Chereads / 4 Leaf Clover / Chapter 8 - Si Idiot Yang Menyebalkan

Chapter 8 - Si Idiot Yang Menyebalkan

POV : Silvia Sapphira

Keesokan harinya, aku datang sangat pagi, bahkan sampai-sampai pintu kelasku pun belum terbuka dan masih terkunci. Jujur saja, aku itu sangat jarang datang pagi ke sekolah, karna menurutku menunggu jam masuk sekolah itu sangatlah membosankan. Aku tidak memiliki teman untuk diajak bicara sama sekali, jadi hal yang bisa kulakukan adalah sendirian membaca buku di bangku kelas, dan tentu saja itu sangatlah membosankan.

Lalu ketika aku sedang menunggu Mang Diman (Petugas kebersihan di SMA Pancasila) membuka pintu kelasku, tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan kedatangan lelaki kurus menyedihkan yang duduk di sebelahku itu, ya... saat itu Milas datang bersamaan dengan Gaby.

Saat itu mereka berdua sedang berdebat serius seraya berjalan menuju ruang kelas.

Dan dari sudut pandangku, perdebatan itu terlihat cukup serius, masing-masing dari mereka terlihat begitu ngotot dan tidak ingin kalah dengan argumennya masing-masing. Sebenarnya aku pun tidak begitu peduli dengan hal itu, namun jauh di dalam lubuk hatiku, aku sangatlah yakin bahwa apa yang mereka debatkan pastilah sesuatu yang sangatlah tidak penting. Aku yakin itu.

Pintu pun telah dibuka, seketika aku langsung memasuki kelas, bersamaan dengan kedua orang yang masih saja berdebat argumen itu.

Berhubung aku datang terlalu pagi, alhasil aku memiliki waktu kosong sekitar 30 menit yang bisaku gunakan untuk membaca-baca buku pelajaran yang akan dipelajari hari ini. Ya... meski jujur saja, aku sudah membacanya seharian, sehari sebelumnya, akan tetapi tidak ada salahnya membacanya kembali bukan ? Karna tidak ada hal yang dirugikan dari membaca.

Dan disaat aku sedang asyik-asyiknya membaca, tiba-tiba saja manusia menyebalkan yang duduk di sebelahku itu, yang baru saja menyelesaikan debat tidak pentingnya bersama Gaby itu, menggangguku. Ia menyuruhku untuk sedikit bergeser dari tempat dudukku, yang mana saat itu aku sedang dalam posisi yang sudah sangat nyaman dengan posisi duduku itu.

Ia memegang tanganku dan menegurku. "Sil, geser dikit dong, atau majuan dikit deh..., gua gak bisa lewat nih, mau masuk." Sahutnya menyuruhku untuk bergeser.

Karna saat itu aku sedang tidak ingin mencari masalah, akhirnya aku pun mengalah. Meski pun saat itu aku sedang dalam kondisi ternyamanku, aku rela untuk bergeser sedikit guna membiarkannya masuk. Ya... jika hanya seperti ini tidak masalah. Pikirku saat itu.

Namun bukannya dia berhenti menggangguku, justru dia semakin menjadi-jadi. Dia menatapku tajam dengan penuh rasa penasaran terhadap apa yang sedang aku lakukan. "Sil, pagi-pagi udah baca buku aja lo, gak pusing apa ?" Tanyanya terheran-heran melihatku yang sangat tenangnya membaca buku pelajaran dipagi hari.

Akan tetapi, karna aku sangat malas menanggapinya, aku hanya diam, dan mengabaikannya saat itu. Aku terus melanjutkan membaca buku pelajaran yang sedangku baca saat itu.

