POV : Silvia Sapphira
1 Minggu telah berlalu, hari-hari yangku jalanani setelah pertemuanku dengan Milas diatap kedung sekolah pun masih sama, aku masih Silvia Saphira si bisu. Tak pernah berbicara, tak pernah berinteraksi dan tak pernah peduli dengan apa yang ada disekitarku, semua sama seperti biasanya, dan aku suka dengan hal itu.
Lalu hari itu tiba, hari pertama Milas masuk kembali kesekolah SMA Pancasila setelah masa skorsingnya berlalu, ia memang datang agak sedikit terlambat, dan seperti biasa ia datang bersama temannya yaitu Gaby. Saat ia pertama memasuki kelas jujur saja aku merasakan kepanikan, aku tidak tau harus berbuat apa saat itu, haruskah aku menyapanya ?, atau haruskah aku tersenyum kepadanya ? atau aku hanya perlu kembali menjadi diriku yang sebelumnya ?, mengabaikannya dan menganggapnya tak pernah ada.
Dan pada akhirnya aku memutuskan untuk tetap diam seraya menunggunya menegurku, seraya berkata di dalam hatiku. "Kalo dia negor gua duluan, gua baru bakal bales." Akan tetapi sayangnya Milas tak menegurku dan mengabaikanku saat itu, ia mengabaikanku seperti tidak pernah terjadi apa-apa diantara kita berdua. Sikapnya kepadaku bahkan sangat berbeda dari apa yang ia tunjukan saat pertama kali kami bertemu.
Ya... sejujurnya itu sesuai dengan apa yangku inginkan, agar aku bisa tetap menjalankan hari-hariku normal seperti biasanya, diam dan penuh kesunyian.
Dengan wajah melas dan ngantuknya, sesampainya di bangkunya ia langsung menempelkan wajahnya di mejanya , dan lalu ia pun tertidur disana. Lalu kemudian aku menatap wajahnya yang sedang tertidur pulas itu seraya berpikir. "Apa yang sedang ia pikirkan ya...." Pikirku saat melihatnya terlelap dikelas. Lalu tak lama kemudian bel masuk sekolah pun berbunyi, dan sekolah pun dimulai.
Sepanjang jam pelajaran berlangsung, Milas sama sekali tak menegurku, ia bahkan seperti menganggapku tak pernah ada, bahkan menatapku saja tidak, meski aku memang menginginkan hal itu tapi entah mengapa jauh didalam lubuk hatiku aku merasa kalo ada yang salah dengan hal itu, namun aku tidak terlalu mempedulikannya dan terus menjalankan kehidupan normalku yang sunyi dan sepi ini. Kemudian bel istirahat pun berbunyi, tentu saja aku langsung membawa bekalku dan pergi menuju tempat favoritku, yaitu atap sekolah.
Setelah sampai disana, aku pun langsung duduk didekat pagar pembatas, yang mana itu adalah tempat aku dan Milas merenung bersama satu minggu yang lalu. Aku pun lalu memandangi langit biru kala itu seraya berkata. "Apa memang harus seperti ini ?" Ucapku seraya menikmati angin yang berhembus saat itu.
Lalu tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang cukup membuatku terkejut. "Sendirian aja nih mbaknya ?"
Aku yang terkejut pun langsung menoleh kebelakang untuk melihat asal suara tersebut. Dan aku pun terkejut melihat sosok Milas yang sedang menenteng satu buah kantung plastik cukup besar bersamanya.
"Milas ?!" seruku terkejut. Sementara itu Milas hanya tersenyum polos tak bergeming. "Ngapain lo disini, mau betulin tower air lagi ?" Tanyaku mendikte.
Ia pun lalu menghampiriku perlahan, dan duduk disampingku. "Mau nyamperin lo lah, mau ngajak makan bareng." Ucapnya seraya memandangi wajahku dengan penuh senyuman.
"Maksud lo, mau minta makanan gua ?" Ucapku seraya menatapnya tajam.
Dia pun lalu tertawa. "Gak dong, kali ini gua bawa juga," ucapnya seraya kemudian mengeluarkan bekal makanannya itu dari kantung pelastik yang ia bawa tersebut. "Nih, gua bawa jugakan." Serunya seraya memamerkan bekal makanan beserta minumannya itu.
