Chereads / 4 Leaf Clover / Chapter 4 - Hilangnya Sesuatu Yang Paling Berharga

Chapter 4 - Hilangnya Sesuatu Yang Paling Berharga

Keesokan harinya setelah pulang sekolah, tiba-tiba saja dia mengajakku untuk pergi jalan bersama dengan dirinya, ia bilang bahwa ini adalah sebagai salah satu itikad baiknya untuk memperbaiki hubungan antara aku dengannya. Jujur saja, aku sempat terkejut dan sedikit tidak percaya akan apa yang Rian katakan itu, karna itu benar-benar jarang terjadi, namun setelah Rian memastikan bahwa ia tidak bermain-main, aku pun lalu mempercayainya dan menyetujui ajakanya itu.

Tak ada ruginya juga untukku. Pikirku saat itu.

Saat itu ia beralasan ingin mengajakku kesebuah tempat yang penuh dengan boneka.

Ya... aku jujur saja bingung dengan hal itu, untuk apa ia membawaku ketempat yang penuh dengan boneka. Sepanjang yang aku tau saat itu, aku tidak pernah bilang bahwa aku menyukai boneka, jadi aku rasa sangat tidak mungkin ia ingin memberikanku boneka untuk membahagiakanku, karna aku rasa ia tidak akan melakukan hal itu.

"Untuk apa semua boneka ini Rian ?" Tanyaku yang penasaran melihat setumpuk boneka yang berada tepat didepan bola mataku itu.

Lalu Rian tersenyum, dan seraya tersenyum ia berkata. "Semua boneka itu adalah barang daganganku Sil, karna begitu banyaknya boneka ini, aku membutuhkan bantuanmu Sil, untuk membantuku menjualkan boneka-boneka ini."

Aku pun lalu melirik kearahnya, melihat wajahnya yang begitu serius memandangi semua boneka-boneka tersebut. Melihatnya yang begitu serius dan percaya diri membuatku tanpa sadar tersenyum seraya memandanginya. "Jika memang ini yang kau maksud, tentu saja aku akan membantumu Ri, bahkan aku tidak perlu pikir dua kali untuk membantumu."

"Terimakasih Sil." Ucap Rian dengan penuh senyuman keikhlasan.

Melihat senyuman Rian yang tulus seperti itu seketika membuat perasaanku tidak karuan, pipiku tiba-tiba saja memerah dengan sendirinya, aku lalu mengalihkan pandanganku dan mimilih untuk melihat setumpukan boneka yang ada dihadapanku.

"Sama-sama Ri." Ucapku seraya berusaha menahan perasaan aneh tersebut. Lalu kemudian kami berdua terdiam sejenak seraya memandangi tumpukan boneka di dalam sebuah gudang yang cukup besar, yang mana pada saatat itu keadaan menjadi sunyi sejenak.

"Tenang saja Sil, nanti aku akan membagi hasil penjualan ini, sebagai bentuk terimakasihku karna kau telah mau mebantuku, anggap saja itu adalah gajimu."

Cetus Rian yang memecah suasana kesunyian diantara kami berdua.

Aku pun akhirnya bisa tertawa lepas karna ucapan Rian tersebut, karna bagiku momen saat itu seperti aku kembali ke momen-momenku dengan Rian dulu, saat kita pertama kali bertemu. "Ya, terimakasih Ri," ucapku seraya kemudian memandangi Rian dengan senyuman. "Meski aku tidak terlalu berharap akan hal itu sih." Lanjutku dengan senyuman simpulku yang kali ini membuat Rian salahtingkah dan mengalihkan pandangannya dariku.

Setelah itu kami berdua pun mulai mengepakkan dan memisahkan boneka-boneka tersebut kedalam kardusnya masing-masing, dan karna bonekanya terlalu banyak dan hanya ada kami berdua, membuat pekerjaannya menjadi cukup lama, dan ditengah-tengah hal tersebut aku pun terpikirkan akan sesuatu hal yang sebetulnya beberapa kali terbesit dalam pikiranku, yaitu tentang hubungan Rian dengan Ibunya, karna beberapa hari yang lalu Ibunya sampai datang menemui aku untuk menanyakan hal tentang Rian, dari situ, aku pun berpikir, apakah hubungan mereka sudah baik-baik saja, atau malah tidak ada perubahan sama sekali.

