Chereads / 4 Leaf Clover / Chapter 14 - Masa Lalu

Chapter 14 - Masa Lalu

POV : Silvia Sapphira

Angin terus berhembus kencang kala itu, suara besi getaran besi pembatas yang telah usang itu mengisi keheningan diantara kami berdua kala itu.

Namun tak lama setelah Perkataan Milas yang mengejutkanku itu, seketika membuat suara dari mulutku yang tadi seakan tidak bisa keluar, dengan secara tiba-tiba itu bisa aku keluarkan begitu saja setelahnya. "Jangan bercanda bangsat, jangan pernah main-main dengan hal seperti itu sial!" Teriakku dengan penuh emosi kebencian.

Milas lalu menghela nafasnya sejenak, tubuhnya sempat sedikit bergetar saat itu bahkan ia sempat mengepalkan tangannya guna menghilangkan getaran pada tubuhnya itu, lalu ia kemudian mempersiapkan hatinya terlebih dahulu sebelum ia melanjutkan perkataannya itu. "Gua bakalan cerita tentang masa lalu gua perihal kejadian itu ke Lo Silvia, terlepas dari benar atau tidak, semua itu adalah keputusan Lo untuk percaya dengan apa yang gua ceritain atau nggak, tapi satu hal yang pasti, gua minta Lo jangan pernah cerita masalah ini ke siapapun, terlebih lagi ke Gaby, karna selain gua gak pernah cerita hal ini ke dia, gua juga gak mau buat dia khawatir, terlebih lagi cuma Lo satu satunya orang yang akan gua ceritain masa lalu gua ini, ini semua gua lakukan karna gua merasa kita ini sama Sil." Ucap Milas dengan seluruh keteguhan dihatinya tersebut.

Milas pun kemudian mulai menceritakan masa lalunya yang kelam itu.

Dan dari ceritanya tersebut akhirnya aku mengetahui bahwa bukan aku saja yang mengalami masa-masa buruk sewaktu kecil, karna sewaktu Milas masih duduk di bangku sekolah dasar kelas 5 SD, Milas pernah mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang bahkan tidak ia kenal sama sekali. Milas berkata kepadaku bahwa ia dilecehkan ketika ia sedang bermain di sebuah rental play station, yang mana waktu itu ketika sedang bermain di rental tersebut suasananya sedang cukup sepi, sehingga pria tersebut yang bahkan pada saat itu adalah pertama kalinya Milas melihat orang itu, mengajak Milas untuk mandi bersama dengannya. Milas yang pada saat itu masih kecil, benar-benar merasa takut dengan perawakan laki-laki yang berbadan besar dan dipenuhi oleh tatto tersebut alhasil membuatnya menyetujui ajakan pria itu tanpa pikir panjang lagi. "Toh cuma mandi bareng aja, gak masalah lah...." Pikirnya saat itu ketika ia menerima ajakan pria bertatto itu.

Saat mandi bersama itulah Milas berkata kepadaku bahwa ia merasa dilecehkan oleh pria bertatto itu, meskipun Milas tidak menceritakan secara detail kepadaku tentang apa yang terjadi di dalam kamar mandi saat itu, karna ia tidak ingin membuat rasa traumaku kembali atau bahkan lebih buruk lagi, namun dari kata 'Mengadu pedang' yang Milas lontarkan saja, aku rasa aku sudah cukup tau apa yang sudah terjadi pada saat itu, dari penjelasannya tersebut.

Semua cerita yang Milas ceritakan itu benar-benar mengejutkanku, selain itu sangat sulit untuk aku percaya, namun itu juga merupakan sesuatu hal yang aku rasa cukup mengerikan, bukan hanya masalah pelecehan saja, akan tetapi ini adalah kasus pelecehan sesama jenis dan di bawah umur sekaligus, yang mana untuk seseorang yang menyukai lawan jenis seperti Milas pastinya itu akan sangat membekas sekali didalam kehidupannya.

Jujur saja bahkan aku tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya Milas rasakan ketika ia memberanikan dirinya bercerita seperti itu kepadaku, karna jika itu aku, aku pasti sudah muntah-muntah karna trauma yang aku rasakan itu. Ditambah lagi, aku yang bahkan tidak melihat orang-orang brengsek itu melecehkanku saja, aku sudah merasa seperti hidup di neraka setelahnya, terlebih ketika aku tau mereka masih hidup damai diluar sana, dan disinilah Milas orang yang melihat itu semua terjadi, dengan penuh keberanian menceritakan semua itu kepadaku. Selain merasa iba, seketika aku merasa kagum kepadanya saat itu juga.