Dan lagi-lagi, bukanya dia menyerah karna tidak aku tanggapi, justru ia terus saja mengoceh seperti burung beo yang tak ada henti-hentinya berbicara omong kosong. Ya... meski pun sejujurnya aku tidak terlalu memperhatikan apa saja yang ia ucapkan, karna aku yang sedang begitu fokusnya membaca buku, namun tetap saja, lama kelamaan itu benar-benar terasa sangat menyebalkan, dan mulai menganggu konsentrasi membacaku sedikit demi sedikit.

Aku pun sangat merasa kesal saat itu, dan tentu saja aku pun langsung memarahinya, namu karna aku sudah bertekad tidak akan berbicara kepada siapa pun, alhasil aku memarahinya melalui sebuah tulisan yang telahku tulis di secarik kertas.

Aku menulis di kertas pada bagian buku tulisku yang sebelumnya telah kusobek untuk sewaktu-waktu jika aku ingin berbicara kepada seseorang.

"Lo bisa diem gak sih ? Ganggu banget, tau gak!, kalo gak diem juga, gua buat lo lebih parah dari kemarin." Itulah kata-kata yang aku tulis, di kertas tersebut.

Yap, tulisanku memang sengajaku tulis seperti sedang mengancam, karna memang aku sedang mengancamnya. Tentu saja tujuanku agar dia tidak lagi menggangguku.

Lalu reaksi yang ditunjukan olehnya ketika membaca tulisanku pun sesuai ekspetasiku, ia terlihat begitu ketakutan menatapku seraya berkata. "Iya... iya..., santuy aja santuy."

Namun seakan tidak ada kapok-kapoknya, belum ada 3 menit, dia sudah mulai mengoceh layaknya burung beo kembali. "Oh iya Sil, lo kenapa sih suka banget mukulin orang ?, kayak tukang pukul aja!" Serunya dengan penuh senyuman diwajahnya, seakan-akan menanyakan hal sesensitif itu kepadaku adalah hal yang sangat-sangat biasa baginya.

Saat itu sebenarnya gua bener-bener dibuat kesal olehnya, karna pertanyaan seperti itu sangat sensitif untukku, terlebih dia menanyakan hal seperti itu dengan penuh senyuman, seakan-akan hal seperti itu adalah hal yang sangat wajar, yang mana itu membuatku semakin kesal dibuatnya. Akan tetapi karna aku adalah manusia yang sangat penyabar dan penyayang, aku pun berusaha sebisaku untuk tetap menghiraukannya, dan menganggapnya hanya seperti hembusan angin yang numpang lewat dikupingku saja.

Lalu karna masih terus tidak ada tanggapan dariku, dia pun terus menerus bersikeras mengajak bicara diriku, tentu saja dengan terus berbicara apa pun yang ia bisa bicarakan. "Lo ini kan cewek..., cantik pula, terus kenapa sih Sil ?"Tanyanya yang semakin penasaran dengan hal itu. Kali ini ia menanyakan itu dengan tatapan wajah yang terlihat cukup serius, yang mana ini pertama kalinya aku melihat tatapannya yang seperti itu.

Ya... meski aku bertemu dengan Milas hanya baru 2 hari, namun tetap saja, melihat dia seserius itu terasa sangat aneh bagiku.

Dan karna sudah terlalu menyebalkan aku pun pada akhirnya menyerah, mau tidak mau aku pun menanggapi ucapannya itu, yang lagi-lagi melalui sebuah tulisan di secarik kertas yang mana pada saat itu sedang dipegang olehnya.

Dan yap, aku menarik paksa kertas yang sedang dipegangnya itu, untukku gunakan kembali.

Lalu seraya menatapnya dengan tatapan tajam sebagai ancaman, aku mulai menuliskan sesuatu di kertas tersebut.

"Berisik!" Simpel, padat, dan tentu saja sangat jelas. Itulah tulisan yang aku tulis di kertas yang telah aku berikan kepada Milas.

Setelah membaca tulisan di kertas yang telahku berikan kepadanya, ia pun lalu tersenyum tipis seraya berkata. "Santai, Santai... guakan cuma nanya Sil..."