Akibat kerjaan yang cukup lama dan melelahkan itu, dan juga aku yang begitu penasaran, akhirnya aku pun menanyakan perihal hubungan mereka berdua kepada Rian. "Oh iya Rian, ngomong-ngomong bagaimana kondisi ibumu saat ini, apakah dia baik-baik saja ?" Tanyaku seraya memasukan boneka kelinci kedalam sebuah kotak yang cukup besar.

"Tumben sekali kau menanyakan tentang kondisi ibuku Sil, ada angin apa nih ?" Ucap Rian dengan nada yang menggoda.

Entah mengapa tiba-tiba saja aku membayangkan wajah ibunya Rian yang sedang menangis di hadapanku, aku membayangkan kejadian beberapa waktu yang lalu, membayang betapa sedihnya ibunya Rian dibuatnya, mengingat itu semua benar-benar sungguh menyakitkan untukku.

"Hm..., tidak bukan apa-apa Ri." Ucapku dengan mimik wajah yang murung seraya menundukkan wajahku untuk menyudahi pembicaraan yang terlanjur telah aku mulai itu.

Lalu tiba-tiba saja tanpa aku sadari Rian sudah berada dibelakangku, ia menepuk pundakku yang sedang terlamun akibat sosok ibunya Rian, ia menepukku secara perlahan, yang membuatku sangat terkejut dengan hal itu.

Seketika dengan sigap dan panik, aku membalikkan tubuhku kearahnya, dan menatap wajahnya dengan ekspresi tegang. "Y- Ya... ?" Ucapku terbata-bata.

Ia lalu tersenyum dengan sangat lebar, sampai-samapi matanya pun ikut menyipit. "Terimakasih Sil...."

Alis mataku menekuk kebawah, mulutku pun teebuka cukup lebar, aku benar-benar tidak mengerti dengan Rian yang tiba-tiba saja berterimakasih kepadaku itu. "Hu- Huh... ?" sahutku bingung. "Apasih, kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu Rian ?!"

"Sebulan yang lalu, ibuku berkata kepadaku bahwa ada seseorang yang tidak menyerah kepadaku, seseorang yang sangat peduli padaku, seseorang yang sangat mengkhawatirkanku, meski ibuku tidak pernah mengatakan secara gamblang siapa orang itu, tetapi aku tau, bahwa itu adalah kau Sil, jadi sekali lagi terimakasih..., terimakasih kau telah ada, bukan hanya ada untukku, tapi juga untuk ibuku, sekali lagi terimakasih." Ucap Rian menyapaikan ungkapan terimakasih seraya membungkukan badanya.

Jujur saja aku merasa sangat malu saat itu, selain karna aku merasa perasaanku tidak sedalam seperti apa yang Rian katakan, aku juga merasa ucapan terimakasih Rian itu sangatlah tidak pantas untuk aku terima, meski aku berkata seperti itu sekali pun, kenyataanya adalah bahwa aku tidak pernah melakukan apa pun. Itu membuatku benar-benar merasa malu kepada diriku sendiri. "Sudah-sudah tidak perlu sampai segitunya, aku merasa sangat tidak pantas mendapatkan semua ucapan terimakasih itu darimu Rian." Ucapku seraya menegakkan tubuh Rian menggunakan kedua tanganku.

Rian lalu tersenyum kepadaku. "Kau memang sangat baik ya Sil."

Lalu seraya membalikan badanku aku pun berkata. "Kau yang terlalu berlebihan menilaiku Ri." Ucapku yang berusaha menyudahi obrolan itu.

Kemudian aku lalu mengambil sebuah boneka beruang dari tumpukan boneka yang berada di sekitarku tersebut, dan disaat aku ingin memasukan boneka beruang tersebut kedalam sebuah kotak, Rian pun tiba-tiba saja mengucapakan sesuatu dengan tatapan mata yang begitu tajam. "Mamah gak tau, dan gak boleh tau." Ucapnya dengan wajah serius menatap kearahku.

Sontak aku pun terkejut bukan main mendengarnya berbicara seperti itu dengan ekpresi yang tak kalah mengejutkannya untukku. Awalnya ketika Rian mengatakan bahwa ia menjual boneka-boneka itu, aku berpikir bahwa setidaknya ibunya mengetahui hal ini, namun ternyata aku salah, justru sebaliknya, ia malah tidak ingin ibunya mengetahui hal itu.