Lalu aku yang merasa sudah tenang, dan sedikit penasaran dengan kebenaran cerita yang Milas ceritakan tersebut, kemudian menanyakan kepastian itu kepadanya langsung. "Semua yang lo ceritain ini beneran kan, bukan salah satu cara Lo buat bisa dapetin perhatian gua kan ?" Tanyaku mencoba memastikan.

Milas pun kemudian seketika memasang wajah kesal. "Anying, dah gila Lo ya, Lo pikir gua udah berusaha nahan malu buat ceritain aib gua kayak begini ini, itu Lo pikir itu bercanda ?!" seru Milas dengan penuh emosi.

"Gak ada otak kau Sil!" Lanjutnya dengan suara lantang.

"Ya... maaf kalo gitu." Seruku seraya kemudian aku membuang pandanganku darinya, dan kembali menatap langit biru nan cerah hari itu.

Suasana hening seketika. Aku dan Milas menjadi sangat-sangat canggung pada saat itu, karna Milas yang tiba-tiba saja terdiam setelah bercerita tentang masa lalunya yang pelik itu, aku pun tak tau apa yang harus aku lakukan karna Milas tidak sama sekali memulai pembicaraan padaku.

Seraya angin yang berhembus dan mengibas rambutku kesana kemari, suara Milas pun kembali terdengar di telingaku. "Lalu Lo sendiri gimana Sil, apa masih mau Lo pendam sendiri penderitaan Lo itu ?" Tanya Milas secara tiba-tiba.

Seketika pikiranku melayang kemana-mana, aku tidak bisa fokus dengan apa yang aku pikirkan saat itu, disisi lain aku ingin sekali bercerita layaknya Milas, yang bisa dengan mudahnya menceritakan masa lalu kelamnya itu kepadaku, namun disisi lain, rasa trauma itu selalu menghantuiku, rasa kecewaku terhadap orang-orang disekitarku membuatku takut untuk bercerita kepada siapapun, aku taku tak ada yang percaya kepadaku, aku takut jika aku menceritakan itu kepada Milas malah semakin membuatku menderita.

Aku ingin, namun aku takut, itulah yang dapatku katakan pada diriku saat Milas menanyakan hal itu kepadaku.

Alhasil aku melakukan kesalahan yang bodoh, sama seperti yang biasa aku lakukan, aku malah membentaknya dengan kasar dan berkata. "Lo gak akan pernah bisa ngerti apa yang gua rasain, apa yang terjadi sama gua dan Lo itu beda," cetusku dengan nada yang cukup tinggi. Aku kemudian menatapnya tajam, dengan mimik wajah penuh emosi aku pun kembali membentaknya. "Apa yang terjadi sama lo, itu semua pure kesalahan lo, karna lo terlalu bodoh, sedangkan gua beda sama lo, lo gak akan pernah ngerti Milas, gak akan pernah !" Teriakku dengan sangat lantang.

Setelah itu jantungku berdegub begitu cepat, nafasku bahkan tak beraturan, wajahku pun memerah, serta tanganku bergertar dengan hebat tepat setelah aku mengatakan kata-kata itu kepada Milas. Itu semua terjadi karna sejujurnya, jauh didalam lubuk hatiku yang terdalam, aku tidak ingin melakukan itu kepadanya, bahkan aku merasa kata-kataku itu sudah sangat keterlaluan.

"Habislah aku..., sehabis ini dia pasti akan langsung membenciku, " ucapku mengeluh didalam hati atas tindak kebodohan yang telah aku lakukan sendiri. "Tapi tidak apa-apa Silvia, apa yang sudah kamu lakukan itu sudah bener, memang sudah seharusnya kamu tidak berhubungan dengan siapa pun, inget Silvia, tidak ada manusia dibumi ini yang bisa dipercaya, you are alone Silvia." Ucapku didalam hati meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang telah aku lakukan adalah suatu tindakan yang benar dan tidak patut untuk disesali.

"Owh kalo soal itu, ya... udah pasti gua gak akan pernah mengerti apa yang lo rasain Sil, dan udah pasti juga apa yang lo alami itu lebih berat dari yang gua alami, lo itu perempuan, gua itu laki-laki, udah jelas masalah lo itu lebih pelik dari pada gua, tapi bukankah justru karna itu alangkah lebih baiknya kalo lo punya seseorang untuk diajak berbicara Sil?" tanya Milas dengan begitu seriusnya.

Ucapannya itu seketika membuat hatiku goyah, semua ucapan kata-kata yang aku lontarkan didalam hatiku, semua keyakinan yang sudah aku kumpulkan seketika goyah oleh kata-katanya tersebut.

