POV : Silvia Sapphira
Aku pun memasuki kelas, disaat aku memasuki kelas, keadaan sudah cukup ramai. Kemudian tanpa basa- basi aku langsung menuju tempat dudukku.
Dan ketika aku sudah sampai, dan duduk, Milas langsung menegurku dengan tatapan wajah yang terlihat cukup serius jika aku perhatikan. "Oi Sil," aku yang sudah memutuskan untuk sebisa mungkin tidak terlibat lagi dengannya, berusaha untuk menghindari percakapan tersebut, maka dari itu aku mengabaikannya, dan mulai mengeluarkan buku pelajaran selanjutnya dari tasku. Namun seperti biasa, dia tidak pernah peduli dengan hal itu, dia tetap melanjutkan omongannya itu. "Gua boleh gak ngikutin lo setiap hari." Serunya dengan mimik wajah yang begitu serius.
Aku benar-benar terkejut mendengar hal tersebut, ditambah tatapan matanya yang tajam, raut wajahnya yang tidak sama sekali terlihat bercanda membuatku semakin terkejut ketika mendengarkannya berkata seperti itu.
Meski aku sangat ingin sekali mengomentari hal itu dengan berkata. "Lo bego ya ?!" Atau setidaknya dengan hanya menulisnya di kertas, akan tetapi aku harus tetap mengabaikannya, aku tidak ingin hubunganku dengannya lebih jauh dari ini. Aku tidak boleh dekat dengannya, jika aku melakukan itu, aku yakin aku akan menyesal nantinya. Maka dari itu aku pun terus diam dan mengabaikannya, bahkan aku tak memandanginya sama sekali, aku terus menatap papan tulis putih yang kosong itu.
Seperti biasa, Milas tidak ingin menyerah, mungkin baginya menyerah adalah sesuatu yang tidak pernah ada di bumi ini. Demi mendapatkan perhatian dariku, dia sengaja memegang pundakku dan menggoyang-goyangkan tubuhku layaknya anak kecil yang sedang merengek kepada orang tuanya, seraya terus berkata. "Sil, jawab Sil... jawab !" Ucapnya memaksa dengan merengek kepadaku.
Hal itu pun tentu saja langsung menimbulkan perhatian dari seluruh anak-anak di kelasku, namun karna itu menyangkut diriku, dan mereka takut kepadaku alhasil mereka hanya bisa menatapku geli seraya menahan tawa dengan cara menutup mulut mereka.
Tentu saja kecuali Gaby, dia adalah satu-satunya wanita yang berani kepadaku.
"Anjir Mil,lo ngapain ?!" serunya terkejut dengan suara yang lantang. "Mau mesum ya ?!" Lanjutnya dengan segala pikiran buruknya.
Lalu Milas kemudian melepaskan pundakku, tatapan Milas entah kenapa tiba-tiba saja berubah, ia terlihat sangat kesal, lalu ia menatap kearah Gaby seraya berteriak. "Bacod lo Gab !" teriak Milas memarahi Gaby.
"Lah... ngegas...." Sahut Gaby dari tempat duduknya.
Dengan masih dipenuhi emosi, Milas kembali memarahi Gaby. "Lagian, lo pikir apa?! Emangnya gua manusia macem apa yang mau mesum dikelas, dan diliatin banyak orang, mikir apa pake otak ?!" lalu tiba-tiba saja ekspresi Milas berubah, ia menutup mulutnya seraya tersenyum licik. "Oops, gua lupa, lo kan gak punya ?! hehehe maaf Gab." Ucapnya memulai provokasi.
Gaby yang tempramental tentu saja langsung terpancing umpan yang Milas berikan itu.
"Sialan lo Mil, ngajak gelud ?!" Sahut Gaby seraya kemudian berdiri dari kursinya dan memasang kuda-kuda tinju.
"Ayo sini maju, nanti gua mundur." Ucap Milas seraya memasang kuda-kuda lari.
Setelah itu mereka berdua bertatap-tapan dari jarak yang cukup jauh. Sementara yang lainya masih diam dan tak berani berkomentar apa pun, karna hal ini berhubungan denganku.
Setelah cukup lama mereka berdua bertatap-tatapan Gaby yang terlihat lebih waras dari Milas pun akhirnya menyerah, ia lalu mengibaskan rambutnya seraya duduk di bangkunya. "Dah lah... males."
Lalu disisi lain Milas dengan wajah menyebalkannya meledek Gaby, dengan melakukan hal yang sama persis seperti dirinya, Milas mengibaskan rambutnya yang tidak terlalu panjang itu seraya berkata. "Dah la... males."
Akibat kejadian itu, Milas seakan lupa dengan tujuannya tadi. Mungkin karna dipenuhi rasa emosi kepada Gaby, sepanjang kelas hari itu, ia tidak lagi menegurku, dia benar-benar lupa dengan itu semua.
