POV : Silvia Sapphira
Sepanjang perjalanan aku dan Milas tidak berbicara sama sekali, dan ini diluar perkiraanku, aku pikir dia akan banyak berbicara akan tetapi nyatanya ia hanya diam dan fokus mengendarai motornya. Sementara itu aku yang duduk dibelakangnya justru tak bisa fokus akan diriku, aku tak ada henti-hentinya berulang-ulang kali melihat kearah kaca spion guna bisa melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Aku bahkan sempat tersenyum ketika memandanginya tanpa kusadari.
Saat itu pikiranku dipenuhi dengan semua pertanyaanku tentang dirinya. Seperti apa sebenarnya tujuannya, apa dia benar-benar orang yan baik, apa aku bisa mempercayainya, apa dia berbeda dengan orang lain. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap sekali muncul dipikiranku saat aku diboncengi olehnya, sampai pada akhirnya disadari oleh sebuah teguran dari dirinya sendiri.
"Oi Silv, ini ngomong-ngomong rumah lo dimana dah," ucapnya kebingungan. "Ini dari tadi gua jalannya muter-muter keliling komplek sekolahan aja, soalnya gua gak tau rumah lo, dan udah gitu lo diem aja kayak patung dari tadi, gua bingung Silv !" Ucapnya geregetan.
Dan saat itu barulah aku sadar, bahwa aku sedari tadi sama sekali belum memberi tahunya dimana rumahku sebenarnya. Tentu saja hal itu membuatku tertawa lepas bukan main. "Hahaha, maaf, maaf gua lupa." Ucapku seraya tertawa lepas.
Lalu dengan wajah kesal seperti anak kecil yang sedang merajuk ia pun berkata. "Malah ketawa lo bangsat , cepetan kasih tau, ini gua udah mau lap ke 3 nih, bentar lagi finis nih, haduh... udah kayak ikut moto gp gua anying !" Keluhnya seraya merajuk seperti anak kecil.
Lagi-lagi rajukannya itu berhasil membuatku tertawa lepas untuk yang kedua kalinya. "Okey, okey, rumah gua di Blue Garden, lo tau Blue Garden kan ?" Ucapku seraya mencoba sebisaku menahan tawa.
"Hadeh... bilang dong dari tadi, kan enak kalo gini," serunya merasa lega. "Tau gua itu, gak jauh dari rumahnya Novi." Tambahnya.
"Hehehe maaf." Balasku dengan merasa bersalah.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya kami berdua pun sampai di Komplek Blue Garden, bahkan ia mengantarku pulang sampai depan rumahku.
Aku pun lalu turun dari motornya, dan memberikan helmnya seraya berterimakasih kepadanya. "Thanks ya, udah mau nganterin."
Milas pun menerima helmnya, dan mencatolkannya di motornya. "Gak usah bilang makasih Silv, inget, Simbiosis Mutualisme."
Lagi-lagi aku tertawa dibuatnya. "Iya, iya." Seruku seraya tersenyum menahan tawa.
"Oh iya satu lagi, jangan lupa minta maaf." Ucapnya dengan tatapan serius.
Aku pun membalasnya dengan senyuman tulusku kepadanya. "Sekali lagi thanks ya."
Bukannya senang justru itu membuatnya merasa kesal. "Udah gua bilangin kan gak usah, inget, Simbiosis Mutualisme !" serunya kesal. "Dah lah..., gua belakangan ya Silv, bye." Ucapnya seraya kemudian pergi meninggalkanku.
"Bye." Seruku dari kejauhan seraya melambaikan tangan kepadanya yang sudah pergi cukup jauh dariku.
Dan kini aku sendirian berada didepan rumahku. Tak pernah terasa seberat ini untuk memasuki rumahku sendiri, langkah kakiku seakan terhenti, berat rasanya untuk menggerakkan kakiku saat itu. Lalu guna menenangkan diri, aku menghelakan nafasku sejenak. Setelah itu meski tidak terlalu berpengaruh akan tetapi, setidaknya aku dapat menggerakkan kakiku.