"Mungkin lo bisa melampiaskan kekesalan lo itu dengan cara lo berdiam diri, mengasingkan diri atau bahkan mungkin balas dendam, tapi pada akhirnya itu takkan pernah menyelesaikan masalah, karna pada akhirnya kau butuh seseorang untuk berbicara membicarakan itu semua, percayalah padaku Silvia, aku buktinya." Serunya dengan sangat begitu yakin dengan perkataannya itu.

Sementara itu aku masih saja terdiam, berpikir menentukan apa yang terbaik untuk diriku sendiri. "...."

Milas lalu tersenyum tipis kepadaku, sementara aku menatapnya tajam. "Seperti yang udah gua bilang sebelumnya, kesendirian itu menyeramkan. Selama ini lo menderita kan, menyimpan ini semua sendirian Sil ?"

Seketika air mataku mengalir begitu saja ketika mendengarkan ucapan Milas tersebut. Semua kesedihan yang selama ini aku pendam sendirian, semua kekecewaan, semua penderitaanku selama ini, semua pecah ketika Milas mengucapkan kata-kata itu.

"Maksud lo apa sih, kenapa lo selalu menggangu gua Milas, apa salah gua ?!" Ucapku terbatah-batah seraya memarahinya.

"...." Milas pun hanya terdiam tanpa bersuara sedikit pun. Ia hanya menatapku tajam dengan tanpa menunjukan ekspresi apa pun sedikit pun.

Seketika itu benar-benar membuatku kesal, dan membuat emosiku memuncak, sampai-sampai tanganku pun melayangkan pukulan yang cukup keras kearah wajahnya, yang mana itu cukup untuk membuatnya tersungkur ke tanah. "Kenapa, kenapa lo ngelakuin ini sih, apa untungnya buat lo, kenapa, kenapasih ?!" Teriakku kepadanya seraya berusaha menghapus air mataku yang terus menerus mengalir membasahi pipiku.

Dia kemudian bangkit seperti tidak pernah terjadi apa-apa, lalu dengan darah yang terus keluar dari hidung dan bibirnya, dengan begitu kerennya dia berkata. "Gak ada untungnya sih..., tapi gua cuma ngelakuin apa yang pengen gua lakuin, hanya itu aja kok gak lebih," serunya memberikanku alasan. Lalu ia kembali tersenyum tipis kepadaku" Dan melihat lo tersenyum dan merasa bahagia adalah salah satunya."

Keren, gak ada kata-kata selain itu yang bisa aku katakan kepadanya pada saat itu. Ia berdiri tegak layaknya seorang pahlawan dihadapanku saat itu. Meski terluka cukup parah akibat pukulanku ia sama sekali tidak memperlihatkan kemarahan sedikit pun karna hal itu. Sungguh sulit dipercaya.

Aku pun lalu terduduk lemas sembari menangis cukup lama karna hal itu, sementara itu Milas duduk tepat disampingku seraya memandangi langit didalam hatiku aku berteriak. "Kenapa, kenapa disaat aku sudah meyakinkan diriku untuk hidup sendiri tanpa bergantung kepada orang lain malah muncul orang sepertinya, kenapa kau memberiku harapan tuhan, kenapa , kenapa sekarang tuhan, kenapa tuhan, kenapa ?!" Sedangkan disisi lain, sementara itu ia hanya diam dan tidak berkata apa pun kepadaku saat itu.

Lalu kemudian aku memandangi wajahnya yang tiba-tiba saja terlihat begitu keren di mataku, meski dipenuhi darah dari hidung dan mulutnya yang sama sekalo tidak ia hapus.

Kemudian beberapa detik kemudian, disaat aku memandangi wajahnya yang penuh lukaku itu, seketika terlintas di pikiranku.

"Apakah ini saatnya aku bercerita tentang masa laluku kepada orang lain ?" pada akhirnya setelah berbagai pertimbangan, yang mana salah satunya adalah karna Milas sudah berani menceritakan masa lalunya itu, aku pun memutuskan untuk menceritakan masa laluku kepadanya juga.

Dan akhirnya pada hari itu, disiang hari yang cerah itu, dan ditemani oleh angin sepoi-sepoi yang terus berhembus, Aku pun kemudian menceritakan semua masa laluku kepadanya begitu saja dengan lepasnya, semuanya aku ceritakan kepadanya, bahkan dimulai saat aku baru lahir.