Sejujurnya aku bersyukur dengan kejadian itu, aku jadi bisa lepas dari Milas dan tak harus berhadapan dengannya dihari itu. Atau, itulah yangku pikirkan pada awalnya, karna semenjak hari itu, Milas mulai terus mengikutiku sesuai dengan perkataanya itu. Dia benar-benar tidak melepaskanku sama- sekali.
Mulai dari belakang sekolah, kelas, perpustakaan, bahkan hingga kamar mandi sekali pun, ia tidak ragu mengikutiku sampai kesana, dia benar-benar memenuhi ucapan bodohnya itu.
Ya..., dia bahkan sampai mengikutiku ke kamar mandi. Kejadian itu adalah beberapa hari setelah dia mengucapkan omong kosongnya itu. Saat itu, aku benar-benar muak dengannya yang selalu saja mengikutiku meski aku tidak pernah berbicara kepadanya sama sekali, maka dari itu aku memutuskan untuk kabur darinya, dengan cara masuk kedalam kamar mandi wanita, dengan harapan tentu saja dia akan berhenti mengikutiku, akan tetapi sayangnya Milas tidak lah semudah itu dihindarkan, dia bagaikan sebuah peluru yang tidak bisa dihentikan.
Saat itu dia dengan wajah polosnya yang tanpa dosa itu, dengan santainya berjalan mengikutiku masuk kedalam toilet wanita yang padahal saat itu ada beberapa wanita didalamnya, yang mana tentu saja itu menimbulkan kehebohan seketika itu juga, beberapa wanita berteriak kepadanya, bahkan beberapa diantaranya ada yeng melempar benda- benda kepadanya, akan tetapi Milas tidak bergeming sama sekali, dia mengabaikan itu seperti tidak terjadi apa- apa. Lalu dengan cepat aku pun langsung masuk kedalam salah satu toilet dan menutupnya, sementara itu Milas masih terus menungguku dengan tatapan polosnya itu, aku tau dari suara teriakan cacian dan makian yang masih terdengar jelas ditelingaku pada saat itu.
Tindakannya itu benar-benar membuatku terkejut, aku benar-benar tidak habis pikir dengannya, bisa dibilang aku salut akan kebodohan serta kegigihannya itu, dia benar-benar bisa bertindak segila itu hanya demi mengikutiku. Gila ! hanya itu yang bisa aku katakan kepadanya. Namun entah kenapa lagi, lagi, lagi dan lagi hatiku tergerak, dan selalu tergerak jika menyangkut dirinya, aku yang tak tahan mendengarkan cacian yang ditunjukan kepadanya itu, langsung keluar dari toilet, lalu aku menggenggam erat tangannya dan lalu menyeretnya keluar dengan segera.
Agar terhindar dari masalah, aku menyeretnya jauh dari kamar mandi, aku menyeretnya hingga kebelakang sekolah. Setelah sampai dibelakang sekolah, aku pun melepaskan genggaman tanganku dan menatapnya tajam, seakan-akan aku berkata. "Apa-apaan sih lo bodoh !"
Lalu dengan penuh senyuman dia mengeluarkan handphonenya dari saku celananya itu. "Nih, lo mau ngomong sesuatu kan ?" Ucapnya seraya menyodorkan handphonenya kepadaku. "Lo bisa pake hp gua buat nulis sesuatu yang mau lo omongin, gak apa-apa tenang aja, gak ada yang liat."
Sebetulnya saat itu aku benar-benar sebisa mungkin untuk tidak berhubungan dengannya lagi, namun entah kenapa saat itu aku tidak dapat menahan emosiku kepadanya. Dengan cepat aku mengambil handphonenya tersebut dan menuliskan sesuatu kepadanya.
"Kenapa lo lakuin hal segila itu sih ?!" Tulisku yang kemudian aku tunjukan kepadanya.
Milas lalu menghela nafasnya dan berkata.
"Seperti yang gua bilang kemarin Sil, gua akan selalu ngikutin lo." Dengan penuh emosi yang meluap-luap sesegera mungkin aku menuliskan lagi sesuatu yang saat itu sangat menggangu pikiranku.
"Kenapa, kenapa lo mau ngikutin gua terus ?!"
Lalu dengan senyuman kesedihan Milas berkata. "Karna gua gak mau lo selalu sendirian Sil," ucapnya yan membuatku jantungku seketika berdebar-debar, aku benar-benar tidak menduga ia akan mengucapakan kata-kata semanis itu, seorang idiot seperti Milas, mengatakan hal seperti itu, benar-benar tak terpikirkan olehku.
"Seenggaknya disekolah gua pengen lo tau kalo lo itu gak sendirian Sil, seengaknya lo punya gua sebagai teman lo Sil."
