POV : Silvia Sapphira
Aku terus memandanginya seraya berkata. "Entahlah...," ucapku tidak yakin. Lalu dari atas gedung sekolahku ini, aku memandangi salah satu murid yang sedang bermesraan dibawah pohon rindang. "Sejujurnya gua pengen bilang kalo itu salah dan bilang kalo gua bisa hidup sendiri tanpa orang lain, tentu saja itu karna gua benci orang-orang didunia ini, tapi pada kenyataanya gua sendiri pun gak akan pernah bisa hidup tanpa orang lain, ironi memang, tapi itulah kenyataanya, jadi harus gua akuin bahwa manusia itu gak pernah bisa hidup sendiri." Seruku dengan penuh renungan.
Milas pun lalu tertawa terbahak-bahak. "Kan...," serunya dengan penuh kepuasaan. Sementara itu aku terus menatapnya dengan kebingungan, seraya mengucapkan. "Kenapa nih orang." Didalam hatiku.
Milas lalu berhenti tertawa, ia lalu memandangku kembali dengan tatapan tajamnya itu. "Karna itulah, hal yang paling gua takutin adalah kesendirian," serunya dengan begitu serius kepadaku. "Cuma dengan ngebayanginnya aja udah bisa ngebuat gua gemeteran plus keringet dingin, apalagi kalo ngerasaain, dah pasti gak bakal sanggup gua."
"Ya..., untungnya lo hidup dengan dikelilingi oleh orang-orang yang baik ke lo," ucapku memotong omongannya itu. "Andai gua juga ngerasain hal yang sama kayak lo Mil." Keluhku seraya tersenyum memandangi dua orang yang sedang dimabuk asmara tersebut.
Milas lalu kembali tersenyum kepadaku seraya berkata. "Iya juga sih, gua juga ngerasa kalo gua ini beruntung, bisa ketemu cewek cantik kayak lo Sil, hehe." Serunya dengan nada bercanda.
Karna aku merasa risih dengan itu, aku pun memandanginya sinis seraya berkata. "Apasih gak jelas!" Ucapku kepadanya.
Kemudian setelah itu aku kembali memandangi kedua orang yang sedang dimabuk asmara tersebut, dan tentu saja dengan pandangan iri. Lalu tiba-tiba saja ia menepuk pundakku dan berkata. "Lo mau tau gak caranya menikmati hidup ?!" Ucapnya dengan begitu bersemangat.
Namun aku hanya memandanginya dengan tatapan penuh keheranan, seraya hatiku berteriak. Mau ngapain lagi coba nih anak.
Milas pun tiba-tiba berbalik badan dan berjalan ke salah satu tanaman yang berada didekat turet air tersebut. Semetara itu aku terus memandanginya heran seraya bertanya-tanya kepada diriku sendiri. Mau ngapain sih ?! Lalu didepan tanaman tersebut Milas pun jongkok, ia kemudian mengambil segumpalan kecil tanah dan membawanya kearahku. Dan dengan begitu percaya dirinya, ia tersenyum kepadaku dengan menunjukan segumpalan tanah di tangannya itu, lalu ia pun berkata. "Percaya gak lo Sil, kalo segumpalan tanah kecil ini bisa ngebuat kita bahagia dan merasakan nikmatnya hidup meski cuma sebentar."
Dengan penuh keragu-raguan aku pun menjawab. "Sebetulnya gua mau bilang gak percaya, atau pun bilang kalo lo itu gak jelas, tapi jujur aja gua juga penasara, lo mau ngapain," ucapku menjawab pertanyaan Milas tersebut. Setelah itu pun aku memberikan jalan kepada Milas, seraya menyodorkan kedua tanganku dengan maksud memberi isyarat untuk mempersilahkan Milas melakukan apa pun itu. "Jadi, lakuin apa pun itu yang ingin lo lakuin...."
Dan dengan wajah percaya diri nan sombongnya yang sangat- sangat menyebalkan itu ia berjalan melewatiku yang berdiri dihadapannya. "Minggir Sil, biar gua kasih liat lo sesuatu yang amijeng." Milas pun kemudian berjalan kearah pagar pembatas, sementara itu aku pun berjalan mengikutinya dari samping. Lalu kemudian dia dengan sangat- sangat entengnya melepar gumpalan tanah itu kearah dua pasangan yang sedang kasmaran itu, yang sedari tadi aku perhatikan. Milas melemparnya dengan sekuat tenaganya, sehingga entah bagaimana berhasil mengenai ranting pohon yang sudah rapuh, dan alhasil membuat ranting pohon tersebut jatuh tepat mengenai kedua pasangan itu.