"Oh...." Ucapku berusaha mengakhiri percakapan.
Lalu suasana pun hening kembali seperti biasanya, kami berdua pun mulai membuka bekal kami masing-masing.
Milas sendiri membawa nasi dengan chiken katsu plus telur dadar yang terlihat sangat enak, yang bahkan membuatku ingin sekali mencicipinya meski hanya sedikit. Sementara itu aku membawa nasi dengan beberapa udang fillet dengan saus padang yang terpisah, yang mana itu adalah masakan yang aku buat sendiri sebelum aku berangkat sekolah.
Sebelum ia memakan bekal miliknya, terlebih dahulu Milas mengambil beberapa chiken katsu miliknya dan memberikannya kepadaku, ia menaruhnya langsung di kotak makanku. "Nih buat lo Silv, sebagai balasan katsu waktu itu yang gua makan." Ucapnya seraya menaruh katsunya di bekalku.
Karna aku merasa ikhlas memberikannya tanpa perlu imbalan, aku pun mengembalikan katsu tersebut kepadanya, dengan menaruhnya kembali di kotak makanan miliknya. "Nih, gua ikhlas ngasih lo kemarin."
Dan seperti yang kalian tau, Milas itu keras kepala, ia pun menaruh lagi katsu itu di kotak makanku. "Iya gua tau kok, gua juga ikhlas ngasih ini." Ucapnya seraya menaruh chiken katsu di bekalku.
Karna aku tau persisi apa yang akan terjadi seterusnya jika aku mengembalikan kembali katsunya kepada dirinya, aku pun akhirnya mau tidak mau menerima pemberiannya tersebut. "Oke, oke, gua terima."
Seraya tersenyum ia pun berakata. "Nah gitu dong." Lalu kemudian ia menatapku tajam seakan-akan ia menyuruhku untuk segera menyantap chiken katsu pemberianya tersebut.
Aku yang bisa membaca situasi dengan sangat baik pun akhirnya mulai memakan chiken katsu pemberianya itu dengan perlahan.
Dan ketika chiken katsu itu mencapai mulutku, rasa asin yang teramat asin mulai terasa dimulutku. Pada dasarnya jika aku memakan sesuatu yang asin seperti ini, biasanya akan aku langsung lepehkan karna aku tak akan sanggup menelannya, namun karna aku merasa tidak enak dengan dirinya, terlebih dengan senyuman polosnya itu, aku pun berusaha sekuat tenaga untuk menelannya, meski aku merasakan asin yang teramat asin.
Dengan mimik wajah tersiksa aku pun berusaha sebisa mungkin memuji makanan pemberiannya itu. "Hmn... lumayan." Ucapku seraya menahan rasa asin yang teramat asin itu.
Milas pun lalu tersenyum geli melihatku yang seperti tersiksa itu. "Bapak kau lumayan, muka lo kayak tersiksa gitu lo bilang lumayan, pasti gak enak kan, pasti asin banget kan !"
Lalu seraya berusaha menelan chicken katsu tersebut aku pun menganggukan kepalaku untuk menjawab pernyataan Milas barusan.
Setelah selesai menelan katsu tersebut, barulah aku memberi komentar terhadap makanannya itu." Sumpah ini asin banget, lo kasih garemnya satu toples ya ?!" Ucapku agak sedikit kesal.
Milas lalu menutup kotak makannya itu dan mengalihkan pandanganya dariku, seraya berkata. "Gak tau, yang buat itu Gaby."
"Gaby ?" Tanyaku heran seraya meminum air mineral yangku bawa guna menetralkan rasa asin dilidahku ini.
"Iya Gaby, dia bilang dia mau buatin bekel, sebetulnya gua gak mau nerima, tapi dia maksa." Keluhnya dengan wajah polos tanpa ekspresinya itu.
"Kenapa lo gak mau nerima ?" Tanyaku kembali.
"Soalnya gua tau Gaby gak bisa masak, jadi masakannya pasti gak enak, makannya tadi gua ngasih lo chicken katsu buatan Gaby dan nyuruh lo makan duluan, biar gua tau skill masaknya udah berubah atau masih sama aja." Ucapnya dengan begitu santainya.
Aku pun seketika kesal mendengarnya, karna berarti ia memang sengaja membuatku memakan makanan yang tidak layak makan itu.