Seketika pikiranku campur aduk ketika Milas berkata seperti itu, lalu karna aku tidak tau harus berkata apa, aku pun lalu memilih kabur darinya seraya tanpa sadar aku pergi membawa handphonenya itu bersamaku.
Saat itu aku berlari menuju tempat sepi yang tidak jauh dari belakang sekolah. Air mataku tiba-tiba saja mengalir begitu saja.
Seraya menyandarkan diriku pada tembok yang berada disana, aku pun mengeluh seraya berteriak. "Kenapa sih, kenapa dia selalu seperti itu, kenapa dia selalu ramah kepadaku meski aku sudah berkali-kali kasar kepadanya, kenapa dia mempedulikanku meski pada kenyataanya dia bukan siapa-siapa, kenapa dia tidak pernah takut kepadaku, aku yang seorang yang dijuluki iblis cantik ini, kenapa, kenapa dia seperti itu, aku benar-benar tidak mengerti."
Teriakanku pada hari itu adalah perkataan pertama yang bersuara dari diriku setelah selama hampir 3 tahun aku tidak pernah mengeluarkan suaraku sama sekali meski hanya didalam kamarku sendiri, bahkan aku sendiri saja sudah lupa dengan suaraku ini.
Mungkin itu karna perasaanku yang meluap-luap saat itu, sehingga aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri.
Pada dasarnya jauh didalam lubuk hatiku, aku sangat ingin berteman dengan siapapun, termasuk Milas sekali pun, akan tetapi masa laluku yang kelam membuatku tidak bisa mempercayai siapapun kecuali diriku sendiri, maka dari itu ketika Milas berkata semanis itu kepadaku tiba-tiba saja aku teringat tentang Rian, orang yang pernah menjadi teman terdekatku.
Terlebih Milas mirip dengannya, terlepas dari wajahnya serta sifatnya yang jauh berbeda, akan tetapi cara Milas memperlakukanku mengingatkanku akan Rian saat aku dengannya pertamakali bertemu. Dia baik, perhatian, mudah bergaul dengan orang-orang dan yang paling menonjol adalah sifat keras kepalanya, Milas sangat keras kepala jika dia sudah memutuskan akan sesuatu dia tidak akan pernah menyerah sampai ia mendapatkan itu, hal itu lah yang membuat Milas terlihat seperti Rian dimataku.
Saat itu aku berdoa kepada tuhan, siapa pun itu tuhannya aku tidak peduli, jika memang ada aku ingin kabulkan doaku untuk kali ini saja, tidak perlu ada hujan meteor, tidak perlu membuatku tidak pernah dilahirkan, tidak perlu membuatku menghilang dari muka bumi ini, cukup dengan jauhkan aku dari Milas, itu saja.
Aku menghapus air mataku menggunakan tanganku, seraya kemudian pergi berjalan menuju kelas.
Setelah itu, seakan-akan doaku terkabulkan, aku mendengar informasi bahwa Milas dipanggil oleh guru BK karna berita tentang dirinya yang masuk kedalam kamar mandi wanita sudah tersebar disekolah ini dan sampai ditelinga para guru.
Meski pikiranku berkata bersyukur, akan tetapi entah mengapa hatiku merasa bahwa ini adalah sebuah kesalahan, bahwa aku tidak ingin ini terjadi, bahkan setelah itu aku terus berpikir, apa yang akan terjadi kepadanya setelah masa skorsingnya berakhir, apakah dia akan tetap menegurku seperti biasanya, atau bahkan mungkin ia dendam kepadaku, memikirkan hal tersebut semakin membuatku pusing, apa pun jawabannya tetap tidak akan ada kebahagian yang datang kepadaku.
Sejujurnya aku cukup terkejut dengan Gaby dan Novi yang tidak beraksi sama sekali terhadap kejadian diskorsnya Milas ini, karna biasanya Gaby begitu sensitif dengan apa yang terjadi dengan sahabatnya itu. Karna Gaby tidak sama sekali menghampiriku itu artinya Gaby tidak tau bahwa aku berhubungan dengan diskorsnya Milas, itu artinya Milas tidak menceritakan tentang diriku sama sekali.
Hari itu aku benar-benar merasa kesepian, hari itu aku benar-benar seperti kehilangan sesuatu. Tak ada ocehan tidak berguna dari Milas, tidak ada orang yang mengganguku belajar dikala tidak ada guru, tidak ada orang yang tidur di sampingku ketika pelajaran sedang berlangsung. Entah mengapa sesaat aku sadar, tanpa kehadirannya meski hanya sebentar saja begitu sepi rasanya.
Seakan-akan dunia menyadarkanku saat itu, bahwa aku sendirian di dunia yang besar ini.