Gugup, takut, dan panik. Itulah perasaan yang aku rasakan kala itu. Sesampainya didepan rumahku, aku bahkan ingin berlari saja dan melupakan semua tujuanku pulang kerumah saat itu. Akan tetapi kata-kata Milas beberapa menit sebelumnya benar-benar masuk kedalam hati dan pikiranku, membuatku memberanikan diri untuk masuk kedalam rumahku.
Aku pun lalu masuk kedalam rumah.
Setelah masuk, hal yang pertama aku lakukan adalah mencari Ibuku, yang mana saat itu aku tau pasti ibuku sedang beristirahat didalam kamarnya. Jadi tanpa pikir panjang aku pun langsung pergi dan masuk kedalam kamar ibuku.
Dan ternyata benar dugaanku, ibuku saat itu sedang berada didalam kamar dan sedang menonton televisi didalam kamarnya.
Melihatku yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya disaat masih jam sekolah berlangsung, tentu saja membuat ibuku terkejut bukan main.
"Silvia, kamu kenapa ada disini nak ?!"
Air mataku seketika langsung mengalir membasahi pipiku, sepertinya aku tidak bisa menahan tangisanku ketika melihat ibuku saat itu. "Maafin Silvi bu." Ucapku seraya berusaha sebisa mungkin menghapus air mataku yang terus mengalir jatuh kelantai serta pipiku itu.
Tentu saja hal itu semakin membuat ibuku semakin terkejut, selain karna aku yang tiba-tiba ada di rumah disaat jam sekolah masih berlangsung, aku yang tiba-tiba berbicara dihadapannya, ditambah kata-kata pertamaku setelah hampir selama 3 tahun tidak pernah berbicara kepadanya adalah sebuah permintaan maaf, benar-benar sudah sangat cukup membuat ibuku tidak bisa berkata apa-apa lagi saat itu. Ibuku hanya bisa menangis dan berlari menghampiriku, lalu ia pun sesegera mungkin memeluk erat diriku yang saat itu sedang berusaha menahan tangis.
"Silvi minta maaf bu." Ucapku kembali mengulang permintaan maafku dengan terbata-bata karna isak tangisku sendiri.
Hal itu semakin membuat ibuku memeluk erat diriku, dengan keadaan panik ibuku pun berusaha mencari tau alasanku yang tiba-tiba saja datang dan meminta maaf kepadanya itu. "Ya tahun, kamu kenapa ?" Tanya ibuku panik.
Tanpa menggubris pertanyaan ibuku, aku yang telah jauh terbawa emosi pun lalu berusaha mencoba melepas pelukan erat ibuku, setelah berhasil aku lalu bersujud dikaki ibuku dan untuk yang terakhir kalinya, aku menyebutkan kata-kata permintaan maaf kembali. "Silvi minta maaf bu, Silvi sadar Silvi salah, maafin Silvi bu...."
Lalu perlahan ibuku pun mulai memasang wajah cemas, ia nampaknya benar-benar sangat mengkhawatirkan anak sematawayangnya ini. Ibuku lalu mendirikanku dari sujudku lalu kembali memeluk erat diriku, dan dengan perlahan seraya menangis , ibuku kembali bertanya kepadaku. "Iya, kamu kenapa Vi, jangan bikin ibu takut, kamu kenapa lagi ?" Tanya ibuku menangis peduli.
Aku lalu mengangkat wajahku, dan memberanikan diri menatap wajah ibuku yang sedang menangis karna diriku ini. "Maafin Silvi bu, Silvi selama ini udah ngebuat ibu khawatir, selama ini Silvi udah ngerepotin ayah sama ibu, Silvi juga udah salah dengan gak berbicara selama ini sama ibu dan ayah, Silvi sadar Silvi salah bu." Ucapku berusaha menjelaskan seraya menghapus air mataku.