Setelah berhasil membuat ranting pohon tersebut jatuh dan mengenai kedua pasangan itu, Milas pun kemudian kabur kebelakang untuk bersembunyi, lalu setelah itu dengan begitu sangat puasanya ia tertawa lepas, mentertawakan kejadian tersebut.
Sementara itu, aku yang melihat Milas panik berlari menjauh, secara tidak sengaja akun pun mengikutinya tanpaku sadari.
"Hahaha, gimana, menyenangkan bukan ?" Ucapnya denganbegitu bahagiannya.
Aku yang kesal karna takut terseret dalam hal ini pun memarahinya. "Udah gila lo ya ?!" teriakku kesal. "Menyenangkan biji mata lo !" Tambahku memarahinya.
Lalu aku pun memegang dadaku untuk mengecek detak jantungku yang entah kenpa berdegub sangat cepat, yang mungkin aku rasa akibat rasa panik yang ditimbulkan dari tindakan Milas tersebut.
"Tapi seru kan ?" tanyanya dengan begitu yakin. "Buktinya lo sampe panik gitu... hehe."
Aku pun lalu kemudian memandanginya dengan tajam seraya memegang dadaku kembali, untuk merasa detak jantungku yang terus berdegub cepat.
Jujur saja, aku belum pernah merasakan hal seperti itu setelah sekian lama, setelah sekian lama aku tidak pernah merasakan apa-apa selain kehapaan, setelah sekian lama aku marasa seperti robot yang tidak bisa merasakan apa-apa tapi saat itu, aku merasakan adrenalinku naik, dan detak jantungku berdegub cepat, lalu aku pun berpikir, mungkin ini akan meneyangkan. Lalu kemudian aku menganggukan kepalaku dan berkata. "Ya... boleh lah...." Jawabku dengan perasaan yang campur aduk saat itu.
Lalu Milas menunjukan kepalan tanganya kepadaku, dan kemudian membuka kepalan tangannya itu, yang mana isinya adalah segumpalan tanah yang tidak terlalu besar, yang ia ambil dari pot tanaman barusan. "Mau coba ?" Ajaknya seraya melirik antusias kepadaku.
Aku pun sempat sedikit ragu untuk menjawab ajaknya itu, namum karna aku terlalu terbawa suasana saat itu, pada akhirnya aku menyetujui ajakanya tersebut. "Ya !" Cetusku dengan penuh keyakinan seraya mengambil gumpalan tanah tersebut.
Kemudian, kami berdua kembali berjalan kedepan pembatas reyot itu.
Sebelum melempar gumpalan tanah itu, sebenarnya aku sempat ragu untuk melemparnya, akan tetapi Milas yang berdiri disampingku itu, terus saja berteriak menyemangatiku, yang membuatku yakin dengan apa yang akan aku lakukan.
"Gaskeun Sil !" Teriak Milas dengan penuh semangat.
Aku pun lalu mengehala nafasku terlebih dahulu, guna menenangkan diriku terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya aku melemparkan gumpalan tanah tersebut. Lalu dengan begitu percaya dirinya aku pun melemparkan gumpalan tanah itu kearah pohon yang tadi Milas kenai. Namun sayangnya akurasiku tidaklah sehebatnya, alih-alih mengenai pohon incaranku, justru itu malah berbelok mengenai guru olahragaku, yang kebetulan saja pada saat itu ia sedang berjalan tidak jauh dari sana.
"Aduh !" teriak guru olahragaku kesakitan. Guru olahragaku pun kemudian mengambil gumpalan tanah yang tadi mengenainya itu. Ia pun lalu berteriak-teriak seraya menoleh kekanan dan kekiri mencari orang yang melempar gumpalan tanah tersebut. "Siapa ini yang lempar, kurang ajar sekali." Teriaknya dengan penuh emosi.