Tapi tentu saja perkataanku tak ditanggapi serius olehnya, ia lagi, lagi dan lagi, menanyakan hal yang sama kepadaku, sifatnya yang benar-benar sangat gigih dan pantang menyerah benar-benar membuatku sangat membenci dirinya.

Namun disisi lain, dengan sifat kegigihan dan pantang menyerahnya itu jugalah aku pun mulai luluh. Dan yap, pada akhirnya aku pun menjawab pertanyaannya itu. "Karna gua ngerasa puas ketika gua menghajar orang lain, jadi dari pada lo jadi korban berikutnya lebih baik lo diem aja udah!" Tulisku di secarik kertas yang telahku pakai sebelumnya.

Namun karna ada sesuatu yang ingin aku tambahkan, jadi alih-alih memberikan kertasnya kembali kepada Milas, saat itu aku lebih memilih menunjukan kertasnya saja kepada Milas, dan membuatnya membacanya secara langsung dengan cepat. Setelah aku merasa ia telah selesai membacanya, aku pun kembali mengambil pulpenku dan kembali menulis sesuatu disana. "Jadi gua saranin, lebih baik lo lanjutin lagi aja debat lo sana sama pacar lo itu, dan gua peringatin ke lo sekali lagi, jangan pernah ngajak ngomong gua lagi, atau gua buat lo nyesel udah kenal sama gua!" Tulisku di kertas tersebut. Kali ini, karna tak ada lagi hal yangku rasa perlu aku tulis, aku pun memberikan kertas itu kembali kepada Milas.

Setelah membaca tulisanku, entah kenapa tiba-tiba saja Milas mengangkat kedua tangannya. "Et..., Gaby itu bukan pacar gua tau, dia itu Cuma temen deket gua." Ucapnya berusaha menyangkal.

Lalu mendengarkan hal itu aku hanya beraksi tersenyum geli memandanginya. "Ya... masasih...." Ucapku dalam hati menanggapi ucapannya tersebut.

Dan akhirnya setelah itu, Milas pun diam. Dia mulai berhenti mengajakku berbicara lagi, ia pun lalu kemudian mengeluarkan smartphonenya itu, dari saku celananya dan memainkan smartphonenya itu.

Sedangkan aku, kembali melanjutkan bacaku yang sempat terhenti karna gangguan darinya itu. Namun entah kenapa, ditengah-tengahku membaca buku, mulai terbesit sebuah pertanyaan yang muncul di otakku begitu saja secara tiba-tiba. "Jikalau mereka tidak berpacaran, lalu hal bodoh apa sih yang sedang mereka perdebatkan sampai-sampai begitu hebohnya, bahkan sampai terlihat begitu heboh di mataku." Seperti itulah pertanyaan yang ada di pikiranku. Karna jujur saja, ketika melihat perdebatan sepanas itu, hanya perdebatan antar seorang kekasih sajalah yang bisa aku bayangkan.

Lalu yang parahnya, hal itu justru entah kenapa terus menganggu pikiranku, aku menjadi tidak bisa fokus terhadap apa yang sedangku baca saat itu, bahkan aku sampai tidak mengerti apa yang sedangku baca saat itu, yang mana sebetulnya aku sudah fasih akan semua isi buku yang sedangku baca tersebut. Pertanyaan bodoh itu selalu saja terbesit di otaku saat itu, dan itu sangat mengganggu sekali untuku.

Meski aku tau bahwa hal itu tuh tidaklah penting, akan tetapi aku pun tidak begitu mengerti mengapa itu selalu muncul di otakku begitu saja, dan karna sudah terlalu mengganggu diriku, aku pun memberanikan diri dan mengorbankan harga diriku yang tinggi ini untuk menanyakan hal itu kepadanya, namun tentu saja masih melalui sebuah tulisan.

