Chapter 9 - PEMIMPIN SEKTE NIE 3

Walau jujur, dia sendiri tak menyangka bahwa berlakon pingsan akan menjadi sesulit itu saat ada dua lelaki yang terus berisik melakukan hal-hal manis di balik punggungmu--mereka bahkan sempat berciuman saat api-api lilin padam diterpa angin dan Wei WuXian sendiri berisik sekali saat Peri mendadak ikut masuk ke dalam mencari Jin Ling.

Untung Nie HuaiSang sudah mengetahui perubahan pola hubungan Lan WangJi dan Wei WuXian sejak dulu. Untung saja dia sudah bisa menerima kenyataan itu. Dan untung dia masih bisa menahan diri agar tidak terkena serangan jantung mendadak hingga insiden itu selesai.

Jujur lagi... Nie HuaiSang iri melihat Wei WuXian. Dia memiliki seseorang yang bersedia selalu ada dalam kehidupannya, sekalipun telah terpisah dari sekte Jiang dan tak memiliki keluarga lagi. Berbeda dengan dirinya. Yang telah kehilangan seseorang, yang menjadi satu-satunya selama ini.

Nie MingJue.

Nie MingJue mungkin selalu melarangnya melakukan banyak hal di masa lalu. Memaksanya melakukan ini itu yang tidak dia suka. Dan bahkan pernah melempar koleksi-koleksi seninya ke dalam api. Namun, kini Nie HuaiSang mengerti. Itu semua memang diperlukan agar dia mampu duduk di kursi kehormatan itu sebagai Pemimpin Sekte Nie yang terakhir saat ini.

Tak seperti Jin GuangYao yang memanjakannya di masa lalu. Selalu mendukung bakat seni dan membawakan barang-barang antik setiap kali berkunjung. Pria tersebut justru menjadi pembunuh sosok satu-satunya itu dalam hidupnya. Dengan mudahnya.

Memanfaatkan dirinya, yang seolah-olah mendukung Jin GuangYao dari belakang, selalu tidak setuju dengan Nie MingJue dan hanya memetik senar-senar guqin itu. Membuat emosi Nie MingJue berhamburan layaknya letusan lahar api dalam gunung. Membuat darahnya bercucuran dari dalam tubuh kekar itu. Membuat ototnya lumpuh luar dalam... sebelum kehilangan akal dan mati begitu saja. Di depan matanya.

"Ini semua sudah benar..." gumam Nie HuaiSang begitu tandunya diturunkan. Dia keluar. Dan di depan sana sudah ada berpuluh prajurit yang berjajar rapi untuk menyambutnya di depan gerbang Bu Jing Shi.

"Selamat datang, Nie-Zhongzu!" teriak mereka serempak. Masih terdengar sesemangat semasa Nie MingJue melatih mereka sekalipun Nie HuaiSang tahu, bahwa di belakangnya ada beberapa dari mereka yang menggunjing dia tidak pantas mendapat perlakuan seperti itu.

Nie HuaiSang hanya tersenyum lembut, "Iya, iya, iya. Aku sudah pulang. Bagaimana dengan kondisi di sini selama kutinggal pergi?" tanyanya sembari berjalan masuk.

Seorang Kepala Komandan pengganti segera mendekat. Dia memberi hormat kepada Nie HuaiSang sebelum berkata dengan nada tegas. Seperti ajaran Nie MingJue dulu. "Nie-Zhongzu, seluruh masalah yang ada di wilayah Timur QingHe telah diatasi. Mereka tidak lagi berbuat ribut setiap kali ada pelancong datang lewat jalur laut. Dan juga, Balai Utama yang ingin Anda dekorasi kemarin telah selesai tadi pagi."

Mendengar itu, Nie HuaiSang harusnya tersenyum senang (atau justru terlihat bodoh) seperti dulu kala dia tak bisa apa-apa soal kepemimpinan dan hanya mengandalkan bantuan Jin GuangYao serta Lan XiChen sepeninggal Nie MingJue yang sangat mendadak. Namun, kini dia justru tersenyum masam di balik kipasnya.

"Ah... bagus-bagus. Tapi yang kumaksud bukan itu!" Katanya. Dan di balik kipas itu hanya terlihat tatapan matanya yang melengkung senang. Hingga saat melihat ekspresi kepala komandannya bingung, Nie HuaiSang mendekat setapak. Dia berbisik. "Memangnya aku pernah menanyakan kondisi Balai Utama?"

"Ah!"

Si Kepala Komandan langsung mundur dan memberi hormat lagi. Nie HuaiSang menyibak kipasnya lebih lebar dan mengibas-ngibaskan benda itu sedikit lebih kasar. Tanda sedang 'berperan' marah.

"Iya, Nie-Zhongzu! Semua Burung Kenari Anda telah dimandikan sebelum Anda kembali!" seru si Kepala Komandan.

Nie HuaiSang tersenyum lebih cerah. "Bagus... sudah kau beri makan juga?" tanyanya dengan nada jenaka.

"Iya!"

"Lalu... lukisan-lukisanku?"

"Semuanya sudah tertata rapi di Balai Utama, Nie-Zhongzu!"

"Bagaimana dengan kuas-kuasku? Keramik-keramikku? Kipas-kipas koleksiku?" tanya Nie HuaiSang lagi. Nadanya semakin menuntut.

"Iya! Semuanya sudah dibersihkan dan diletakkan dalam rak masing-masing, Nie-Zhongzu!" kata si Kepala Komandan sembari mengangguk kecil. Berusaha meyakinkan dalam postur hormatnya.

Kali ini Nie HuaiSang baru tersenyum dengan cerahnya. "Ah... kerja bagus. Sekarang aku akan istirahat sebentar," katanya. "Begitu aku bangun nanti, persiapan di Balai Pelatihan harus selesai, mengerti?"

Si Kepala Komandan mengangguk mantab. "Mengerti!"

Nie HuaiSang pun melewati jalur itu dan masuk ke dalam.

Ke sebuah Balairung Utama yang begitu luas. Dipenuhi jejeran dayang serta prajurit menuju sebuah singgasana kehormatan yang sangat megah.

Di situlah dulu Nie MingJue duduk dengan postur gagahnya, didampingi Baxia yang tak kalah perkasa dengan sang pemilik. Dengan raut wajah seperti batu cadas, sosok satu-satunya itu menatapnya dengan mata memerintah. "Nie HuaiSang, berhentilah melukis dan bawa pedangmu kemari!"

Memerintah, tapi Nie HuaiSang tahu mata itu juga penuh kasih sayang hanya untuknya sejak dulu.

Waktu itu, seperti biasanya. Nie HuaiSang pasti akan membantah dengan gaya jenaka. Tak kenal merasa bersalah. Namun kini, wajahnya selalu beku menghadapi tempat itu. Matanya pun selalu mengambang di udara. Dan dia bisa saja menangis di tempat jika tak segera melewati para bawahannya menuju ke dalam.

Menutup pintu geser tujuh lapis. Sendirian. Di kursi itu dia tak sanggup menggantikan. Seseorang yang sangat istimewa dan membuat semua urusan di QingHe tak lebih berharga dari koleksi-koleksi seninya. Dan koleksi-koleksi seninya tak lebih berharga dari dirinya sendiri.

Nie HuaiSang duduk. Di sebuah kursi lain yang telah dia tempatkan di sebelah kursi kepemimpinan Nie MingJue dulu. Dia hanya tak ingin sosok satu-satunya itu menghilang sepenuhnya. Sekalipun hanya bekas, di dalam Bu Jing Shi ini.