POV : Silvia Sapphira
Jam Istirahat pun telah tiba
Seperti biasa, aku selalu membawa bekalku sendiri dari rumah untukku makan ketika jam istirahat telah tiba. For Your Information, Sedari kecil aku tidak pernah sama sekali jajan di kantin, aku selalu saja membawa bekalku ke sekolah untukku makan diwaktu istirahat, sewaktu aku kecil ayah dan ibuku mengajariku untuk makan-makanan yang higienis, oleh karna itu aku selalu membawa dan membuat sendiri makananku. Dan tentu saja, hal itu terus tertanam pada diriku, dan membuat itu terus berlanjut sampai aku duduk dibangku SMA.
Seperti biasa, aku pun pergi kebelakang sekolah untuk menenangkan diriku dari kebisingan kelas dan sekolah yang aku sangat benci ini. Karna hanya dibelakang sekolah saja aku bisa menikmati kehidupan sekolahku ini.
Di belakang sekolah ada sebuah kursi panjang yang berada tidak jauh dari taman sekolah yang belakangan ini baru saja dibuat. Meski tamannya baru saja dibuat, akan tetapi kursi tersebut nampaknya sudah berada jauh sebelum taman itu dibuat, karna kursi itu memang terlihat sudah sangat usang, namun meski begitu, itu terlihat masih sangat kuat untuk dijadikan tempat untuk beristirahat, aku sendirilah saksinya.
Angin disana selalu berhembus cukup kencang, terlebih jika keadaan mendung, tempat itu benar-benar akan terasa sangat dingin. Beruntung diriku, hari itu adalah hari yang sangat cerah, aku pun bisa bersantai disana tanpa harus takut kehujanan atau pun kedinginan.
Sesampainya aku disana, aku langsung duduk di kursi panjang itu, seraya memandangi taman yang terlihat begitu indah dan menyejukkan, lalu mengeluarkan bekalku dari sebua kantung rajut yang aku bawa khusus untuk menaruh bekalku ini.
Tapi untuk pertama kalinya saat itu, Jam makan istirahatku tidak setenang biasanya, karna pada saat itu Milas datang dan menghampiriku yang saat itu sedang enak-enaknya menikmati makanan yang telahku bawa itu.
Lalu ditemenani dengan hembusan angin yang mengibas rambutku kesana dan kemari, aku pun perlahan menyantap beberapa suap nasi dari bekalku. Namun pada suapan kelima, tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan sebuah suara yang tiba-tiba saja melengking dikupingku dari belakang.
"Seru banget nih kayaknya !"
Aku pun tersendat karenanya, karna tersendat aku pun mengalami batuk-batuk kecil sebagai efeknya, lalu dengan sigap seseorang memberikanku sebuah minuman kemasan dingin dengan tutup botol yang sudah terbuka, bahkan isinya pun terlihat sudah tinggal setengah.
Karna saat itu aku sudah sangat merasa tidak nyaman akibat tersendat, maka dengan cepat, mau tidak mau aku pun mengambil minuman tersebut tanpa melihat wajah orang yang memberikanku air kemasan tersebut. Lalu dengan cepat tanpa basa-basi aku pun langsung meminum air kemasan tersebut.
Glek... Glek...
Lalu tanpa mengucapkan sepatah dua kata pun, lalu barulah aku menoleh kebelakang untuk melihat siapa yang memberikanku air kemasan ini. Dan ternyata dia adalah Milas Scarlet, manusia menyebalkan yang duduk di sebelahku.
Dan jujur saja, aku benar-benar tidak habis pikir, bagaimana bisa dia tau bahwa aku berada disini, dibelakang sekolah ?!. Semakin lama aku merasa bahwa mahluk menyebalkan yang satu itu sudah mirip layaknya jelangkung, yang datang tidak dijemput dan pulang tidak diantar.
Benar-benar menyeramkan.
Lalu dengan senyuman simpulnya dia menyapaku, yang mana aku rasa itu sudah sangat telat, karna dia telah mengangetkanku.
"Hai lagi...." Ucapnya seraya dengan tiba-tiba ia duduk di sebelahku tanpa permisi dahulu sebelumnya.
Aku pun langsung mengerutkan dahiku, dan menatapnya dengan penuh emosi Aku benar-benar merasa sangat kesal saat itu. Apaan sih ini orang, nyebelin banget!. Begitulah isi pikiranku saat itu, ingin sekali aku berteriak dan menyuruhnya untuk pergi dari tempat itu saat itu juga.
Milas pun lalu menoleh, melihat kearah sekitarnya. "Sendirian aja nih Sil...." Ucapnya memulai basa-basi.