Lalu seraya masih menangis ibuku pun tersenyum kepadaku, yang mana itu bertujuan untuk menenangkan diriku saat itu. "Sebagai orang tua kamu, ibu selalu maafin kamu Vi, apa pun yang kamu lakuin, sebelum kamu minta maaf, ibu pasti sudah maafin kamu Vi," ucap Ibuku seraya kemudian membantuku menghapus air mataku yang terus saja mengalir tanpa henti. "Begitupula dengan ayahmu, kami pasti maafin kamu Vi, jadi gak perlu sedih, ibu sama ayah akan selalu menyayangimu nak." Tambah Ibuku seraya tersenyum lebar menatapku.
Setelah perkataan ibuku itu, hatiku cukup merasa tenang, rasa bersalah yang selama ini menusuk didadaku seketika hilang. "Makasih bu." Seruku bahagia.
Kemudian tiba-tiba ibuku mulai mengusap-usap kepalaku seperti dulu, saat aku masih kecil. "Sekarang yang terpenting kamu itu kenapa, kenapa kamu tiba-tiba nangis dan dateng ke ibu lalu minta maaf seperti ini, coba cerita ke ibu."
Aku pun lalu hanya bisa menggelengkan kepalaku tanpa bisa berkata-kata lebih lagi, lalu aku pun memeluk erat ibuku seraya berkata. "Gak apa-apa bu, Silvi gak apa-apa."
Hal itu malah membuat perasaan sedihku kembali, karna aku merasa seperti membuat ibuku terlalu mengkhawatirkan diriku. Disisi lain aku juga pada akhirnya sadar, bahwa begitu besarnya cinta kedua orang tuaku kepadaku, membuatku begitu malu kepada diriku sendiri atas apa yang telah aku lakukan kepada ibu serta ayahku, aku yakin mereka kecewa kepadaku atas tindakan yang telah aku perbuat. Namun mulai hari itu, aku berjanji pada diriku untuk sebisa mungkin membahagiakan mereka, mereka yang selalu menyayangiku, mereka kedua orang tuaku.
Lalu seraya memeluk erat ibuku, aku pun mulai menangis kembali, tangisanku kali ini bahkan lebih besar dari yang sebelumnya. Aku bahkan menangis layaknya seorang bayi yang menginginkan popoknya diganti segera.
Aku tau betul bahwa aku juga harus berterimakasih kepada Milas, karna berkat dialah sekenario ini bisa terjadi. Terimakasih Milas Scarlett, manusia aneh yang tiba-tiba datang kedalam hidupku dan membukakan pandanganku akan kasih sayang kedua orang tuaku. Sekali lagi aku ucapkan terimakasih.
Sesampainya Ayahku dirumah, aku pun langsung melakukan hal yang sama kepadanya sama seperti apa yang aku lakukan kepada Ibuku. Tentu saja ekspresi yang ayah tunjukan tidak jauh berbeda dengan yang ibu tunjukan. Ayahku bahkan sempat menangis bahagia dan sekaligus lega karna telah melihat putri kesayangannya ini kembali berbicara kepadanya lagi. Ia bahkan sempat berpikir bahwa alasan aku tidak berbicara sama sekali adalah karna salahnya, yang memarahiku terlalu berlebihan.
Ya... meski tidak sepenuhnya benar, akan tetapi bisa dikatakan ayahku tidak salah juga beranggapan seperti itu. Dan perasaan rasa bersalah ayahku itu semakin membuatku merasa seperti orang idiot yang telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Maka dari itu, pada hari itu selain aku berjanji untuk membahagiakan mereka yang menyayangiku, aku juga berjanji tidak akan lagi melakukan mogok berbicara kepada siapa pun. Karna aku sadar bahwa itu adalah suatu hal yang paling bodoh yang telah aku lakukan.
Bukan karna aku telah dikhianati oleh banyak orang, itu berarti aku tidak bisa mempercayai orang lain lagi. Dari Milas aku belajar, bahwa tidak semua orang sama, tidak semua orang jahat, sama seperti apa yang Milas katakan sebelumnya. "Every story have two side point of view."
Mulai hari itu aku memtuskan untuk membuang semua janji bodohku yang terdahulu, termasuk dengan dendamku terhadap Rian beserta teman-temannya itu, dan berusaha untu menjalankan hidup normal. Ya... aku yakin, aku pun berhak untuk itu.