Lalu dengan didasari oleh rasa penasaran yang kuat dan dalam, aku memberanikan diri untuk menanyakan kepadanya alasan mengapa ia mengucapkan hal tersebut. "Kenapa Ri, bukankah akan lebih baik jika ibumu tau tentang hal ini, lagi pula jika ibumu tidak mengetahuinya bukankah malah akan membuat ibumu menjadi khawatir dengan keadaanmu yang selalu pulang malam tanpa sebab." Ucapku seraya memberikan alasan rasional yang mungkin dapat diterima oleh Rian, syukur-syukur jika hal tersebut dapat mengubah pandangannya itu.

Rian menarik nafasnya dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan, ia memandangiku dengan wajah murung seraya berkata. "Karna aku tidak ingin menambah penderitaan ibuku Sil, aku tidak ingin ibuku memikirkanku lebih jauh dari sekarang, ibuku sudah dibuat cukup menderita oleh papahku yang bajingan itu, jadi aku tidak ingin mamah merasa bahwa ia tidak bisa merawatku karna tau aku memiliki pekerjaan sampingan ini, jadi tolong jangan beritahu mamah tentang hal ini Sil." Pintanya dengan wajah yang memelas serta sekali lagi menundukan badanya dihadapanku.

Seketika perkataan tersebut membuka pikiranku, aku memang tidak pernah terpikirkan tentang hal itu, tapi aku rasa itu ada benarnya juga. Bagi orang tua yang baru saja mengalami masa-masa sulit, melihat anaknya bekerja keras seperti ini, tentu saja hanya akan membuat orang tua merasa tidak berguna dan hanya membebani anaknya saja. Saat itu aku benar-benar tidak bisa berkata apa-apa selain hanya dapat menganggukan kepalaku dan berkata. "Ya-Ya... aku tidak akan bilang ke ibumu."

Jujur saat itu, disisi lain aku benar-benar tersentuh akan kata-katanya yang terlihat seperti sangat mempedulikan ibunya itu, maka dari itu setelah berkata seperti itu air mataku tiba-tiba saja mengalir tanpa sepengetahuan Rian, seraya aku tetap melanjutkan pekerjaanku memasukan boneka kedalam kotak.

Matahari mulai hilang tergantikan oleh terangnya cahaya bulan di malam hari, itu artinya malam pun telah tiba. Setelah beberapa jam kami berduaan di dalam gudang yang besar tersebut, akhirnya pekerjaan kami selesai juga. Lalu seraya menunggu mobil yang mengangkut boneka-boneka ini, kami pun beristirahat di dalam gudang, tersebut.

Rian lalu datang menghampiriku dengan membawa sebotol air lemon dingin. "Nih, buat kamu Sil, buat menggantikan staminamu yang hilang." Serunya seraya menyerahkan air lemon dingin itu.

Aku membalasnya dengan penuh senyuman. "Makasih ya Ri." Sahutku seraya menerima air lemon dingin itu.

Aku yang sudah merasa sangat kehausan, dengan segera langsung meminum air lemon tersebut, kemudian disaat yang bersamaan, Rian juga memandangiku dengan senyuman lebar serta mata yang berbinar-binar menatap kearahku. "Jika diperhatikan ternyata benar kata orang-orang, kau benar-benar sangat cantik Sil." Cetusnya tanpa basa-basi.

Seketika perkataan tersebut membuatku tersendat, aku lalu mengeluarkan sedikit air yang terminum itu dari mulutku, seraya batuk-batuk aku berkata. "Apasih, gak jelas banget, tiba-tiba mengatakan hal seperti itu." Ucapku yang malu.

Lalu kemudian dengan menghiraukan perkataanku, tangan Rian perlahan meraih tanganku, kemudian ia pun mengenggam tanganku erat, seraya menatapku tajam ia tersenyum dan berkata. "Terimakasih Silva Saphira untuk segalanya, aku rasa aku sangat bersyukur memiliki teman sepertimu."

Begitulah kira-kira ucapan manisnya yang telah berhasil membuatku terbawa akan persaaan saat itu. Sedangkan saat itu aku hanya bisa diam seperti pantung pancoran dengan wajah yang memerah layaknya hellboy.

Ditengah kondisi yang sangat tidak menguntungkan untukku itu, tiba-tiba saja ada sebuah cahaya yang menyinari gudang tersebut, cahaya tersebut datangnya dari luar gudang yang sedang kami berdua tempati itu.

Dan ternyata sumber cahaya terang itu adalah sebuah mobil pengangkut barang yang telah aku dan Rian tunggu, tunggu sedari tadi.

Mobil pengangkut barang itu lalu berhenti dan memarkirkan mobilnya tepat didepan gudang ditempat kami beristirahat.