Untuk itu aku pun menepuk pundaknya yang sedang asyik bermain smartphonenya itu, dan memintanya memberikan kertas yang ia simpan di sakunya itu, untuk diberikan lagi kepadaku.

Namun karna aku tidak berbicara dan hanya menunjukan beberapa gestur seperti meminta, ia pun pada awalnya kebingungan dan sulit mengerti apa yangku maksud, namun pada akhirnya ia pun mengerti dan memberikan kertas itu kepadaku.

Dengan wajah penuh rasa penasaran, ia menatapku yang sedang menuliskan sesuatu di secarik kertas tersebut.

"Jika kalian nggak pacaran, terus apa dong yang kalian debatin tadi pagi, bisa sampai seheboh itu pasti berhubungan dengan hubungan kalian, kan ?" Kira-kira itulah isi tulisan yangku berikan kepadanya.

Setelah mengambil kertas tersebut, Milas lalu meletakan smartphone miliknya itu di meja, dan mulai membaca isi kertasnya dengan mimik wajah datar tanpa ekspresi sama sekali. 

Dengan tatapan wajah kosong yang begitu santainya ia berkata. "Oh... itu," serunya seraya kemudian ia melirik kearah tempat duduk Gaby dan menatapnya sebentar. "Kalo itu mah, gua sama Gaby lagi debat, kalo misalkan diadain lomba lari antara Sloth sama Siput siapa yang bakalan menang diantara mereka berdua." Tambahnya seraya tersenyum lebar bangga.

Entahlah... aku benar-benar tidak habis pikir dengan manusia satu ini. Dia dan juga temannya itu bisa berdebat seheboh itu dengan topik perdebatan yang benar-benar tidak bermutu seperti itu. Ya..., tentu saja itu membuatku sungguh-sungguh menyesal sudah membuang harga diriku yang tinggi ini untuk menanyakan hal itu kepada manusia bodoh satu itu.

Aku pun hanya bisa meliriknya sinis seraya memandangnya rendah, meski pun sudahku tatap seperti itu pun, rasanya ia masih saja tidak menyadari bahwa apa yang ia katakan itu adalah sesuatu hal yang bodoh, terlebih wajah bangganya setelah mengatakan hal itu benar-benar membuatku sangat emosi, akan tetapi aku tetap saja tak ingin membuat masalah, maka dari itu, karna rasa penasaranku telah hilang, maka aku pun kembali membaca buku yang sedangku baca tersebut.

Namun sayangnya, pertanyaanku barusan membuka lagi keberanian Milas untuk mengajakku berbicara, alhasil ia pun kembali berusaha mengajakku berbicara kembali.

Milas pun mencoba mencolek-colek tanganku yang sedang memegang buku pelajaran yang cukup besar. Lalu karna itu menggangguku, aku pun pada akhirnya menoleh kearahnya, dan ketika aku menoleh kearahnya, ia tersenyum kepadaku seraya berkata. "Oh iya Sil, menurut lo, siapa yang bakal menang diantara mereka, Sloth, atau Siput ?" Tanyanya dengan begitu antusias.

Sesaat mendengarkan perkataannya itu, ingin rasanya aku berteriak tepat di depan wajahnya. "Yang bener aja bangsat, lo masih mau bahas itu, hal gak guna kayak begitu ?!"

Sumpah, kata-katanya itu baner-baner membuatku naik darah, aku benar-benar tidak habis pikir, kenapa dia menanyakan hal bodoh semacam itu, setelah mendapatkan tanggapan tatapan merendahkan dirinya dariku, Milas Scarlet... mungkin kau adalah manusia paling idiot yang pernah aku kenal, dan tentu saja kau itu sangatlah menyebalkan.

Dan itulah kesan ke tigaku terhadap dirinya. Si Idiot yang menyebalkan.

Tapi ya... balik lagi, aku tidak bisa berkata apa-apa, untuk mengucapkan huruf A saja itu tidak mungkin aku lakukan, apalagi mengatakan hal sekasar itu kepadanya.