Seketika itu juga, secepat kilatan cahaya dikala hujan, Milas langsung kabur dari tempat kami berdiri sebelumnya, dan tentu saja melihat Milas yang kabur, membuatku juga ikut kabur mengikutinya. Pada akhirnya kami berdua pun kembali bersembunyi ditempat kami bersembunyi sebelumnya.
"Gila lo ya Sil, gua tau lo kesel sama semua orang didunia ini, tapi ngapain lo timpuk guru juga !" Seru Milas dengan nada menekan.
"Gua gak sengaja sumpah, gua niatnya mau kenain pohon!" teriakku berdalih dengan memasang wajah panik. "Terus sekarang kita gimana ?" Ucapku seraya menatapnya dengan tatapan meminta jawaban.
"Masih harus gua jelasin nih ? ya kaburlah !" ucap Milas yang kemudian ia beranjak berdiri dan berlari menuju pintu keluar. Sementara aku masih terduduk diam ditempat seraya mengingat kembali kebodohanku yang tadi. "Ngapain sih gua tadi!"Teriakku didalam pikiranku saat itu. "Lo kenapa diem Sil, ayo!" Teriak Milas dengan sangat lantang. Lalu setelah itu dengan tanpa ragu aku pun ikut lari bersamanya.
Kami berdua pun akhirnya berlari menuju ketempat persembunyian kesukaanku yang kedua, yaitu belakang sekolah. Berhubung saat itu kami berlari terburu-buru yang mana itu membuat kami benar-benar kelelahan, nafas kami tak beraturan, keringatku pun juga bercucuran kemana-mana, akhirnya kami berdua pun memutuskan untuk beristirahat di bangku kosong yang biasa aku duduki ketika waktu istirahat.
"Wadoooh, untung aja bisa selamet kita Sil, lo sih ada-ada aja !" Teriak Milas mengeluh dengan terbatah-batah.
Dan aku yang tak mau disalahkan pun membela diriku dengan begitu ngototnya. "Ya..., makasih loh... udah ngasih saran buat ngelakuin hal gak penting kayak gitu !" Cetusku membela diri.
"Gua kan gak nyuruh lo nimpuk guru...." Gumam Milas mengeluh dengan nada suara yang sengat kecil namun masih bisa kudengar.
"Gua masih bisa denger lo Mil !" Ucapku seraya menatapnya sinis.
Milas pun kemudian tersenyum cengegesan kepadaku. "Hehehe," lalu dengan pintarnya ia pun mengalihkan topik pembicaraanya itu. "Tapi serukan ?!" Tanyanya dengan penuh semangat.
Dan ya... jujur saja, menurutku apa yang baru saja kami lakukan itu benar-benar sangat seru bagiku, seolah-olah keseruan dunia yang telah lama hilang didalam hidupku balik dengan tiba-tiba, lalu aku pun tersenyum tipis kepadanya. "Ya, harus gua akuin, ini seru !" Ucapku dengan penuh keyakinan.
Milas pun senang bukan main ketika aku berhasil mengakui bahwa itu sangat menyenangkan, saking senangnya ia sampai loncat-loncat kegirangan.
"Gimana kalo kita lakuin yang lebih lagi ?" Ajak Milas dengan seluruh pikiran jahatnya.
"Boleh juga !" Seruku dengan penuh semangat menyetujui ajakanya tersebut.
Akhirnya kami berdua pun melakukan banyak keisengan terhadap murid-murid di SMA Pancasila, mulai dari mengisengi orang yang sedang berada dikamar mandi dengan mematikan lampunya plus menyetel lagu lingsir wengi, bahkan sampai-sampai mengunci orang yang sedang berada di perpustakaan, ya... pada intinya sangat banyak hal-hal keisengan yang aku dan Milas lakukan pada hari itu, sampai pada akhirnya aku tidak menyadari bahwa hari telah sore, dan matahari mulai terbenam.
Setelah aku dan Milas pergi ke kelas untuk mengambil tas Milas yang masih berada di dalam kelas, kami berdua pun kembali kebelakang sekolah setelah selesai melakukan hal keisengan bersama. "Gila, gua puas banget Mil." Seruku dengan penuh rasa kebahagiaan. Saat itu aku pun tidak mengerti kenapa aku begitu sangat bahagia, mungkin satu-satunya jawaban yang terpikirkan olehku adalah karna aku merasa puas karna bisa balas dendam kepada orang-orang yang membicarakanku dibelakangku, merasa puas melihat mereka emosi, merasa puas disaat mereka tidak bahagai, seolah-olah aku telah berhasil membalaskan rasa kesalku kepada mereka semua. Mungkin itulah yang membuatku merasa sangat amat bahagia meski dengan hal konyol seperti ini.
