POV : Silvia Sapphira
Bel pulang sekolah pun berbunyi pertanda waktunya pulang sekolah. Ya... tentu saja kalian sudah tau hal itu bukan, akan tetapi aku tetap akan menerangkan hal itu kepada kalian, sebagai informasi sedikit saja, jaga-jaga jika ada yang tidak mengetahui hal itu.
Hari itu ayahku tidak datang menjemput, aku diberitahukan oleh Pak Ridwan akan hal itu. Karna handphone milikku mati, akhirnya Pak Ridwan lah yang dikabarkan oleh ayahku tentang dirinya yang sedang sibuk dan tak bisa menjemputku itu.
Karna hari itu ayahku tidak menjemputku, itu artinya aku harus pulang sendiri dengan kendaraan umum. Ini bukanlah yang pertama kalinya, ayahku cukup sering tidak bisa menjemputku karna pekerjaannya yang super sibuk itu. Ya... jujur saja, sebenarnya aku tidak terlalu peduli akan hal itu, mau dia menjemputku atau tidak, itu sama saja bagiku, tak ada bedanya.
Biasanya jika ayahku tidak bisa menjemputku, sesekali aku pergi ke lapangan basket untuk melihat permainan tim basket SMAku itu. Aku cukup menyukai basket, sewaktu kecil aku cukup sering memainkannya, dan perlu aku akui bahwa aku cukup terampil daam bidang itu. Namun karna pada hari itu tim basket tidak ada jadwal latihan atau pun tanding, akhirnya aku pun menuju tempat favorit keduaku disekolah ini, yaitu atap sekolah.
Tempat itu menjadi tempat favoritku karna aku cukup sering kesana, aku sering kesana bukan untuk membetulkan atap sekolah, atau pun menservis kipas AC sekolah, melainkan untuk mencari angin, ya... hanya untuk itu, hanya untuk mencari udara segar serta ketenangan yang jarang sekali bisa aku dapatkan disekolah ini. Selain itu juga, disana biasanya juga menjadi tempatku untuk merenung.
Sesampainya disana aku langsung disambut dengan angin sepoi-sepoi yang membuat rambut hitam panjangku berkibas kesana-kemari. Selain angin yang sepoi-sepoi, langit biru cerah tanpa awan mendung juga langsung tersaji kan seketika itu juga. Belum lagi angin yang terbilang cukup kencang saat itu membuat suara berisik dari getaran pagar besi yang sudah cukup usang terdengar begitu jelas dikupingku sekaligus, menemani siang hariku.
Lalu aku berdiri tepat didepan pagar besi yang usang itu, seraya memandangi pagar besi yang bergetar itu. Saat itu aku kembali merenungkan diriku sendiri, aku bertanya-tanya didalam pikiranku, kenapa aku begitu sensitif belakangan ini, kenapa aku tidak bisa mengontrol diriku, semakin aku memikirkannya semakin membuatku pusing, lagipula berapa kali pun aku bertanya kepada bumi ini, tak akan pernah ada jawabannya.
Tak lama kemudian angin pun berhenti berhembus, suara bising dari pagar usang itu pun tak lagi terdengar, aku perlahan melangkah maju ke depan mendekati pagar besi usang itu, lalu dari atas atap sekolah ini, aku dapat melihat banyak murid sekolahku, aku memandangi mereka dengan wajah penuh kecemburuan. "Enak ya... jadi mereka, bisa hidup normal, bisa tertawa, sedih, marah dan juga malu-malu, sedangkan aku hanya bisa merasakan kesedihan, seandainya aku ini mereka." Pikirku seraya menatap para murid SMAku yang sedang berkumpul bersama.
Dari atap sekolah ini, aku bisa melihat semuanya, aku bisa melihat orang yang sedang nongkrong bercanda ria, aku bisa melihat murid yang sedang mengerjai murid lainya, aku juga bisa melihat orang yang sedang berdua-duaan pacaran ditempat sepi, bahkan aku juga bisa melihat orang yang sedang berguling-guling di lapangan akibat menahan rasa sakit di perutnya.
Saat melihat mereka, sesekali aku membayangkan diriku berada diposisi mereka. Aku membayangkan jika aku bisa nongkrong bercanda ria pasti akan sangat menyenangkan, bahkan dengan hanya membayangkannya saja bisa membuat wajahku tersenyum seketika itu juga.