Bukan karna aku tak ingin menyakiti perasaanya dengan kata-kata sekasar itu, akan tetapi janji terhadap diriku sendiri, yang tidak akan berbicara kepada orang lain lagi lah yang menghalangi aku untuk berbicara kepada siapapun, termasuk manusia idiot menyebalkan yang menjadi teman sebangkuku ini.

Alhasil aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku seraya menepuk jidatku, seraya berharap dia mengerti maksud dari tindakanku ini. Lalu setelah itu aku pun melanjutkan bacaku kembali.

Namun tiba-tiba saja terdengar suara bisikan yang sedikit melengking di telingaku. "Kalo gua sih pasti milih Sloth yang bakal menang...." Bisik Milas dengan penuh kebanggaan.

Aku pun terkejut mendengarkan itu, bukan karna jawaban dari Milas yang membuatku terkejut, akan tetapi lebih ke suara bisikannya yang secara tiba-tiba itulah yang membuatku terkejut.

Sumpah ini tuh sebenarnya benar-benar tidak berguna, dan tidak seharunya dijawab juga, namun entah kenapa aku justru terpancing akan hal itu, dan kembali penasaran untuk mendengarkan alasan kenapa Milas lebih memilih Sloth daripada Siput. Karna entah kenapa jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku yakin bahwa alasannya pastilah konyol dan setidaknya hal itu mungkin dapat sedikit menghiburku daripada aku harus membaca bukuku terus-terusan.

Lagi-lagi aku mengambil kertas yang Milas simpan di laci mejanya itu, dan kemudian aku pun menuliskan sesuatu di kertas itu.

"Alasannya ?" Lalu aku menatapnya tajam seraya memberikannya kertas berisikan tulisanku itu.

Lalu setelah ia membaca tulisanku itu, ia tiba-tiba saja tersenyum-senyum percaya diri sendiri. Dan ini lah hal yang benar-benar membuatku begitu kesal kepadanya, senyuman percaya dirinya yang tidak kenal tempat itulah yang paling menyebalkan dari dirinya. "Ok, biar gua kasih tau ke lo ya Sil, soalnya Sloth itu bukannya lemot, tapi cuma males aja, jadi kalo dia disemangattin sama pacar dan keluarganya, gua yakin pasti dia bakal jadi semangat dan gak males lagi, dan itu bakalan ngebuat dia bisa ngalahin Siput, bahkan Kelinci sekali pun," serunya dengan penuh percaya diri. "Sedangkan kalo siput mah udah lemot dari lahir jadi gak ketolong...." Tambahnya menegaskan kebodohannya itu.

Haduh... mendengarkan jawabannya saja sudah benar-benar membuatku menyerah untuk mengerti tentang jalan pikirannya yang sempit dan menyebalkan itu. Aku yang mendengarkan ucapan omong kosong menyebalkannya itu hanya bisa terdiam terheran-heran menatapnya, seraya bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Kok bisa ya... ada manusia dengan jalan pikir seperti itu ?!.

Lalu, jika aku pikir-pikir kembali, pantas saja dia berdebat dengan Gaby sampai seheboh itu, aku yakin pasti Gaby merasakan hal yang denganku, sekarang akhirnya aku mengerti itu semua.

Bahkan saat itu aku pun setidaknya ingin sekali berteriak. "Alasan macam apa itu bangsat !." Selain itu aku juga ingin sekali meninju wajah bangganya itu, sekali saja, aku ingin sekali meninjunya. Akan tetapi setelah aku melihatnya kembali wajahnya yang melas itu, membuatku enggan untuk meninjunya. Entah kenapa aku merasa iba kepadanya.

"Oh iya satu lagi, alasan kenapa siput gak bakal menang juga karna dia itu bawa rumahnya, makanya dia pasti kalah...." Tambahnya dengan begitu semangatnya.