Setelah itu semua berakhir, kami sekeluarga pun akhirnya makan bersama bertiga dimeja makan. Makan malam kami kali ini benar-benar terasa sangat berbeda dari makan malam yang sebelumnya. Meski kami hanya makan dengan makanan seadanya karna tak sempat belanja tapi rasa masakan kala itu lebih dari restoran bintang lima kala itu. Ternyata benar apa kata orang-orang, makan bersama tercinta itu lebih nikmat dari pada masakan apa pun.
Tidak lama setelah aku dan keluargaku makan bersama, tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan kedatangan Milas ke rumahku. Pada awalnya bibiku yang keluar buat mengecek siapa tamu yang datang disaat malam hari seperti itu. Karna hampir tidak pernah kami kedatangan tamu dimalam hari.
Lalu ketika bibiku bilang bahwa yang datang adalah temanku, ibu dan ayahku tentu saja langsung terheran-heran dan was-was tentunya, terlebih baru saja kami bisa kembali menjadi keluarga seutuhnya, tentu saja pastinya ayah dan ibuku terlihat begitu mengkhawatirkanku.
Awalanya mereka melarangku untuk datang menemui tamu tersebut, dan menyuruh bibi untuk menyuruh Milas pulang, tapi karna cuma Milas satu-satunya orang yang mungkin mengetahui rumahku ini, maka membuatku yakin bahwa orang itu adalah Milas. Dan karna aku yakin dia adalah Milas, aku pun berusaha meyakinkan kedua orang tuaku bahwa tidak akan terjadi apa-apa kepadaku. Dan setelah aku jelaskan seperti itu, orang tuaku yang tidak ingin mengulang kesalahan mereka, mereka pun mengizinkanku untuk menemui tamuku itu. Lalu setelah mendapatkan izin, aku pun sesegera mungkin menemui orang yang aku yakini sebagai Milas itu dengan penuh kebahagiaan.
Meski aku yakin itu adalah Milas, akan tetapi ada satu hal yang aku tidak mengerti, yaitu untuk apa ia datang kerumahku dimalam hari seperti ini. Beberapa kali aku mencoba pikirkan itu, tak pernah bisa terbayang alasan apa pun itu. Karna Milas itu sangat-sangat sulit untuk bisa diprediksi.
Setelah mendapatkan izin dari kedua orangtuaku , aku lalu segera menghampiri Milas yang sedang menungguku dari balik gerbang rumahku. Aku pun lalu perlahan membuka gerbang rumahku yang cukup besar itu, dan ketika gerbang rumahku itu aku buka, barulah terlihat sosok Milas yang sedang terdiam memandangi jalan depan rumahku itu.
"Milas !," seruku terkejut melihat sosoknya. Milas pun kemudian membalikkan badannya dan menoleh kearahku. "Ngapain Lo malam-malam kesini ?" Tanyaku heran sekaligus penasaran.
Ia pun lalu menjulurkan tangan kanannya yang sedang memegangi sebuah paper bag itu dan kemudian memberikannya kepadaku. "Gua cuma mau ngasih ini kok." Ucapnya dengan tanpa ekspresi.
Tanpa basa-basi aku pun lalu menerima paper bag pemberian Milas itu. "Apaan nih ?"
"Kepo." Ucapnya singkat.
Aku yang penasaran pun, tanpa memperdulikannya langsung membuka isi paper bag tersebut, yang mana ternyata didalamnya ada sebuah kontak makan yang berisikan beberapa potong brownies.
Dengan berat hati aku pun melirik jijik kearah kotak makan berisi brownies tersebut. "Buatan Gaby lagi nih ?!" Ucapku dengan perasaan jijik serta takut.
Seketika, Milas pun lalu tertawa lepas. "Hahaha, sorry untuk yang tadi siang," ucapnya dengan tulus. "Justru brownies itu gua kasih buat Lo, sebagai ucapan permintaan maaf gua karna udah ngasih Lo racun tadi siang." Tambahnya dengan nada bercanda.