Selain itu aku juga membayangkan diriku dikerjai oleh murid lain, sama seperti orang yang aku lihat tadi, jika itu aku, pastinya aku akan langsung menghajarnya dan membuatnya menyesal, membayangkan itu membuatku seketika tertawa. Lalu aku juga sempat membayangkan jika aku berpacaran, akankah aku melakukan hal mesra ditempat sepi seperti orang yangku lihat tadi lakukan, dan tentunya aku juga membayangkan jika aku memiliki seseorang yang selalu ada untukku dan selalu mengucapkan kata-kata manis untukku, pastinya hidupku akan sangat bahagia. Namun ketika aku membayangkan itu, air mataku tiba-tiba saja mengalir tanpaku sadari.
Meski pun itu hanyalah sebuah khayalan belaka saja, akan tetapi untuk sesaat aku bisa merasakan kebahagiaan itu, sampai pada saat akhirnya aku berpikir, apakah aku berhak untuk mendapatkan kebahagiaan, apa tidak apa-apa jika aku bahagia, apakah aku boleh mendapatkan itu semua, bolehkah aku merasakan sedikit saja kebahagiaan dihidupku ini ? lalu ketika aku menyadari kenyataan bahwa semua kebahagiaanku itu hanya akan menjadi sebuah khayalan belaka, aku benar-benar sudah tidak dapat lagi menahan air mataku, air mataku terus mengalir meski aku tidak bisa mengeluarkan suara tangisanku sedikit pun.
Lalu disaat aku bersedih, aku memikirkan kembali tentang orang yang terakhirku lihat, orang yang sedang berguling-guling di lapangan akibat sakit perut yang dialaminya, aku pun lalu membayangkan menjadi dirinya, dan ketika aku membayangkan menjadi dirinya, seketika aku tertawa seraya masih mataku masih tetap mengeluarkan air mata, lalu aku berteriak. "Syukurlah ini hanya sebuah khayalan," ucapku menyadari bahwa meski aku menderita terkadang ada satu dua hal yang masih bisa aku syukuri. Aku lalu menghapus air mataku menggunakan kedua tanganku seraya melanjutkan ucapanku tadi.
"Gua pasti gak akan sanggup menahan malu jika gua beneran jadi dia, ngebayanginnya aja gua udah gak sanggup." Ucapku tertawa mentertawakan kehidupanku yang pelik ini.
Disaat aku merasa sudah berdamai dengan diriku saat itu, tiba-tiba saja terdengar suara yang datangnya tepat dari arah belakangku, suara itu terdengar cukup keras ditelingaku.
"Silvia, Ngapain lo disini ?!" Suara itu seketika benar-benar membuatku terkejut bukan main.
Akibat suara keras yang tiba-tiba saja terdengar dan mengangetkanku disaat kondisi hatiku sedang campur aduk itu, membuatku seketika itu juga menoleh kearah belakang untuk melihat siapa orang tersebut.
Dan betapa terkejutnya diriku ketika mengetahui bahwa orang itu adalah Milas.
Saat itu Milas sedang berdiri tepat di samping torrent air besar dengan logo Ikan Lele Jumbo, yang memang jaraknya antara dia dengan diriku tidaklah begitu jauh, mungkin hanya sekitar 3 jengkal. Ya... 3 jengkal gajah.
Dia berdiri lemas seraya memegang kunci inggris dan menggendong sebuah tas selempang yang berisikan banyak perkakas, dan juga saat itu ia masih memakai seragam sekolahnya yang namun sudah terlihat sedikit kotor dan juga lusuh, bahkan ia juga membuka setengah kancing seragamnya itu, sehingga kaos dalaman berwarna hitam dengan gambar Batmannya itu terlihat dengan sangat jelas dimataku.