"Berarti lo sengaja ngebuat gua makan begituan dong, berarti lo secara gak langsung mau ngeracunin gua anjer !" Teriakku protes.
"Ya... bisa dibilang begitu." Ucap Milas tanpa merasa bersalah.
Sumpah, harus aku akui dia benar-benar menyebalkan, hampir saja aku melupakan jikalau dia adalah orang paling menyebalkan yang pernah aku temui. Tapi hebatnya dia, meski saat ituaku menatapnya tajam seraya memarahinya, dia tetap tak menghiraukanku dan dengan tatapan kosong menatap langit biru nan indah kala itu.
Namun tiba-tiba saja, tak ada angin tak ada hujan Milas pun menoleh kearahku ia lalu kemudian menatap tajam kedalam mataku seraya berkata. "Hei Silv, Waktu itu gua pernah bilang ke lo, kalo gua selalu memperhatikan lo duduk di bangku belakang sekolah yang udah legend itu, dan jujur aja gua gak pernah sama sekali ngeliat lo sebahagia kemarin, lo selalu aja murung, why ?" Tanyanya dengan begitu serius kepadaku.
Mendadak diberikan pertanya seperti itu dan diberikan tatapan seserius itu membuatku mendadak gugup, sejenak aku dibuat membisu olehnya, membuat aku harus memutar otakku sejenak untuk mencari jawaban dari pertanyaanya itu.
Aku pun lalu menghelakan nafasku sejenak. "Huft..., Sebetulnya gua bukanya murung atau apa, Gua cuman males aja ngomong sama orang-orang, karna menurut gua itu gak penting aja." Jawab gua tegas.
"Kenapa ?" Tanyanya yang begitu penasaran.
Ketika aku ingin mencari alasan jawaban entah mengapa seketika aku teringat akan masa laluku, betapa bodohnya aku kala itu ketika lagi-lagi aku kembali memasang wajah murungku itu dan menunjukannya kepada Milas, sehingga membuat semua opini yang Milas sebutkan itu terasa benar adanya. "Entahlah..., gua ngerasa seperti gua gak punya tujuan untuk hidup, gua ngerasa seperti udah mati," ucapku seraya kemudian mengalihkan pandanganku dari tatapan matanya yang tajam itu dan mulai memandangi langit biru nan indah. "Asal lo tau Las, kematian yang sesungguhnya bukanlah saat ia menghembuskan nafas terakhirnya atau pun saat raganya meninggalkan jasadnya, tapi kematian yang sesungguhnya datang ketika di dunia ini udah gak ada yang kenal atau pun peduli lagi dengan hidup lo, jadi buat apalagi hidup..., ya kira-kira itulah yang sedang gua pikirkan saat ini." Lanjutku seraya terus memandangi langit.
Milas lalu menepuk-nepuk pundakku seraya berkata. "Hei Silv, coba liat kesamping !" Serunya menyuruhku untuk menoleh kearahnya.
Agar ini tak berlangsung lama, aku pun menuruti permintaanya tersebut, aku pun menoleh kearahnya seraya berkata. "Apa ? mau bilang kalo lo ganteng ?" Seruku sinis.
"Mungkin gua emang gak bakal selalu ada buat lo Silv, tapi gua berani bilang kalo gua ini peduli sama lo, jadi lo gak bisa lagi bilang kalo merasa mati karna gak ada yang peduli sama lo, karna gua peduli Silv."
Kata-kata dari Milas itu pun seketika membuatku terdiam dan tak bisa berkata apa-apa. Aku merasa senang dan sedih sekaligus saat itu. Aku senang karna tau bahwa ada seseorang yang peduli kepadaku, aku sedih karna kenapa baru sekarang ada orang yang peduli kepadaku.
Tiba-tiba ditengah kesepian dan kesunyian yang menenangkan itu, Milas pun ngoceh-ngoceh sendiri yang membuatku kebingungan bukan main saat itu. "Kalo laper ya makan..., kalo haus ya minum... kalo sakit perut ya boker..., kalo bosen ya cari hiburan..., kalo missqueen ya ngepet...," ucap Milas tanpa berekspresi sama sekali. Ketika Milas ngoceh seperti itu aku hanya menatapnya bingung. Seraya berkata didalam hati. "Ini orang kenapasih!, apa sih!."