Aku yang masih curiga dengan brownies itu pun masih terus memandangi kotak makan itu dengan penuh kecurigaan. Milas yang melihat itu pun langsung berkata. "Tenang aja Silv, itu buatan tangan gua langsung kok, jadi aman," serunya meyakinkanku. "Dan untuk rasa, karna itu gua yang buat, jadi gua yakin dengan itu." Ucapnya dengan begitu percaya dirinya.
Gua pun lalu tersenyum bahagia menatapnya seraya berkata. "Bilang makasih gak nih ?!" Ucapku dengan nada bercanda.
Dan ternyata, candaanku itu cukup untuk membuatnya terhibur, Milas pun tersenyum tipis seraya membalas candaanku. "Nanti aja, kalo beneran emang enak hehehe."
Aku kemudian mengangkat kedua alis mataku, seraya menatapnya tajam serta tersenyum menggodanya. "Kalo ternyata gak enak gimana ?" Ucapku menggodanya.
Ia pun lalu tersenyum cengengesan. "Kalo gak enak, ya... berarti itu buatan Gaby, Silv." Balasnya dengan segala akal cerdiknya
Hal itu pun berhasil membuatku tersenyum lebar.
Setelah selesai memberikanku brownies tersebut, Milas pun kemudian pamit untuk pulang. Sebetulnya itu agak membuatku sedikit sedih, ingin rasanya aku menceritakan kebahagiaanku saat itu kepadanya, ingin sekali aku cerita kepadanya hubunganku kini dengan kedua orangtuaku, ingin rasanya aku berterimakasih kepadanya. Tapi ya..., meski dia seperti jelangkung yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar tapi aku sudah sangat senang dengan kehadirannya yang meski hanya sebentar saja itu.
Dan omong-omong dia datang menggunakan motor matic kesayangan miliknya itu, ia datang menggunakan Hoodie berwarna hitam serta celana jeans biru laut. Jika aku boleh jujur, ia terlihat sangat berbeda saat ketika ia menggunakan pakaian sekolahnya itu, dan tentu saja dalam artian yang baik.
Namun tiba-tiba saja ketika malam tiba, disaat aku sedang asyik-asyiknya belajar dengan setumpuk buku-buku daftar bacaanku, tiba-tiba saja bibi datang mengetuk pintu kamarku dan mengatakan bahwa ada seseorang yang menelpon kerumahku dan mencariku, dan tentu saja aku bingung dan menanyakan kembali kepada bibi, apakah benar orang tersebut mencariku, dan ketika bibi bilang bahwa itu dari seseorang yang bernama Milas, aku pun langsung sesegera mungkin melesat bagaikan sambaran petir, menuju telpon rumahku.
Dan ketika sudah berada disana aku pun segera mengambil gagang telpon rumah milikku itu dan mendekatkannya ke telingaku. "Halo ?" Ucapku memastikan apakah telepon itu masih tersambung atau tidak.
"1..., 2..., 3... Milas ganteng disini, ganti." Sahutnya membalasku.
"4..., 5..., 6... Silvia Sapphira disini ganti." Ucapku meladeni permainan katanya itu.
Lalu kemudian terdengarlah suara tawa cengengesan darinya. "Hehehe, keren, keren," ucapnya memujiku. "Oh iya Silv, ngomong-ngomong gimana tadi, lancar ?" Tanyanya dengan nada yang terdengar cukup serius.
Dan ketika aku mendengar nada suara serius seperti itu seketika itu juga aku langsung tau, bahwa yang Milas maksud adalah masalah permintaan maafku kepada kedua orangtuaku.
Lalu dengan tersenyum tersipu malu aku pun menjawab. "Lancar." Jawabku singkat padat dan jelas.
"Syukurlah."
Kemudian seperti biasa, kami berdua kehabisan topik pembicaraan, suasana pun untuk beberapa saat sempat menjadi hening, sebelum akhirnya Milas menanyakan perihal brownies miliknya itu. "Gimana browniesnya, aman ?"