Dan seakan tidak mau kalah dengan seragamnya, wajahnya pun juga sangat terlihat lusuh dan kotor, tubuhnya dipenuhi keringat, serta wajahnya begitu berminyak sudah seperti wajah oli bekas, hitam dan berminyak. Belum lagi baunya, meski dari jarak yang cukup jauh, yaitu 3 jengkal gajah, aroma tubuhnya yang bau matahari itu sangat terasa menusuk hidungku. Intinya kondisinya saat itu benar-benar kacau, tidak seperti menunjukan bahwa di adalah siswa sekolah ini, lebih seperti kuli bangunan yang kerja 3 hari 3 malam tanpa henti, hanya saja badannya yang kurus serta wajahnya yang menyeramkan itu membuatnya semakin terlihat lebih buruk lagi dari itu.
Melihatnya seperti itu semakin membuatku syok, dan terkejut bukan main, hingga tanpa sadar aku pun keceplosan mengeluarkan suara emasku yang selalu aku sembunyikan ini, lebih parahnya lagi, bukan hanya mengeluarkan suara emasku yang begitu indah ini saja, akan tetapi aku juga berteriak kepadanya dengan wajah penuh ketakutan seperti habis melihat setan (Ya... meski secara teknis, wajah Milas lebih menyeramkan daripada setan menurutku).
"Milas ! ngapain lo disini ?" Tanyaku dengan suara yang cukup lantang karna terkejut, yang mana itu membuat semua kebohonganku tentang Silvia si bius seketika terbongkar begitu saja karna kebodohanku itu. Bahkan bukan hanya kebohonganku saja yang terbongkar, akan tetapi aku juga melanggar janji terhadap diriku sendiri dengan berbicara kepadanya saat itu.
Lalu dengan wajah lelahnya, Milas pun perlahan mendekatiku seraya tetap membawa kunci inggris ditangan kirinya dan tas perkakas ditangan kanannya, kemudian dengan polosnya tanpa menyadari apapun ia malah mengomentari tindakanku. "Lah..., lo gua tanya malah balik nanya Sil...." Ucapnya mengomentari tindakanku.
Suasana pun hening sesaat. Aku diam karna aku tau bahwa aku sudah melakukan kesalahan yang cukup fatal dengan membiarkan diriku bertanya kepadanya dengan suara indah dari mulutku ini.
Sedangkan disisi lain Milas diam karna otaknya yang lemot itu butuh proses untuk mencerna semua keanehan ini. Namun selang beberapa detik kemudian, dia baru sadar jika saat itu aku berbicara kepadanya tanpa menggunakan alat tulisku sama sekali, ya... dia baru menyadari bahwa aku berbicara menggunakan suara dari mulutku beberapa detik kemudian setelah ia dengan polosnya mengomentari tindakanku yang menurutnya tidak sopan. Benar-benar bodoh.
Milas lalu mengarahkan tangan kirinya yang sedang memegang kunci inggris kearah ku, dan seketika itu pula ia juga langsung berteriak. "Silvia, lo kok, bisa ngomong ?!" Ucapnya terkejut melihatku yang bisa berbicara layaknya manusia normal pada umumnya.
Karna rahasia yang selalu ku jaga ini sudah terbongkar dan juga tak terelakkan lagi, aku pun akhirnya mengangkat kedua pundakku dan mencoba memilih kata yang tepat untuk menjawab pertanyaannya itu. "Karna gua gak pernah ngomong, bukan berarti gua gak bisa ngomong kan ?" Ucapku menjawab pertanyaannya seraya menghela nafasku.
Milas lalu menatapku sinis, nampak nya ia cukup kesal dengan tanggapanku itu. "Ye... orang gak bisa ngomong, emang gak bakalan ngomong, kalo dia gak bisa ngomong anjir."
Ucap Milas dengan wajah sedikit kesal karna ia merasa tidak puas dengan jawabanku itu.
Milas lalu kemudian mendekatiku kembali.
"Gua disini bantuin Mang Diman benerin torrent air yang rusak, kasian Mang Diman kalo harus naik ke atap sekolah, selain pasti capek karna ini lantai 5, disini juga panas, ksian Mang Diman Umurnya dah tua, dah mau abis." Sahut Milas dengan begitu santainya.
Dengan santainya dia pun lalu langsung berdiri di sampingku seraya kemudian ia memandangi murid-murid yang berada dibawah sana. "Kalo lo ?" Lanjut Milas seraya terus memandangi murid-murid SMA Pancasila yang berada dibawah sana.