Lalu disaatku sedang memandanginya keheranan, Ia pun tiba-tiba melirih kearahku seraya berkat. "Intinya, segala sesuatu itu ada Obatnya Silv." Sahut Milas dengan tatapan serius menatap mataku. Yang mana tatapan dan perkataan Milas saat itu benar-benar membuatku kembali terdiam kaku.
Mungkin itu terdengarnya seperti tidak bermakna sama-sekali, dan itu yang aku pikirkan ketika Milas berkata seperti itu, namun kenyataanya kata-kata itu meski begitu simpel, akan tetapi menurutku itu memiliki arti yang sangat dalam. "Segala sesuatu itu ada Obatnya." Aku yang saat itu masih sangatlah bodoh dan labil pada akhirnya hanya menganggap itu adalah sebuah gumaman belaka yang dilontarkan oleh Milas.
Aku pun tertawa kecil menghina ucapan Milas tersebut. "Apa-apaan tuh... Segala sesuatu itu ada obatnya."
Dengan mata yang masih terus menatapku tajam, Milas sekali lagi berkata. "Yap, segala sesuatu itu ada obatnya." Cetus Milas tegas.
Lalu kemudian ia mengalihkan pandanganya dariku, dan kembali memandangi langit biru. "Jika lo bilang gak ada seseorang yang mengangap lo, maka tinggal cari seseorang untuk jadi obat dari masalah itu, dan gua siap buat jadi obat penyakit lo itu." Sahutnya dengan tanpa ekspresi sama sekali.
Aku pun lalu tersenyum murung seraya menatap kearahnya. "Gua rasa gak sesimple yang lo pikirkan Mil."
Milas menghelas nafas sejenak, sementara itu aku masih terus memandanginya. "Huh, Gua emang gak ngerti perasaan lo saat ini tuh gimana, tapi yang jelas gua mau ngasih sedikit masukan, boleh ?" Tanyanya serius.
Aku pun tak melarangnya sama sekali, justru saat itu aku pun benar-benar ingin tau masukan apa yang akan diucapkan oleh seseorang seperti Milas Scarlet. "Ya..., silahkan, lagipula itu hak lo kok." Ucapku seraya mengalihkan pandangan dari Milas, dan kemudian menunduk dan memeluk kakiku.
Dengan sangat tenang, yang mana itu tak seperti biasanya ia berbicara panjang lebar kepadaku. "Kalo menurut gua nih ya, sebarat apa pun itu masalah yang lo laluin saat ini, sesulit apapun itu, inget satu hal Silv, kalo masih banyak orang diluar sana yang ingin hidup diposisi lo saat ini, masih ada miliaran orang diluar sana, berdoa setiap hari agar bisa hidup diposisi lo saat ini, masih ada orang-orang yang terus berjuang dalam hidupnya demi berada diposisi lo yang sekarang Silv, intinya jangan pernah menyia-nyiakan segala sesuatu yang lo punya Silv, terlebih lagi, masih banyak orang yang peduli sama lo kok, inget lo gak sendiri."
Aku pun lalu sedikit tersenyum geli mendengarkan perkataan Milas, yang terkesana terlalu berlebihan barusan. "Seandainya emang bener kayak begitu Las, gua gak akan berada disini." Ucapku menanggapi ucapannya barusan.
Milas menatapku kembali dengan serius. "Dan seandainya perkataan gua salah, lo gak akan berada disini juga Silv," ucapnya serius. "Masih ada orang tua lo yang peduli dan sayang sama lo Silv, kalo orang tua lo gak peduli sama lo, lo gak bakalan tuh ada disini, lo gak bakalan tuh punya baju bagus, sepatu bagus, bekel yang setiap hari lo bawa, peralatan mandi yang setiap hari lo pake, dan lain lain." Ucap Milas panjang lebar.
Aku pun berniat mencoba untuk membela diriku ."Tapi Las..."
Namun Milas pun langsung memotong kata-kataku secepat tukang parkir minimarket datang ketika kita ingin keluar minimarket. "Tapi, tapi mulu lu Silv, dengerin gua dulu, gua belum selesai!," Seru Milas ngotot memarahiku. "Intinya meski orang tua lo gak punya waktu buat lo, atau bahkan terlihat gak peduli sama lo, percayalah, sebetulnya mereka itu sayang sama lo, mereka hanya punya caranya sendiri untuk buat nunjukin kasih sayangnya ke lo Silv." Sahut Milas dengan nada tinggi.