Karna aku yang belum sempat untuk memakan brownies itu dikarenakan perutku yang sebenarnya sudah kenyang karena baru saja selesai makan malam, aku pun mengatakan yang sejujurnya kepadanya. "Belom tau, belom gua coba, tapi nanti pasti gua coba."
Lalu terdengar sedikit desit tawa dari Milas. "Ingat Silv, kalo nanti Lo kenapa-kenapa, itu berarti dari Gaby ya." Ucapnya bercanda.
"Iya, iya."
"Yaudah kalo gitu, bye...." Ucapnya seraya menutup telponnya secara tiba-tiba.
Tentu saja itu membuatku terkejut, selain karna ia tiba-tiba menelponku malam-malam seperti ini, ia juga dengan tiba-tiba menutup telponnya seperti itu, dia benar-benar layak jelangkung.
Setelah ia menutup telponnya itu, aku pun segera balik ke dalam kamarku, dan melanjutkan belajarku. Namun ketika aku sedang ingin melanjutkan belajarku, aku dibuat tidak bisa fokus dengan kotak makan berisi brownies pemberian Milas itu, aku benar-benar penasaran dengan rasa brownies buatannya itu.
Meski saat itu perutku masih terasa kenyang, namun rasa penasaranku pada akhirnya mengalahkan itu. Aku pun langsung membuka kotak makan itu dan tanpa pikir panjang lagi langsung memakan brownies itu.
Dan aku cukup terkejut dengan rasanya yang ternyata jauh dari ekspetasiku. Karna aku pikir, itu tak akan seenak brownies yang biasa aku makan, tapi ternyata kenyataan itu bahkan lebih enak daripada brownies yang biasa aku beli di toko. Rasanya benar-benar enak, dan tak bisaku gambarkan betapa lezatnya brownies itu. Aku bahkan tak pernah bisa membayangkan bagaimana bisa seseorang seperti Milas bisa membuat brownies seenak ini. Benar-benar diluar ekspektasi.
Lalu kemudian yang awalnya aku hanya berniat mencicipinya, karna rasanya yang begitu enak, aku pun tak sadar bahwa telah menghabiskan semua brownies yang ada didalam kotak makanan tersebut.
Aku pun lalu tersenyum seraya tertawa menatap langit-langit kamarku. "Aku benar-benar kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan tentang dirimu Milas." Gumamku seraya mentap langit-langit kamarku.
Lalu disaat aku ingin merapihkan kotak makan itu, ternyata ada sebuah lipatan kertas yang ternyata ia sematkan didalam paper bag.
Tentu saja itu membuatku begitu penasaran dengan isi dari selembar kertas yang ia lipat itu. Lalu aku pun segera membuka lipatan kertas itu yang mana ternyata itu merupakan sebuah surat dari Milas yang berisi seperti ini. "P.S Besok lo bawa bekel lagi kan ? kalo jawabannya iya, buatin buat gua sekalian ya... ini tempat makannya udah gua siapin, dan kalo jawabannya gak, balikin Tupperware gua ya njer, itu punya ibu gua soalnya, kalo gak balik, auto coret KK soalnya, sekian dariku temanya Batman, terimakasih."
Kira kira seperti itulah isi pesan yang tertulis di selembar kertas yang ia sengaja tinggalkan didalam paper bag tersebut.
Dan itu seketika membuatku tersenyum-senyum sendiri seraya memegangi kotak makan yang audah tidak ada isinya itu, aku sangat bahagia saat itu, begitu bahagianya diriku, sampai-sampai aku tertidur seraya sedang memegangi kotak makan miliknya itu.
Saat itu aku mulai berfikir, jikalau Milas mungkin adalah orang yang berbeda dari orang-orang lain yang hidup di dunia ini. Dari mukanya saja sudah cukup ketahuan bukan, kalo dia itu unique. Mahkluk langka!.
Dia itu menyebalkan namun juga menyenangkan. Aneh, tapi itulah yang terjadi.
Kalian tidak perlu mengerti apa yang aku maksud, karena aku sendiri pun juga tidak tau kenapa bisa begitu dan tidak pernah bisa mengerti akan hal itu.