Aku pun lalu memandanginya sejenak, lalu aku menatap matanya dalam, melihat wajahnya yang sedang memandangi murid-murid SMA Pancasila dibawah sana.
"Iseng aja." Jawabku simpel yang kemudian aku membuang wajahku keatas dan lalu memandangi langit cerah berwarna biru terang saat itu.
Lalu kemudian Milas pun juga ikut memandangi langit biru yang cerah itu, sama sepertiku. Alhasil, kami berdua pun bersama-sama berdiri disana menatap langit cerah saat itu, namun tiba-tiba Milas melihat tepat kewajahku, yang membuatku merasa benar-benar canggung dan risih disaat yang bersamaan, sehingga membuatku tidak bisa fokus sama sekali saat itu. "Kok lo ngeliatin gua begitu sih, kenapa emangnya ?" Tanyaku yang merasa risih.
Seraya terus memandangi wajahku tanpa ekspresi sedikit pun, Milas lalu mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. "Gak apa-apa, gua cuma sedikit penasaran aja Sil, apa alasan lo pura-pura bisu ?" tanyanya seraya memandangiku dengan tatapan seakan menuntut sebuah jawaban. Lalu bibirnya Milas tiba-tiba tersenyum tipis. "Padahal tadinya gua pikir, lo pura-pura bisu itu karna suara lo itu jelek Sil, tapi ternyata suara lo bagus juga, bahkan gak sejelek suaranya Gaby, jadi kenapa Sil ?" Tambahnya yang membuatku seketika menyadari sesuatu hal yang penting dari balik ucapannya itu.
Aku pun lalu mengangkat tangan sebelah kananku, seraya melebarkan kelima jariku aku pun berkata. "Tunggu," ucapku menyuruhnya berhenti berbicara dan mendengarkanku terlebih dahulu. "Tadi lo sempet bilang kalo lo pikir alasan gua pura-pura bisu karna suara gua jelek kan ?!" Tanyaku memastikan sesuatu kepadanya.
Milas lalu tertawa geli seraya menganggukan kepalanya. "Hehehe iya, maaf ya Sil..., soalnya gua gak kepikiran alasan lain kenapa lo pura-pura bisu, selain karna suara lo yang jelek Sil."
Aku pun lalu meliriknya tajam keheranan.
"Sejak kapan lo tau kalo gua sebetulnya gak bisu ?!" Tanyaku terheran-heran ketika mengetahui fakta bahwa Milas sebenarnya sudah mengetahui rahasiaku itu.
Lalu dengan wajah sombongnya, ia menatapku tersenyum meledek. "Sejak rapat ketua kelas waktu itu."
"Ha, yang bener , kok bisa ?!" Tanyaku seakan tak percaya ucapannya.
Milas menatapku sinis. "Ya iyalah beneran, ngapain juga gua bohong." Kemudian Milas pun mengangkat kedua tangannya seraya menggerak-gerakan tangan dan jarinya layaknya sebuah simbol. "Lo masih inget gua ngelakuin hal ini gak ?" Tanya Milas mendikte.
Tentu saja aku mengingat hal tersebut, gerakan bodoh yang ia buat seraya tersenyum lebar kepadaku, membuatku benar-benar merasa malu datang kesana bersamanya.
Sumpah aku benar-benar tidak mengerti kenapa pula dia melakukan gerakan-gerakan seperti itu ditengah-tengah rapat, yang mana karna itu dia menjadi pusat perhatian dan bahkan sempat terkena teguran oleh salah satu guru, jadi tentu saja aku tidak mungkin bisa melupakannya.
"Mana mungkin gua bisa ngelupain hal bodoh kayak begitu, yang ngebuat gua malu seumur hidup, lagi pula apa hubungannya coba...." Ucapku menggerutu kesal.
"Udah gua duga...." Sahut Milas menyombongkan dirinya. Lalu aku menatapnya dengan penuh tanda tanya, seakan menuntun jawaban darinya saat itu juga. "Kemarin itu gua lagi ngajak ngobrol lo pake bahasa isyarat Sil."
"Jadi, gerakan aneh itu bahasa isyarat ?!" Ucapku terkejut.
"Ya iyalah Sil, emangnya gua manusia freak macem apa yang gerak-gerak gak jelas didepan banyak orang dengan sangat bangganya kalo bukan ada sesuatu dibalik itu semua."