Lagi, lagi dan lagi, Milas selalu membuat hatiku merasa bahwa aku sedang berada diposisi yang salah, ia sekali lagi berhasil membuat keteguhan hatiku ini goyah dan membuat hatiku yang telah akututup rapat-rapat perlahan mulai terbuka.
Tentu saja aku menyadarinya bahwa apa yang telah aku lakukan kepada kedua orang tuaku adalah tindakan yang salah. Karna meski ia menyalahkanku atas semua yang terjadi di Bandung, dan tak mau mendengarkan satu kata penjelasan dari diriku, bukan berarti aku harus menutup diriku kepada orang tuaku, bukan berarti aku harus terus menyalahkan kedua orang tuaku terhadap apa yang telah aku alami. Aku tau aku egosi, aku tau selama ini aku hanya berpikir orang-orang jahat kepadaku, dan aku tak mempercayai siapa pun karna itu, bahkan termasuk kedua orang tuaku.
Ya, aku tau itu semua, akan tetapi sayang tak ada yang memberi tauku akan hal itu, tak ada yang berani berkata padaku bahwa apa yang aku lakukan salah, bahwa apa yang aku lakukan kepada kedua orang tuaku adalah suatu tindakan yang tidak baik untuk dilakukan, tak ada seorang pun, bahkan termasuk kedua orang tuaku. Kecuali dia, Milas Scarlet.
Ia datang bagaikan hantu, tak pernah aku undang dia sebelumnya, dan tak pernah juga terlintas dalam pikiranku bahwa dialah orang yang akan melakukan hal itu. Bahwa dialah yang menyadarkanku dan memberitahuku bahwa apa yang aku lakukan adalah salah.
Pada akhirnya aku sadar,bahwa yang aku butuhkan bukanlah seseorang yang ada untuk menyayangiku dan mendukung seluruh keputusanku, atau pun yang seseorang yang mempercayai seluruh ceritaku, akan tetapi yang aku butuhkan adalah seseorang yang bernai untuk mengatakan bahwa aku salah. Seseorang yang berani menyadarkanku akan kesalahanku, dialaha orang yang paling aku butuhkan saat ini.
Ketika aku tersadar bahwa apa yang telah aku lakukan, terutama kepada orang tuaku itu adalah salah, mungkin apa yang Milas katakan itu benar, bahwa orang tuaku sangat amat mencintaiku, namun seperti itulah cara mereka mengungkapkan cintanya kepadaku, aku pun lalu merenungkan itu semua, ku memejamkan mataku seraya membayangkan kedua orang tuaku berada dihadapanku.
Kemudian, tanpa aku sadari, air mataku seketika mengalir deras menghujani pipiku. Air mataku terus mengalir bahkan sampai-sampai membasahi seragam sekolahku, aku sudah tidak tau lagi, sudah berapa lama aku tidak menangis seperti ini sejak terakhir kali adalah saat kejadi buruk di Bandung menimpa diriku.
Milas tiba-tiba saja menghapuskan air mataku yang terus mengalir itu menggunakan jarinya. "Udah..., kalo gitu saran gua sekarang lo pulang, dan minta maaf ke orang tua lo Silv, mereka pasti ngerti kok." Ucap Milas memberikan saran dengan sangat gentel.
Seraya mencoba menahan tangis, aku pun menganggukan kepalaku dan berkata. "Ya," ucapku seraya menghapus air mataku menggantikan Milas. "Makasih, by the way."
Milas pun tersenyum simpul. "Gak usah bilang terimakasih, gua gak ngelakuin apa-apa." Ucapnya dengan terlihat sangat bijak.
Lalu aku pun berniat berdiri untuk segera pergi kerumahku untuk menemui orang tuaku. Namun sebelum aku beranjak dari duduk manisku, aku terlebih dahulu mananyakan sesuatu yang sebetulnya mengganggu pikiranku sejak awal Milas menghampiriku. "Hei Milas, boleh gua tanya sesuatu ?" Tanyaku seraya tersenyum simpul.