Mendengarkan itu rasanya batinku ingin berteriak sekeras-kerasnya saat itu. "Sudah... Milas... sudah cukup, aku benar-benar tidak tahan lagi dengan semua perkataanmu yang benar-benar berhasil membuatku emosi."

Milas kemudian terdiam sejenak, aku tidak begitu mengerti kenapa ia tiba-tiba terdiam dan mulai menunjukan wajah sedang berpikir dengan serius.

"Eh tapi kalo misalkan Siput mau keluar dari rumahnya dan berhenti jadi anak rumahan, dia mungkin bisa ngalahin Sloth sih...." Lanjut Milas membicarakan sesuatu yang menurutku benar-benar tidak penting. Sudahlah, aku benar-benar lelah menanggapinya.

"Iya aja dah... suka suka lo aja cuk! Bodoamat... bodamat." Ucapku menjerit-jerit di dalam hati. Sumpah semua kata-katanya benar-benar membuatku kesal mendengarnya.

Tapi ya..., tanpaku sadari pecakapanku yang tidak berguna itu dengannya, adalah percakapan yang lumayan lama atau bahkan mungkin yang terlama yangku lakukan setelah hampir 3 tahun tidak pernah berinteraksi dengan orang lain, bahkan termasuk orang tuaku sendiri. Ya... meski aku hanya berbicara menggunakan sebuah tulisan dan kertas, akan tetapi itu tetap saja adalah sebuah percakapan.

Saat aku mengatakan bahwa itu adalah sebuah percakapan, maka yangku maksud itu adalah sebuah interaksi dua arah, bukan satu arah. Jadi ceramah dari Pak Ridwan atau ucapan-ucapan yang dilontarkan orang tuaku tak aku hitung, karna aku tak pernah menanggapi itu semua.

Meski percakapan yangku lakukan dengan Milas pada dasarnya adalah percakapan yang tidak berguna, dan entak kenapa meski dibuat kesal olehnya tapi justru hanya Milaslah yang berhasil mendapatkan perhatianku dan membuatku melakukan percakapan tidak berguna itu dengannya.

Mungkin... jauh didalam pikiranku aku mengetahui jawaban itu, mungkin itu semua karna Milas sama sekali tidak takut berbicara denganku, tidak seperti orang lain yang bahkan untuk menatapku saja segan.

Silvia Saphira, wanita cantik dengan sifat tempramental yang suka menghajar orang sampai masuk rumah sakit, hanya dengan desas-desus seperti itu disekolah saja sudah cukup membuatku sangat ditakuti oleh para murid.

Namun disinilah Milas, seseorang yang sudah pernahku kirim ke UKS sekolah dengan sekali pukul, dengan tanpa rasa takut ia terus mengganguku, berkali-kali aku ancam sekali pun aku rasa percuma, ia pasti akan tetap berusaha mengajakku berbicara. Mungkin itulah satu-satunya jawaban masuk akal yang dapatku temukan didalam pikiranku.

Jauh di lubuk hatiku yang terdalam, aku menyukai hal itu. Entah kenapa meski kenyataanya aku merasa kesal karna diganggu olehnya, namun disisi lain aku juga merasakan perasaan senang, seperti sesuatu hal yang telah lama hilang dalam diriku, secara tiba-tiba kembali. Sebagian dari diriku seolah berkata bahwa dia berbeda, bahwa jika itu dia maka mungkin saja. Ya... mungkin saja.

Tapi jika aku pikir-pikir kembali itu rasanya sangatlah sulit, karna rasa kecewaku terhadap orang-orang sudah pada puncaknya, sampai-sampai tidak tertolong lagi. Jadi... aku rasa harapan itu hanyalah akan menjadi sebuah harapan saja.

Jadi, yasudahlah... aku merasa semua ini akan cepat berlalu seperti biasanya, dan tidak akan pernah berubah.