Seraya mengalihkan pandanganku darinya aku pun sedikit meledeknya. "Gua pikir lo cuma gila aja."
Milas pun seketika kesal dengan perkataanku itu, ia pun lalu berteriak dengan suara yang cukup lantang. "Gak ada otak lo ya ?!" setelah itu Milas mengalihkan pandanganya dariku dan kembali menatap langit biru yang cerah itu. "Ya..., jadi saat gua tau lo gak bisa bahasa isyarat, seketika itu juga gua tau kalo lo itu cuma pura-pura bisu, karna orang bisu pastinya bisa bahasa isyarat, karna hanya itulah satu-satunya cara mereka untuk berinteraksi dengan orang lain." Ucapnya serius.
"Jujur aja, itu aneh, karna untuk orang semuda lo dizaman sekarang, bisa bahasa isyarat itu aneh." Cetusku memberikan pendapatku kepadanya.
Milas menghela nafasnya, lalu ia kemudian menjulurkan tangannya ke depan, seakan-akan ingin meraih awan yang berada diatas sana."Keterbatasan bahasa, adalah keterbatasan duniamu. Entalah itu quetos siapa, gua lupa, tapi yang jelas gua pernah baca itu disebuah buku, jadi... gua belajar banyak bahasa, salah satunya bahasa isyarat. Dan agar gua juga bisa berbicara dengan mereka, dan mengerti mereka, karna mereka berhak untuk itu juga."
Jujur saja, perkataanya itu membuatku sedikit merubah pandanganku tentang dirinya. "Gua pikir lo itu cuma pure bego dan rada sedikit miring, tapi ternyata lo keren juga ya." Ucapku memujinya sera tersenyum kepadanya.
Seketika suasana pun menjadi hening, aku dan dirinya hanya sama–sama menikmati angin sepoi-sepoi yang pada saat itu berhembus di atap sekolah. Setelah berbicara dengannya langsung tanpa selembaran kertas, aku merasa bahwa dia tidak seburuk yang aku kira, tapi entah mengapa meski aku merasa dia itu baik, namun setiap perkataan yang keluar dari mulutnya seakan mengingatkanku kepada Rian, mereka berdua membuatku sama-sama merasa nyaman ketika sedang berbicara.
Ya, jujur saat ini aku merasa sangat nyaman berbicara kepadanya. Bayangkan saja, sudah hampir 3 tahun aku tidak pernah berbicara kepada seseorang pun, namun disini, aku berbicara kepadanya, jika kalian tanya alasannya, aku sendiri pun tidak begitu mengerti mengapa aku bisa berbicara kepadanya, ini memang aneh, namun itulah yang terjadi.
Milas kemudian menoleh kepadaku dan menatapku dengan tajam. "Boleh gua nanya sesuatu ke lo Sil ?"
"Meski gua tolak pun, lo pasti tetep bakal nanya juga kan ?!" Milas lalu tersenyum geli mendengarkan ucapanku tersebut.
Matanya menatap tajam diriku, lebih tajam dari sebelumnya, raut wajahnya pun sangat menunjukan keseriusan, bibirnya pun tak bergeming sedikit pun, sejenak tatapan wajahnya itu membuatku sedikit gentar. Lalu kemudian Milas pun berkata. "Dari dulu, gua selalu merhatiin lo, tapi dari dulu sampe sekarang gak pernah samasekali gua ngeliat lo tersenyum, lo selalu aja nunjukin wajah menyedihkan lo itu, bahkan sekarang, meski lo sempat tersenyum tadi, gua ngerasa kalo itu cuma senyum terpaksa belaka, jadi kalo gua boleh tau kenapa, apa yang terjadi dimasa lalu lo Sil ?" Tanya Milas dengan begitu seriusnya. Aku pun benar-benar terkejut ketika tau ternyata orang seperti Milas bisa seserius ini, tapi lebih dari itu, fakta bahwa dia memperhatikanku sedari lama itulah yang membuatku sangat terkejut melebihi sikapnya itu.
Seakan tak peduli dengan semua itu, aku pun lalu membuang pandanganku darinya. "Biar gua jelasin sekali pun, lo tetep gak bakal ngerti !" Jawabku dengan sedikit jutek.