Milas pun menganggukan kepalanya dengan sangat cepat seraya tersenyum penuh semangat, layaknya anak-anak yang sedang bermain di arcade. "Tanya aja Silv !"
"Kenapa dikelas tadi lo gak sama sekali negor gua, gak kayak biasanya, apa itu karna lo malu ?" Tanyaku serius.
Milas dengan santainya pun menjawab. "Oh itu, gua gak negor lo karna gua tau itu pasti ganggu banget buat lo, gua menghormati lo yang gak mau orang-orang tau bahwa lo bisa ngomong, terlebih setelah gua tau alasan lo apa, lagi pula kitakan masih bisa ngobrol panjang lebar disini, jadi gak ada alesan buat ngajak ngobrol lo dikelas," ucapnya dengan begitu bijaknya. Milas pun lalu menatapku seraya tersenyum cengegesan." Dan pastinya bukan karna gua malu, mana mungkin gua malu punya temen sehebat lo Silv, gua justru bangga kalo punya temen sekeren lo Silv, andai orang-orang tau kalo gua ini temenan sama lo, pasti gua pamerin, hehehe."
Jawaban Milas tersebut ketika itu, benar-benar membuatku bahagia bukan main, aku sangat-sangat senang ketika ia bilang bahwa aku adalah temannya, meski aku baru saja mengenalnya, tapi entah mengapa aku merasa seperti sangat-sangat cocok dengannya, entahlah aku tidak terlalu mengerti, tapi dapatku katakan bahwa disaat aku duduk disini, diatap sekolah dengan ditemani angin sepoi-sepoi yang mengibas rambut kami, aku merasa kenyamanan yang tak pernah aku rasakan sebelumnya.
Lalu aku pun membuang pandanganku dari Milas dan setelah aku memastikan bahwa Milas tak bisa melihat ekspresi wajahku saat itu, aku pun langsung tersenyum bahagia. Setelah itu aku pun kemudian berdiri dari duduk manisku itu, dan bersiap untuk pergi.
Aku pun membalikkan badanku menghadap kearah pintu keluar. "Hei, boleh gua tanya satu kali lagi ?"
Dan untuk yang terakhir kalinya, aku pun menanyakan sesuatu kembali, sesuatu yang juga menggangu pikiranku sejak tadi. Bahkan sejak terakhir kami bertemu. "Ya..., silahkan." Ucapnya tanpa ekspresi.
"Kenapa lo manggil gua dengan sebutan Silv sih Mil ?"
Milas pun kemudian juga ikut berdiri, dan berkata. "Biar keren aja, Sil terlalu biasa, Silvia terlalu panjang, dan juga biar Cuma gua yang manggil lo kayak begitu, jadi anti mainstream kan... hehehe." Ucapnya dengan nada bercanda.
Aku pun lalu tersenyum geli setelah mendengar jawabanya itu. Bagiku itu merupakan alasan yang sangat-sangat bodoh, kenpa ia repot-repot menabahkan huruf V sementara dia males menabahkan huruf I dan A pada penyebuttan naman, tapi harus aku akui, aku suka itu. Aku lalu membalikkan badanku, seraya menatap Milas. "Huh ? Alasan macam apa itu," seru ku tersenyum geli. "Aneh, tapi gua suka." Lanjutku memujinya.
Setelah mengatakan hal itu, kemudian aku pun langsung berlari pergi meninggalkan Milas, aku berlari menuju pintu keluar atap sekolahku, namun sebelum sampai di pintu keluar, Milas menahanku dengan memegangi tangan kananku.
"Tunggu, biar gua anter !" Serunya bersemangat.
"Gak usah gua bisa sendiri." Ucapku menolak dengan tegas.
"Ayolah Silv, lo taukan ini masih jam pelajaran ?!" Milas lalu tersenyum licik, dan ketika ia melakukan itu, aku tau bahwa ada sesuatu yang tidak beres yang sedang ia pikirkan atau rencanakan.
Lalu dengan penuh keragu-raguan dan kehati-hatian aku pun berkata. "Ya-ya...." Ucapku menerka-nerka.