Jujur saja, ketika aku menceritakan masa laluku kepadanya, seketika perasaanku merasa lega, seakan-akan semua beban yang membebaniku hilang seketika itu juga. Aku sendiri sujujurnya tidak begitu mengerti mengapa bisa seperti itu, tapi aku rasa, benar apa yang dikatan oleh Milas bahwa dengan menceritakan masalahku kepada orang lain membuatku merasa lega.

Setelah aku menceritakan masalaluku kepadanya, suasana hening sempat tercipta, aku rasa Milas tak tau harus bersikap seperti apa setelah mendengarkan ceritaku. Namun ternyata aku salah, tak lama kemudian tiba-tiba saja dia tertawa geli seraya memasang wajah iba kepadaku. "Hahaha, gak gua sangkat ternyata kehidupan orang kayak lo pelik banget ya Sil." Serunya seraya menatapku iba.

Aku pun sempat merasa kesal mendengarnya mentertawakan ceritaku itu, dan juga aku pun juga kesal dengan tatapan ibanya itu kepadaku. Lalu aku memandanginya sini, menatap dalam kewajahnya dengan penuh kebencian. "Kenapa lo malah ketawa, ada yang lucu ?!" Ucapku sinis.

Milas kemudian tersenyum tipis. "Bukan, bukan itu...." serunya seraya kemudian memandangi langit biru yang sangat cerah saat itu, ia pun kemudian melanjutkan lagi alasannya itu. "Gua pikir apa yang gua alami dulu udah begitu pelik, gua pikir kehidupan masa lalu gua adalah yang paling kelam diantara orang-orang diluar sana, gua juga pikir orang sepintar, secantik dan sehebat lo gak akan pernah merasakan masalah yang berarti, gua bahkan sempet berpikir kalo lo itu orang hanya orang sombong yang memandang orang lain lebih rendah dari diri lo sendiri. Tapi ternyata gua salah, jujur gua malu ketika gua sadar betapa naifnya gua ini. Gua ketawa bukan ngetawain lo, tapi gua ngetawain ke naifan gua ini, maaf ya Sil, gua gak pernah tau kalo kehidupan masa lalu lo itu serumit ini, maaf kalo gua udah ngebuat trauma lo bangkit lagi, sekali lagi gua mintaa maaf." Ucapnya menjelaskannya dengan begitu panjang lebar.

Aku yang tadi sedang memandangi wajahnya yang sedang berbicara serius itu kemudian tersenyum tipis bahagia mendengarkan ucapannya itu, lalu aku pun membuang wajahku dan mulai menatap langit biru yang sama dengannya.

"Ya... gua pikir lo gak salah, karna gua juga sempet berpikir hal yang sama seperti lo, gua sempet berpikir bahwa gua adalah orang yang paling sial dan dibenci tuhan didunia ini, tapi setelah gua denger cerita lo gua mikir lagi, apa semua itu benar, atau cuma gua yang lemah ? dan pada akhirnya gua sadar, masih banyak orang diluar sana yang mungkin menyimpan kesedihan dan kehidupan yang lebih rumit dari pada gua, lalu jika mereka bisa kenapa gua gak !" Ucapku kepadanya memberikan jawaban atas permintaan maafnya tersebut.

"Every story have two side point of view." Seru Milas seraya kemudian ia bangkit dari duduknya dan berjalan menunu pagar besi pembatas yang sudah sedikit usang itu.

"Kata-kata yang bagus." Ucapku seraya mengikutinya dari belakang.

Lalu kami berdua menuju batas pagar besi yang sudah usang, dan dari kejauhan kami berdua pun melihat beberapa murid SMA Pancasila, yang mana sebelumnya beberapa dari mereka ada yang sudah aku lihat tadi.

Dengan hembusan angin yang cukup kencang Milas pun tiba-tiba saja mengajukan sebuah pertanyaan yang cukup mendapatkan perhatianku.

"Gua pernah dengar bahwa manusia itu adalah mahluk sosial, yang hidup dengan cara bersosialisasi maka dari itu manusia gak akan pernah bisa hidup sendirian. Terus bagaimana menurut lo tentang hal itu Silvia, apa lo setuju dengan pernyataan itu ?" Tanya Milas seraya memandangi murid-murid SMA Pancasila dari atas atap sekolah.

Lalu sekali lagi aku memandangi wajahnya yang sedang memandangi para murid-murid SMA Pancasila, memandangi rambutnya yang terhembus kesana kemari karna angin yang berhembus cukup kencang kala itu. Entah mengapa aku merasakan aura yang berbeda darinya kala itu, seperti bukan Milas yang selama ini duduk di sebelahku, menurutku kala itu ia sudah seperti orang lain saja.