"Gitu ya...." ucapnya seraya memalingkan wajahnya dariku. "Sikap lo yang dingin ke semua orang terutama laki-laki, terus tindakan lo yang pura-pura bisu dan terakhir dengan omongan lo barusan semakin membuat gua yakin akan sesuatu hal Sil." Gumamnya seraya menatap langit.
Aku yang tidak begitu peduli hanya diam seraya terus memandangi langit. Karna aku yakin, apa pun yang ia lakukan, dan apa pun yang dia ketahui, dia tidak akan benar-benar tau tentang apa yang terjadi sebenarnya, tentang penghianatan Rian kepadaku, tentang aku yang di lecehkan oleh teman terbaikku sendiri. Meski dia tau masal aluku sekali pun, aku yakin dia hanya akan menyalahkanku atas itu semua, aku yakin dia pasti akan mengatakan. "Seharusnya lo bisa jaga diri lo sendiri, lo kan jago karate !" aku yakin itu, karna bahkan orang tuaku pun sama, mereka juga hanya bisa menyalahkanku atas semua kejadian itu, semua orang itu sama saja, aku benci mereka semua.
Milas pun lalu tersenyum tenang seraya menatap tajam dalam kedalam mataku.
"Mohon maaf sebelumnya Silvia, gua rasa perkataanku ini mungkin akan membuka luka lama lo itu, tapi gua rasa gua harus menyampaikan ini," serunya dengan begitu serius.
Aku pun lalu mulai memandanginya, meski aku rasa ia tak mungkin bisa mengetahui masa laluku itu, akan tetapi aku tetap merasa penasaran dengan jawabannya itu, terlebih wajah serius serta tatapan matanya yang tajam itu semakin membuatku penasaran dengan apa yang akan dikatakan olehnya itu.
"Gua selalu terpikirkan hal ini setiap kali gua merhatiin Lo Sil, entah Kenapa gua ngerasa kalo Lo itu seperti seseorang yang habis menerima pelecehan seksual, hanya itulah yang bisa kupikirkan setelah melihat tindakan Lo yang selalu menjaga jarak terhadap orang-orang disekitar Lo Sil.
Tubuhku seketika bergetar, aku tidak mengerti bagaimana ia bisa tau tentang masa laluku, meski tidak semuanya, akan tetapi fakta bahwa dia mengetahui bahwa aku pernah mengalami pelecehan seksual saja sudah cukup membuatku bingung bukan main.
Sejatinya ingin aku berteriak dan membantah semua perkataan itu, meski pada dasarnya ia tidaklah salah. Namun entah kenapa tubuhku tiba-tiba saja bergetar dengan sangat hebat, suara yang ingin aku keluarkan pun tak bisa keluar dari mulutku, seketika keringat dingin bercucuran dari tubuhku. Aku tak menyangka, perkataan Milas yang hanya seperti itu dapat membuat tubuhku mengingat kembali kejadian itu, sehingga membuat traumaku seketika muncul begitu saja dan membuat seluruh tubuhku kaku tak berdaya.
"Sejujurnya Silvia, gua pengen banget kalo lo itu teriak membantah semua omongan gua itu, bahkan akan lebih baik kalo Lo itu menghajar gua tepat di wajah gua ini, tapi ngeliat reaksi lo yang kayak begini aja, udah cukup ngebuat gua yakin sama apa yang gua omongin tadi Sil." Ucap Milas seraya menatapku sedih.
"...." Aku pun masih terus terdiam tak bergeming samasekali.
"Kalo Lo mau tau kenapa gua bisa tau itu, jawabannya simpel, karna gua juga pernah ngerasain hal yang sama seperti Lo," serunya dengan wajah yang begitu serius. "Ya... meski itu mungkin gak separah apa yang Lo rasain, tapi percayalah gua juga pernah ngalamin hal yang sama, gua juga pernah mengalami pelecehan seksual!" Tukasnya yang membuatku seketika terkejut bukan main.
Suasana seketika hening, hanya ada suara hembusan angin yang cukup kencang menerpa kami berdua pada siang hari itu, aku bahkan tau tau lagi harus berkata apa saat itu.
Yang jelas aku hanya bisa diam dan memandanginya dengan penuh tanda tanya.