Milas tersenyum licik kembali. "Jadi emangnya lo pikir lo bisa keluar dari sekolah ini gitu aja, emangnya satpam bisa ngizinin gitu aja lo keluar dari sekolah disaat masih jam pelajaran ?!" tanya mendikte. Aku pun sebenarnya ingin menjawab semua pertanyaannya itu dengan sebuah kalimat. "Ya... tinggal minta izin aja." Akan tetapi belum sempatku berbicara di sudah langsung melanjutkan kembali omonganya itu. "Gak kan ?!" serunya dengan tegas . "Jadi, biar gua yang urus itu semua, hehehe," ucapnya dengan senyuman licik khasnya itu "Gua tau caranya gimana." Serunya seraya kemudian ia menarik tanganku, kami berdua pun pada akhirnya turun dari atap sekolah bersama-sama, dengan Milas yang masih terus menarik-narik tanganku meski pun belum aku bilang 'Iya'.
Alhasil karna itu pun akhirnya aku mau tidak mau hari itu akan pulang diantar oleh Milas. Milas pun langsung membawaku pergi ke parkiran motor, dimana motornya diparkir saat itu. Sesampainya didepan motornya ia memberikan helm kepadaku, yang mana itu aslinya merupakan helm milik Gaby.
Setelah menerima helm tersebut, aku rada sedikit ragu tentang tindakan yang aku dan Milas ambil. "Ini yakin kita mau pergi tanpa izin dulu, itu artinya kita bolos dong ?!"
Dengan begitu bahagianya ia tersenyum sumeringah kepadaku seraya berkata. "Yaiyalah, lo pikir emangnya kenapa gua mau repot-repot nganterin lo," Milas pun lalu menaiki motornya. "Simbiosis mutualisme Silv, lo gua anter pulang, gua bisa bolos hehehe."
Aku pun sedikit heran dengan stetmen yang Milas sampaikan. "Kalo mau bolos kenapa harus nunggu gua Las, kan lo bisa sendiri ?"
"Kalo dihukum sendirian gak asyik Silv," jawabnya dengan tanpa berdosa. Sumpah jujur banget manusia satu ini. Dia dengan jelas memberitahuku bahwa aku dimanfaatkan agar jika dia dihukum karna bolos, aku akan menemaninya saat masa hukuman nanti, licik tapi jujur, jujur aku suka itu. "Udah Silv, jangan kebanyakan bengong, cepet naik."
"Owh okey." Ucapku seraya kemudian aku menaiki motornya itu.
Setelah aku berada dimotornya, satu kali lagi aku bertanya kepadanya. "Terus gimana cara kita ngelabuhin pak satpam ?" Tanyaku yang begitu penasaran.
Milas lalu lagi-lagi tersenyum licik, sampai-sampai aku pun sedikit takut melihat senyuman liciknya itu. "Kalo masalah itu, biar gua yang urus."
Lalu akhirnya kami berdua pun pergi menuju rumahku, dan untuk masalah satpam, Milas tentu saja mempunyai caranya sendiri untuk bernegosiasi dengan pak satpam SMA Pancasila.
Dan yang ia lakukan saat itu benar-benar mengangetkanku, jadi saat itu Milas hanya tinggal menyogok pak satpam dengan membeli dangan pak satpam, yaitu sebotol air mineral. Kata Milas, sebotol air mineral di SMA Pancasila ini bisa menjadi sebuah tiket keluar masuk anak-anak SMA Pancasila ditengah jam pelajaran seperti ini. Biasanya anak-anak menggunakannya agar bisa jajan atau membeli makanan dari luar sekolah, yang mana makanan di kanti SMA Pancasila sangatlah mahal, dan tentunya makanan diluar jauh lebih murah.
Hanya saja, rahasia ini tidak banyak diketahui orang-orang, hanya orang-orang tertentu seperti Milas dan teman-temannya sajalah yang tau akan tiket keluar masuk SMA Pancasila ini. Dan Milas pun mengatakan kepadaku bahwa jika anak-anak ingin membeli sebotol air mineral di pak satpam, maka mereka akan menyebutnya dengan sebutan 'Beli tiket ke surga.' Ya, itulah yang mereka ucapkan.
Nampaknya bertambah lagi aib SMA Pancasila yang merupakan SMA terfaforit di daerah Jakarta Selatan ini, selain banyak anak bermasalahnya, ternyata juga menerapkan sistem penyogokan seperti itu. Tapi ya... itulah uniknya, seperti kehidupan, ada hitam dan ada juga putih.