Seseorang pun keluar dari dalam mobil tersebut, aku lalu sangat terkejut ketika pertama kali melihat orang tersebut keluar dari mobil pengangkut barang itu. Aku terkejut karna melihat seseorang dengan perawakan botak licin, selicin lantai yang baru saja di pel, yang bahkan pantulan cahaya bulan pun dapat terlihat jelas dikepalanya yang licin tersebut.

Pantulanya bahkan terlihat sangat sempurna, layaknya air yang memantulkan cahaya bulan.

Awalnya aku mengira dia itu adalah perawakan tuyul yang sesungguhnya, karna kepalanya yang botak dan bercahaya itu, dan itulah yang membuatku terkejut. Namun ternyata setelah mendekat, akhirnya aku sadar bahwa meski kepalanya bersinar terang menderang seperti lampu tembak, dia tetaplah manusia biasa.

Seraya memegangi kepalanya, Si botak bercahaya itu berkata. "Oi Ri, barang udah pada siap belum ?" Ucap Si botak bercahaya seraya menggaruk-garukan kepalanya yang tidak berambut itu.

(P.S Karna aku tak pernah mengetahui namanya, aku akan memanggilnya dengan sebutan Si botak bercahaya, dikarenakan kepala botaknya yang bercahaya layaknya sebuah lampu tembak.)

Rian lalu mengacungkan Ibur jarinya kepada Si botak bercahaya itu. "Ok bro, tenang aja gua udah siapin semuanya, tinggal lo angkut aja!." Teriak Rian seraya menepak-nepak salah satu kotak yang berisikan boneka tersebut.

Aku yang penasaran pun mencoba untuk menanyakan perihal kemana boneka-boneka tersebut akan didistribusikan, berhubung aku cukup peduli jadi tanpa basa-basi aku langsung menanyakannya. "Ini mau dibawa kemana Ri ?"

Dengan senyuman tipis Rian menjawab. "Ke salah satu toko di Jakarta Sil, disana pesanannya cukup banyak, sepertinya orang-orang dijakarta sangat menyukai boneka-boneka ini." Ucap Rian menjawab pertanyaanku seraya mengangkat dan memindahkan kotak boneka kedalam mobil pengangkut tersebut.

Lalu tiba-tiba saja entah kenapa pandangan mata Si botak bercayaha itu mengarah kepadaku, dengan tatapan mata yang tajam layaknya seorang predator ia berkata. "Itu cewek, cewek lo Ian ?" Cetus Si botak bercahaya seraya menunjukku dengan menggerakan bibirnya yang cukup tebal itu kearahku.

Sebetulnya saat itu aku sudah mendapatkan perasaan yang tidak enak, terlebih melihat wajahnya yang tidak mengenakan itu dan ditambah ekspresi wajahnya yang seakan-akan dipenuhi oleh hawa nafsu kebejatan, membuatku sangat-sangat tidak nyaman saat itu.

Aku hanya terdiam, tersenyum tipis seperti seseorang yang sedang menahan buang air besar. Lalu kemudian tiba-tiba saja Rian merangkul pundakku seraya berkata. "Bukan bro, cuma temen aja, namanya Silvia," ucap Rian yang dengan sigap berhasil membaca suasana hatiku yang sedang tidak dalam posisi baik-baik saja. Lalu Rian kemudian tersenyum lebar dan berkata. "Cantikkan ?" Lanjutnya yang membuat wajahku seketika memerah karna malu dipuji olehnya didepan temannya.

Akan tetapi ada sesuatu hal yang mebuatku bingung, yaitu Si botak bercahaya yang juga ikut tersenyum ketika Rian memujiku. "Iya cantik...." Ucap Si botak bercahaya dengan nada yang tidak dapat kumengerti maksudnya.

Melihat senyuman Si botak bercahaya yang mengerikan itu, aku pun mencoba melarikan diri dari percakapan yang mulai membuatku salah tingkah itu. "Oh iya, karna aku sudah janji akan membantumu, aku juga akan membantumu memindahkan kotak-kotak ini kedalam mobil pengangkut itu." Ucapku seraya kemudian aku mengambil kotak yang berada didekatku dan pergi meninggalkan mereka menuju mobil pengangkut.

Proses pengangkutan berjalan cukup memakan waktu, meski dengan tanaga 3 orang sekali pun, dikarnakan banyaknya kotak-kotak yang harus dipindahkan, itu sangat cukup untuk membuatku merasa sangat lelah. Dan aku yang lelah, beristirahat di dekat pintu masuk gudang tersebut. Aku duduk tepat di samping pintu masuk gudang.