Aku benar-benar tidak bisa mengerti dirinya sedikit pun.Sudah jelas-jelas jika aku ini sendirian, masih saja dia menanyakan hal yang sudah pasti seperti itu. Ya... meski aku tau itu hanya sekedar basa-basi belaka, namun tetap saja itu sangat menyebalkan, dasar ! Itu benar-benar sangat menyebalkan.
Dan tentu saja karna aku tidak membawa alat tulis, dan aku tidak akan pernah berbicara kepadanya, maka dari itu, pada saat itu aku tidak bisa menjawab pertanyaannya sama sekali, aku hanya bisa menatapnya tajam seraya berharap bahwa aku sedang dalam mood yang baik, dan berharap bahwa ia pergi dan meninggalkanku sendiri.
Milas melirik ke arahku, ia lalu tersenyum seraya berkata. "Gua boleh duduk di sini gak ?" Sahutnya mengatakan hal yang sudah sangat jelas jawabannya.
Ya..., menyebalkan, tak ada kata-kata lain yang dapat mengungkapkan perasaanku saat itu terhadapnya selain menyebalkan. Sudah jelas-jelas ia sudah duduk di sampingku, untuk apa lagi dia menanyakan hal seperti itu ?! bukankah seharusnya jika ia memang ingin meminta izin dariku seharusnya ia lakukan sebelum ia duduk di sampingku ?!. Oh ayolah Milas, bisakah kau tidak menyebalkan untuk sehari saja, dan tolong tinggalkan aku sendiri. Itulah kira-kira isi pikiranku saat itu.
Karna sejak tadi aku hanya diam dan menatapnya tajam, ia pun pada akhirnya sadar bahwa aku sedang dalam posisi tidak bisa menjawab semua ucapannya itu, alias dia sadar bahwa aku tidak membawa sama sekali alat tulis. "Oh iya gua lupa, lo gak bawa pulpen sama buku, jadi gua duduk aja langsung ya, pegel soalnya" Sahutnya seraya menggeser duduknya sehingga mepet denganku.
Aku pun lalu tersenyum kepadanya, namun meski bibirku menunjukan senyuman, akan tetapi tidak dengan mataku. Meski aku memejamkan mataku, akan tetapi ekspresi yangku tunjukan dari mataku adalah layaknya seseorang yang ingin memangsa seseorang lainya. "Sekali lagi, lo udah duduk sialan !" Teriakku dalam batinku ini.
Anehnya dia tidak sama sekali mengerti maksud dari senyuman terpaksaku itu, mungkin ia pikir itu adalah senyuman sapaan, maka dari itu Milas pun membalasnya dengan senyuman juga.
Aku berusaha mencoba untuk berdamai dengan diriku sendiri, karna jika aku terus meladeninya, tentu saja itu hanya akan menyiksa diriku sendiri nantinya. Lalu dengan santainya aku pun melanjutkan lagi makanku seraya terus mengabaikan Milas yang sedang terus menatapku.
Mungkin pada awalanya caraku untuk mendiaminya seakan terlihat telah berhasil, Milas berhenti berbicara dan sama sekali tidak menggangguku, dia hanya diam melihatku makan dengan tatapan layaknya anak kucing di rumah-rumah makan yang berharap-harap akan mendapatkan makanan dari seseorang. Namun hal itu lah yang justru membuatku semakin merasa tidak nyaman, tatapannya yang memelas seraya mulutnya yang seperti sedang menahan air liurnya itu membuatku benar-benar merasa bersalah karna sudah membuatnya seperti itu. Jujur saja aku sedikit merasa risih ketika melihatnya seperti itu, berkali-kali aku menoleh ke arahanya, hanya untuk melihat kondisinya saja.
Jujur saja, biasanya jika ada seseorang yang menatapku seperti itu, normalnya aku akan langsung pergi menghindar atau paling tidak menegurnya, akan tetapi kali ini entah kenapa aku tidak bisa melakukan itu. Entah kenapa hari itu, untuk pertama kalinya aku merasa kasihan terhadap seseorang.
Tatapannya yang melas itu, ditambah tubuhnya yang kurus layaknya seseorang yang terkena busung lapar, membuat hati kecilku ini seakan menjerit-jerit kepadaku. "Kasih aja makanannya !" Belum lagi mimik wajahnya yang seperti gembel itu membuatku semakin tidak berdaya, yang mana pada akhirnya aku pun merasa iba terhadapnya.