"Sama gua juga." Ucap Milas seraya tersenyum bahagia. Setelah itu, keheningan kembali menghampiri kami berdua. Baik aku atau pun Milas, kami berdua sama-sama kehabisan bahan obrolan setelah sepanjang perjalanan tadi kami telah banyak membicarakan tentang keisengan kami hari ini.
Lalu tiba-tiba saja dengan nada tenang seraya melihat langit sore yang mulai gelap, Milas pun memulai obrolan ditengah keheningan tersebut. "Udah sorenih, waktunya kita pulang."
Dan entah mengapa kata-kata Milas itu seakan seperti pisau yang menusuk jantungku secara cepat dan sangat menyakitkan. Rasanya benar-benar sakit mendengarkan kalimat itu dari mulut Milas. Seakan akan aku tidak ingin kehilang momen itu, karna bagiku setelah sekian lama aku tidak bisa merasakan keseruan dan kesenangan seperti ini, aku tidak ingin ini berakhir begitu saja, karna tidak ada jaminan esok hari aku bisa melakukan hal ini kembali.
Lalu dengan wajah penuh kekecewaan aku pun berkata. "Ya... mataharinya juga mulai ilang tuh...."
"Oh iya, lo gak dijemput ?" Tanya Milas yang penasaran dengan caraku pulang.
"Menurut lo ?" Seruku sinis. Milas pun lalu tersenyum cengegesan kembali. "Ayah gua sibuk, katanya dia gak bisa jemput gua hari ini."
"Oh gitu," Ucap Milas dengan tatapan bodohnya. "Gimana kalo bareng sama gua, berhubung Gaby si Babi gak ada, jadi motor gua kosong."
Aku pun sempat terkejut ketika ia menawarkan dirinya untuk mengantarkanku pulang, akan tetapi karna aku belum bisa sepenuhnya percaya kepadanya, aku pun menolaknya mentah-mentah. "Gak usah makasih gua bisa pulang sendiri."
Lalu diluar ekspetasi gua, bukanya dia akan memaksa atau memberikan seribu satu alasanya agar aku mau pulang bersamanya, dia malah dengan gampangnya tersenyum kepadaku seraya berkata "Okey kalo gitu." Ucapnya seraya memberikan ibu jarinya kepadaku.
Kami pun berpisah di belakang sekolah, aku pun pergi menuju gerbang sekolah sementara Milas kearah sebaliknya, ia pergi ke parkiran sekolah untuk mengambil motornya terlebih dahulu.
Lalu karna aku tidak dijemput, aku pun memutuskan untuk pulang menggunakan angkutan umum, sama seperti biasanya jika aku tidak bisa dijemput oleh ayahku, pulang dengan angkutan umum.
Namun disaat aku baru saja keluar dari pintu gerbang sekolah, aku merasakan ada seseorang yang membuntutiku dari belakang, pada awalnya aku sengaja mengabaikannya, namun ketika aku berjalan perlahan keluar dari sekolah, orang itu masih saja mengikutiku. Aku yang pada dasarnya mengetahui itu awalnya berpura-pura tidak menyadarinya sampai pada akhirnya aku mencoba perlahan untuk mencari tau siapa orang yang megikutiku itu menggunakan sebuah kaca spion motor yang aku lewati, yang mana ternyata itu adalah Milas.
Ternyata ia mengikuti dari belakang dengan gaya layaknya seorang ninja, bahkan ia sampai- sampai mengerak-gerakan tanganya layaknya seorang ninja yang sedang menggunakan ninjutsu. Entah lah... aku tidak mengerti kenapa dia melakukan, sekarang aku benar-benar yakin dia berbeda dari yang lain. Dia hanya pure bodoh.
Setelah aku mengetahui bahwa itu Milas aku pun memancingnya kejalan yang sepi dari orang-orang agar nantinya aku sergap dan mengangetkannya, karna aku yakin dia pasti dengan begitu percaya dirinya merasa bahwa aku tidak menyadari kehadirannya, aku sangat yakin dengan itu.