Setelah kami bertiga selesai memindahkan semua kotak-kotak berisikan boneka dari dalam gudang ke mobil pengangkut, Aku dan Rian pun lalu selanjutnya pulang, sedangkan Si botak bercahaya melanjutkan perjalanannya ke Jakarta.

Sejujurnya aku cukup merasa curiga dengan Si botak bercahaya, selain karna wajahnya yang terlihat mengerikan untuk dipandang, sifat dan tutur katanya yang sangat menyebalkan itu membuat pikiranku selalu berpikir buruk tentangnya. Akan tetapi karna Rian sangat mempercayainya aku pun masa bodo kepadanya untuk saat itu.

Rian pun lalu mengantarku pulang kerumahku, atau lebih tepatnya kerumah tanteku.

Kegiatan itu terus berlangsung selama kurang lebih 1 bulan lamanya, aku selalu secara rutin membantu Rian untuk memasukan dan memilah-milah boneka yang akan dimasukan kedalam kotak-kotak yang telah dibuat khusus untuk boneka-boneka itu.

Dan tentu saja aku merasa sangat senang saat itu, terlebih secara rutin Rian selalu memanjakanku dengan air lemon dingin yang selalu ia berikan kepadaku disaat aku mengalami kelelahan.

Itu semua terasa baik-baik saja, aku merasa bahagia tanpa terbebani apa pun, sampai pada akhirnya saat itu tiba, saat dimana mimpi burukku yang sebenarnya dimulai.

Hari itu, pekerjaanku lebih berat dari hari-hari sebelumnya, itu dikarnkan pesanan boneka yang Rian kerjakan jauh lebih banyak dari sebelumnya, dan itu sangat membuatku merasa lelah, ditambah Si botak bercahaya yang biasanya hadir untuk membantu, namun dihari itu ia tidak datang. Atau lebih tepatnya belum datang.

Dan tentu saja aku yang lelah pun beristirahat di dalam gudang tersebut, lalu seperti biasanya Rian datang membawakan air lemon dingin, dan memberikannya kepadaku untuk membuat rasa lelahku hilang.

Akan tetapi berbeda dengan hari-hari sebelumnya, ketika aku meminum air lemon pemberian Rian itu, entah kenapa justru aku mengalami pusing yang bukan main, pandanganku mulai kabur, nafasku agak sedikit sesak, ditambah tubuhku juga terasa sedikit panas, seketika meminum air lemon itu.

"Ri, entah kenapa aku merasa pusing. Dunia seperti berputar, rasanya seperti gravitasi tidak menjalankan tugasnya dengan baik." Gumamku mengeluh seraya menatap Rian lesu.

Lalu Rian mengelus-elus pipiku, dimana itu cukup aneh, karna Rian tidak pernah melakukan hal itu sebelumnya. "Tenang Sil, kamu hanya kelelahan saja, istirahat sebentar juga pasti sudah mendingan. Hari ini kamu bekerja terlalu keras, jadi beristirahatlah. " Ucap Rian seraya tersenyum menyeringai kepadaku.

Tentu saja aku merasakan sesuatu hal yang tidak biasa dari senyuman Rian itu, seperti ia memiliki niatan jahat kepadaku. Namun dikarnakan kondisi tubuhku yang tidak baik saat itu, aku mengabaikan semuanya. Aku hanya tersenyum manis memandanginya seraya membenarkan ucapanya. "Ya..., kau ada benarnya."

Jika mengingatnya kembali, Rian adalah laki-laki pertama yang pernah membelai dan mengelus-elus pipiku seperti itu, tidak pernah ada yang melakukan hal seperti itu sebelumnya, bahkan ayahku sekali pun tidak pernah melakukan hal yang aku anggap memalukan seperti itu. Itu karna aku, Silvia Saphira, tidak akan pernah mengizinkan laki-laki mana pun melakukan itu. Namun entah kenapa saat itu aku tidak bisa melawan, meski hanya dengan kata-kata, tetap saja aku tidak bisa melawan. Entah mengapa aku seperti menganggap bahwa itu adalah hal yang normal, padahal, jika saja aku tidak merasa pusing saat itu, aku yakin, aku tidak akan pernah mengizinkan Rian melakukan itu, dan jika Rian melakukan itu, sudah pasti aku akan marah.