Aku pun sangat yakin, jika orang lain berada diposisiku, dan melihat Milas seperti itu, aku yakin mereka juga pasti akan merasa iba berada disampingnya. Oleh karna itu, saat itu hatiku pun tergerak untuk memberikan makananku kepadanya, yang mana hal itu tidak pernah aku lakukan kepada orang lain sebelumnya.
Namun karna aku tidak bisa mengucapkan satu atau dua kata pun, aku hanya menyodorkan bekalku kepadanya seraya mengangkat kedua alis mataku sebagai kode agar ia mengerti bahwa aku menawarkan bekalku kepadanya.
Lalu dengan mata yang berbinar-binar seraya tersenyum lebar ia menatapku dengan penuh kebahagiaan. "Boleh... ?!" Ucapnya begitu semangat.
Aku lalu dengan segera menganggukan kepalaku.
Milas pun lalu tanpa basa-basi langsung mengambil sendokku dan langsung menyantap beberapa suap nasi dengan lauk pauk yang ada di kotak bekal makananku itu.
Tentu saja aku sangat terkejut ketika Milas mengambil sendokku dengan tiba-tiba, karna aku kira dia akan menggunakan tangan untuk memakan bekalku, tapi tidakku sangka dia akan memakai sendokku. Mungkin bagi kalian itu terlihat biasa saja, tapi tidak bagiku, karna sendok itu bekas dari mulutku, yang artinya jika Milas memakai itu tanpa mencucinya terlebih dahulu, itu sudah seperti ciuman tidak langsung. Itulah yang aku pikirkan ketika Milas dengan lahapnya memakan bekalku dengan sendok makanku.
Memikirkan hal tersebut entah mengapa mengingatkanku kembali akan kejadian disaat aku dilecehkan beberapa tahun yang lalu, seketika rasa mual datang begitu saja, bahkan bukan hanya rasa mual, rasa sakit penderitaan yang selama ini aku pendam tiba-tiba saja muncul kembali.
Tiba-tiba saja wajahku memerah dana serasa ingin muntah, untuk menahan ekspresi itu aku pun berusaha mengalihkan pandanganku dari Milas, dan menutup mulutku dengan cepat. Dan beruntung Milas yang terlalu menikmati makananku itu, tidak menyadari tingkah aneh dariku itu.
Milas pun hanya tersenyum, lalu seraya mengunyah dia berkata. "Enak juga masakan lo Sil, pantes lo lebih milih bawa bekel ketimbang makan di kantin, masakan lo lebih enak ketimbang makanan di kantin sih hehehehe." Pujinya seraya terus mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya itu.
Karna itu masakanku sendiri, entah kenapa, moodku yang tadinya tidak enak, tiba-tiba saja berubah seketika. Aku merasa benar-benar senang saat itu, bahkan tanpaku sadari wajahku tersenyum dengan sendirinya.
Dan dengan tatapan polos Milas pun memuji senyumku, yang mana itu membuatku salah tingkah dihadapannya, aku lalu membuang wajahku kembali dari pandangannya. Lalu tanpa merasa terbebani apapun dengan santainya Milas pun berkata. "Nah gitu dong Sil..., senyum, kan manis.... " Ucap Milas seraya terus memakan bekalku.
Jujur saja, aku pun merasa senang serta malu disaat yang bersamaan saat itu. Aku senang karna sudah lama aku tidak pernah dipuji dengan wajah setulus itu oleh orang lain, dan itu membuatku benar-benar senang. Dan tentu saja aku malu karna aku hampir tidak pernah merasakan pujian dari orang lain, jadi sudah sewajarnya aku merasa malu dan tidak ingin ada orang yang melihat wajah memerahku, terlebih lagi jika yang melihatnya itu adalah manusia yang menyebalkan seperti Milas, yang mana pasti nantinya dia akan selalu mengungkit-ungkitnya kembali.
Setelah Milas selesai makan ia pun tidak lupa mengucapkan terimakasih kepadaku. "Thanks Sil." Ucapnya seraya menundukkan kepalanya kepadaku.
Aku pun hanya bisa menganggukan kepalaku sebagai kode mengatakan. "Sama-sama."
Setelah itu, keheningan mulai tercipta, aku yang tidak bisa berbicara serta Milas yang biasanya banyak bicara namun tiba-tiba saja diam, membuat suasana menjadi sangat canggung. Aku tidak tau ingin berbuat apa, apa aku langsung pergi saja, atau aku pamit kepadanya dan kemudian pergi, aku benar-benar tidak tau apa yang harusku perbuat saat itu.