Sesampainya ditempat yang sepi aku pun bersembunyi dibalik sebuah tembok disebuah belokan, lalu dengan terburu-buru mengejarku Milas pun berlari dengan cepat, dan ketika sampai dibelokan, aku pun langsung mengngagetkannya dengan berteriak. "Dor !" Dan tentu saja dia pun terkejut bukan main, sampai-sampai dia pun berteriak. "Ah... anjing !" teriaknya terkejut, lalu dengan sangat cepat ia memegangi dadanya untuk mengecek detak jantungnya tersebut. "Bangsat lo Sil! Kaget gua anjir, kalo gua mati karna serangan jantung giamana ?!" Keluhnya seketika ia tau bahwa akulah yang mengngagetkannya.
"Ya... alhamdulillah." Jawabku dengan wajah datar.
"Jahat...."
"Lagian lo ngapain sih ngikutin gua."
Lagi- lagi dia pun tertawa cengegesan. "Hehehe, buat masitiin aja lo aman Sil."
Dengan wajah poker face aku pun menatap Milas seraya berkata. "Ha, gak salah tuh, lo pikir siapa yang bertanggung jawab atas banyaknya murid SMA Pancasila yang masuk rumah sakit, emangnya lo lupa siapa yang bertanggu jawab atas masuknya lo ke UKS ?! "
"Iya juga ya..., tapi Sil...."
Sebelum ia menyelesaikan alasanya itu, aku pun seketika langsung memtuskan ucapanya tersebut. "Berisik, udah pulang sana, gua bisa jaga diri gua sendiri."
"Okey deh kalo gitu gua percaya, bye Sil." Seru Milas seraya kemudian pergi meninggalkanku.
Ketika ia berbalik badan aku pun teringat akan sesuatu dan mulai mengehentikannya. "Hei Milas, gua minta maaf, karna gua lo diskors." Ucapku meminta maaf kepada Milas.
Milas pun lalu membalik badanya seraya tertawa terbahak-bahak. "Gua yang masuk kamar mandi cewek lo yang minta maaf." Ucapnya dengan nada bercanda.
"Tapi tetep aja gua ngerasa bersalah." Ucapku dengan wajah murung.
"Kalo gitu, simpen kata maaf lo dulu buat nanti, karna mulai hari ini gua yakin lo bakal sering ngelakuin kesalahan sama gua, jadi simpen dulu ya...," ucapnya seraya kemudian ia kembali membalikkan badannya, ia pun lalu melambai-lambaikan tanganya. "Bye lagi Silv...."
"Bye...," Jawabku seraya tersenyum menatap kepergiannya. Namun entah kenapa saat itu aku mendengar Milas mengatakan Silv, bukan Sil. "Silv... ?" ucapku dalam hati keheranan. "Sudahlah tidak penting." Lanjutku mengucapkannya didalam hati seraya menurunkan lambaian tanganku.
Dan entah mengapa ketika aku melihat Milas pergi meninggalkanku, aku merasa ada yang janggal didalam hatiku yang aku tidak tau apa itu, tapi yang jelas dadaku terasa amat sesak saat itu.
Aku tidak ingin hari itu berakhir, meski Milas sangat menyebalkan, meski ia terlalu banyak bicara, meski ia seperti orang bodoh meski ia sering mebentakku dengan kata-kata kasarnya itu ketika aku melakukan sesuaut yang ia anggap bodoh, tapi aku tidak pernah bisa marah kepadanya, justru aku merasa sangat senang. Mungkin karna disaat ia membentakku, justru lebih terasa seperti sedang bercanda ketimbang marah kepadaku, nada bentaknya yang unik dan lucu itu justru membuatku ingin tertawa.
Ya... sekali lagi aku haru mengakuinya, dia benar-benar berbeda. "Aku sangat ingin menemuimu esok." Ucapku dalam hati. Namun sayangnya mulai besok dia diskors selama 1 minggu yang mana artinya aku akan kembali kehari-hariku yang sepi dan membosankan kembali esok hari, dan tidak ada jaminan ia akan menegurku kembali setelah 1 minggu lamanya kami tak bertemu, tapi aku harap akan ada waktu dimana kami bersama kembali.