Untuk beberapa saat, aku kehilangan kesadaranku, dan hal terakhir yang kulihat adalah senyuman menyeringai dari Rian yang terlihat sangat mengerikan, selain itu hal terakhir yang dapat kurasakan adalah, lembutnya tangan Rian, mengelus dan membelai pipiku berulang-ulang kali.

Setelah aku jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri, aku pun terbangun, aku terbangun dengan keadaan setengah sadar. Tubuhku lemas, dan tak bisa kugerakan sama sekali, pandanganku kabur dan sedikit buram, aku tidak dapat melihat jelas apa yang terjadi disana, pada diriku saat itu. Namun yang pasti saat itu aku melihat ada lebih dari 5 orang mengelilingiku, dan salah satu diantaranya adalah orang yang telah aku kenal, yaitu Rian serta Si botak bercahaya. Sedangkan yang lainya adalah orang yang tidak pernah aku lihat sekali pun wajahnya itu.

Meski tubuhku sangatlah lemas sampai-sampai tak bisa kugerakan, akan tetapi aku dapat merasakan beberapa tubuhku sedang disentuh saat itu, mulai dari pahaku, pipiku, tanganku hingga perutku, aku bisa merasakan itu semua dengan sangat jelas. Bahkan sesekali, aku merasakan pipi dan bibirku bersentuhan dengan bibir orang lain, seperti ada seseorang yang menciumiku. Bahkan aku dapat merasakan air liur mereka mengalir didalam mulutku saat itu.

Aku memang bisa merasakan semua hal itu dengan jelas, akan tetapi meski aku bisa merasakan itu semua dengan jelas, aku tidak dapat melakukan apa pun. Aku tidak bisa melawan mereka, karna tubuhku yang begitu lemas sampai-sampai aku tidak bisa menggerakan tubuhku sendiri. Atau bahkan untuk sekedar berteriak pun saja aku tidak mampu, mulutku ini tidak bisa kugerakan, bahkan beberapakali aku merasakan bibirku bersentuhan dengan bibir orang lain.

Semakin lama itu berlangsung, semakin lama aku menikmati hal tersebut. Dari yang awalnya mataku terus terbuka memandangi wajah orang-orang yang terlihat samar-samar itu, sampai pada akhirnya aku memejamkan mataku, aku pasrah dengan kondisiku saat itu dan mencoba menikmati itu semua.

Sentuhan, belain, elusan, ciuman, dan bahkan mungkin jilatan, aku mencoba untuk menikmati itu semua, dan merelakannya dengan derai air mata , mengingat diriku yang tak bisa melawan, membuatku pasrah akan itu semua.

Tak lama kemudian, aku pun kembali kehilangan kesadaranku, dan kembali jatuh pingsan.

Beberapa waktu kemudian, aku kembali terbangun, kali ini aku terbangun dengan tubuh yang mulai kembali normal, meski masih sedikit terasa lemas sesekali, namun aku yakin saat itu aku telah kembali normal.

Hal pertama yang aku sadari ketika aku terbangun saat itu adalah, aku terbangun disebuah hotel yang terlihat cukup mewah dan luas. Saat itu pikiranku masih melayang-layang entah kemana, namun satu hal yang pasti aku tak pernah mengingat bahwa aku sempat mengunjungi hotel itu sebelumnya.

Lalu setelah pikiranku kembali pulih, dan normal kembali, akhirnya aku pun sadar bahwa sudah terjadi hal yang tidak beres terjadi kepadaku. Seketika dengan cepat, aku pun mengingat serpihan-serpihan kecil kejadian semalam, kejadian dimana Rian dan sekumpulan laki-laki lainya berkumpul mengelilingi diriku, berkumpul untuk bermain-main dengan tubuhku.

Dan setelah aku mengingat kejadian semalam, dengan cepat aku melihat kondisi tubuhku. Seketika aku pun langsung terkejut ketika aku melihat diriku sendiri terbangun tanpa menggunakan rok sekolahku, dan hanya menggunakan celana dalam saja. Serta seragam atasanku yang cukup lusuh dan setengah terbuka.

Kemudian dengan cepat aku sadar, bahwa hari itu aku, Silvia Saphira diumur yang masih berusia 15 tahun, aku telah kehilangan keperawananku.

Aku pun menangisi hal tersebut, air mataku mengalir tiada henti, menyesali setiap keputusanku yang membawaku berakhir seperti ini. Aku lalu menarik kedua kakiku, dan mendekup diantara kedua lututku, aku lalu menangis sejadi-jadinya saat itu.