telah basah oleh air mata. Dan dia akan tetap seperti itu selama beberapa saat hingga lelah dan semua itu berhenti dengan sendirinya.
Sayup-sayup, dari luar terdengar suara burung-burungnya berkicau bersahutan. Burung kenari yang terawat baik di dalam puluhan sangkar. Dengan warna yang berbeda dan telah Nie HuaiSang kumpulkan dari berbagai penjuru wilayah yang pernah dia datangi.
Sebab, meski Nie MingJue tidak pernah mendukung bakat dan hobinya seratus persen, sosok istimewa itu pernah terlihat tersenyum begitu cerah ketika dia membawa pulang seekor burung kenari setelah belajar di Yun Shen Buzhi Chu.
Padahal itu hanya seekor Burung Kenari liar. Yang tak berhenti berkicau bahkan ketika jam tidur sekalipun, tapi Nie MingJue justru pernah membelai leher mungil hewan itu di pangkuannya.
Saat itu tengah hari. Nie HuaiSang pun tak tahu mengapa dia terbangun dan ingin berjalan keluar sebentar untuk sekedar menghilangkan rasa jenuh di atas tempat tidur.
"HuaiSang..."
Nie Huaisang pun segera mendekat. "Kakak..." katanya. Lantas segera duduk di sebelah Nie MingJue. Mata mengantuknya menatap sangkar burung mungil yang diletakkan di sebelah alas duduk Nie MingJue, baru ke Burung Kenari di pangkuannya. Ah, ralat. Kali ini di genggaman telapak tangan besar itu. Yang biasa menghunus pedang justru kini tampak menghangatkan tubuh berbulunya.
Si burung yang selalu berkicau dan berusaha ingin kabur justru tampak jinak sekarang.
Walau tetap berisik.
"Kakak tidak biasanya terbangun seperti ini."
"Kau sendiri."
Nie HuaiSang tersenyum lima jari. Gigi-giginya terlihat karena sepenuhnya salah tingkah. "
Nie HuaiSang tersenyum gelisah. "A... hahah," dia mengalihkan pandangan ke depan. "Iya aku juga tidak tahu kenapa."
"HuaiSang," panggil Nie MingJue lagi.
Nie HuaiSang tidak menjawab tapi dia menoleh ke Nie MingJue. Nie MingJue sendiri justru menunduk ke Burung Kenari di genggamannya dan terus mengelus bulu-bulu lembut di leher itu dengan jemarinya.
"Tentang kejadian beberapa hari lalu," kata Nie MingJue mengawali. "Kalau kau ingin menanyakan sesuatu padaku, akan kujawab sekarang."
"Apa?"
Kejadian beberapa hari lalu?
Nie HuaiSang pun ingat. Tiga hari lalu memang ada kejadian yang membuatnya sempat bersitegang dengan Nie MingJue. Yakni saat Nie MingJue mengusir Jin GuangYao dari QingHe seusai membunuh Kepala Komandan kepercayaannya. Tepat di depan matanya.
"Kakak kenapa mengusir Meng Yao?!" tanya Nie HuaiSang saat itu. setengah berteriak. Dia marah. Dia merasa kehilangan sosok yang mendukungnya sedari dulu semudah itu.
"HuaiSang!" teriak Nie MingJue membalas. Nie HuaiSang tahu, dia hanya sakit hati. Namun, seperti apapun perasaannya saat itu... Nie MingJue tetap lebih bingung dari dirinya bukan?
Jin GuangYao adalah putera Jin GuangShan. Dia memiliki keahlian di luar nalar terlepas darimana asal-usul ibunya. Sikapnya baik selama ini. Dan dia dikirim menuju QingHe untuk menjadi abdi setia alih-alih kabar pengusirannya dari Jin Lingtai. Lan XiChen, seseorang yang dia hargai sangat mengasihi lelaki itu, bahkan pernah mengatakan ingin mereka bertiga menjadi saudara tersumpah suatu hari. Membuat Langit dan Bumi bersaksi atas persaudaraan suci itu. Jadi siapa yang berani melanggarnya kecuali hati salah satu dari mereka memang telah berubah.
Tentu, Nie HuaiSang tidak ingin mengadili Jin GuangYao yang selama ini ada di pihaknya. Namun, sekasar apapun perlakuan Nie MingJue kepadanya selama ini... dia juga tahu watak sosok istimewa itu lebih dari siapapun.
Nie MingJue yang dikenal orang-orang memiliki rasa keadilan tinggi dan tak pernah sekalipun mengalirkan darah di pedangnya kecuali dengan alasan yang jelas. Hatinya kuat, prinsipnya sekokoh intan permata, walaupun memang memiliki temperamen layaknya kobaran api.
Namun, bagi Nie HuaiSang... Nie MingJue tentu lebih dari itu.
Nie MingJue adalah kakaknya. Satu-satunya yang selalu ada. Istimewa. Selalu memperhatikan kepentingannya, dan bahkan meski dengan cara yang kasar... lengan yang sekeras baja itu selalu menggamit tangannya dengan lembut ketika dia terjatuh.
Sejak dulu, Nie MingJue memang dijuluki jenius oleh orang-orang. Di usia yang sangat muda dia sudah bisa menguasai berbagai teknik ilmu pedang dan meninggalkannya yang bahkan mengangkat benda runcing itu pun kesulitan.
Orang-orang telah meledek Nie HuaiSang sejak kecil. Namun, bukannya berbangga diri, Nie MingJue justru tersenyum padanya begitu lebar dan bilang akan selalu melindungi di manapun ada bahaya yang akan menerjangnya nanti.
Nie MingJue bilang, selama dia ada... Nie HuaiSang akan baik-baik saja dan tidak perlu ada yang dikawatirkan.
Selama dia ada... bukan?
Namun siapa yang menyangka bahwa Nie MingJue akan meninggalkan Nie HuaiSang secepat itu? Tanpa ada kejelasan alasan. Nie HuaiSang melihat darah-darah itu bercucuran dari tubuh sosok istimewa itu begitu saja. Menusuk relung jantungnya yang paling dalam. Begitu ngilu dan menyakitkan.
Dulu, Nie HuaiSang mengakui dirinya payah dan begitu bodoh soal segalanya. Namun, dia tak pernah salah mengenai firasat dan perasaan Nie MingJue sedikit pun.
Nie MingJue mungkin selalu berusaha terlihat kuat di depannya, lengkap dengan ekspresi keras meyakinkan yang dibuat-buat sekuat tenaga itu. Namun sekali lagi, Nie HuaiSang tidak bisa dibohongi begitu saja soal itu.
"Tidak ada," kata Nie HuaiSang. Menggeleng pelan.
Nie MingJue mengerutkan kening. "Tidak ada?" tanyanya tak percaya.
Nie HuaiSang menggeleng lagi. Tapi kali ini dengan senyuman meyakinkan ke Nie MingJue. "Aku percaya Kakak selalu memiliki alasan melakukannya," kata Nie HuaiSang. "Dan sekalipun itu bukan karena masalah serius... bisa saja kan Kakak mengusirnya hanya karena takut dia membuatku lebih terjerumus ke seni lukis... Hahah..." kekehnya canggung.
Nie MingJue menoleh pada Nie HuaiSang dan menatap senyum adik semata wayangnya itu. Senyum yang segera menjadi lebih lebar seperti yang dia harapkan. Seperti mereka kecil dulu dan tak ada yang berubah.