Lalu ditengah keheningan tersebut, angin berhembus cukup kencang sehingga membuat rambutku berkibas kesana kemari, selain itu angin kencang tersebut juga membuat daun dari tanaman berhembus kesana kemari. Aku lalu memandangi daun-daun dari tanaman yang bergerak akibat angin itu seraya terus merasa kebingungan tentang apa yang akan aku lakukan saat itu.
Tiba-tiba secara sebuah kebetulan Milas pun memulai obrolan yang memecah kecanggungan itu. "Lo tau gak darimana gua bisa tau kalo lo lagi makan disini." tanyanya seraya memandangi taman yang berada dihadapan kami berdua. "Gua tau, karna gua sering ngeliat lo makan disini dan bahkan selalu di kursi ini, bahkan mungkin hampir setiap hari." Ucap Milas seraya kemudian melirik kearahku.
Saat itu aku benar-benar terkejut mendengarkan ucapannya itu, itu semakin membuat otakku terus berpikir. "Dari mana ia mengetahui itu, dan sejak kapan ia tau akan hal itu ?" Aku lalu menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya, aku terus menatapnya seraya mengharapkan sebuah jawaban pasti yang bisa menghilangkan rasa penasaranku ini.
Milas kemudian menatap tajam kedalam mataku, seraya tersenyum sedih ia berkata.
"Sebetulnya Sil, gua selalu pengen banget nyamperin lo dari dulu, cuma gua takut," ucap Milas yang kemudian tiba-tiba saja mulai mendesit seperti menahan tawanya. "Gua takut kalo lo itu ternyata setan Sil !, soalnya lo itu putih cantik dan nggak pernah berekspresi sama sekali, bener-bener serem njir." Ucapnya menambahkan seraya tertawa lepas menertawakan hal tersebut.
Awalnya aku terkejut, aku terkejut ketika Milas bilang bahwa ia takut kepadaku, aku pikir ia takut karna aku ini Silvia Sapphira, cewek yang bisa menghajar orang sampai membuatnya masuk rumah sakit. Akan tetapi aku terkejut ketika dia berkata bahwa dia takut kepadaku karna menganggapku itu sebuah penampakan.
Ya..., tentu saja itu tidak membuatku marah, justru perkataanya itu benar-benar membuatku terhibur, aku pun lalu tersenyum kepadanya seraya menahan tawaku.
Lalu Milas pun kemudian membalas senyumanku itu, ia tersenyum dan melirik memandangi keseluruh bagian tubuhku itu. "Hehehe, soalnya lo cantik banget sih Sil, putih..., rambutnya panjang pula, tapi tatapan lo dingin banget. Jadi takut gua buat nyamperin, di tambah lagi ada rumor disekolah ini kalo katanya disekolah kita ini ada setan cantik! Nah makanya gua takut negor lo saat itu Sil, hehehe sorry ya. " Ucap Milas menjelaskan.
Aku bener-bener terasa terhibur dengan kebodohannya Milas, padahal aku sendiri bahkan tidak mengerti bagian mana cara untuk menghibur diriku sendiri, namun dia, Milas Scarlet, manusia yang sangat menyebalkan itu, meski hanya sebentar saja bersamaku, ia bisa membuatku sebahagia ini, ia dapat membuatku merasakan sesuatu yang sudah lama hilang dariku.
Milas Scarlet, dia benar-benar pria yang sangat bahaya. Aku harus menjauhinya, itulah pikirku saat itu.
Disaat aku sedang tersenyum menatap kearahnya, lalu dia pun mulai bercerita kembali. "Tapi ya Sil, setelah lo mendaratkan pukulan ke muka gua dan membuat gua pingsan seketika itu juga, Gua jadi tau kalo lo itu manusia biasa, jadi gua gak takut lagi buat nyamperin lo kesini Sil hehehe. " Ucapnya seraya tertawa cengngengessan.
Ucapan Milas itu adalah perkataan penutup darinya, karna setelah itu bel masuk sekolah pun berbunyi.
Tak terasa sudah setengah jam aku berada disini. Bel tersebut pun seketika memecah suasana obrolan satu arahku dengan Milas.
Entah kenapa saat itu, aku tidak ingin itu berakhir, aku tidak ingin masuk kedalam kelas, aku ingin terus disini, berbicara kepadanya, tak apa meski hanya satu arah sekali pun. Karna jauh didalam lubuk hatiku, aku menginginkan ini, aku menginginkan sebuah kehangatan dari orang lain, karna aku sudah muak akan kesendirian.
Kesendirian itu menyakitkan, meski aku selalu terlihat seperti orang yang kuat disaat aku sendiri, meski itu pun adalah pilihanku sendiri, namun pada kenyataanya itu sangat amat menyakitkan, dan aku benar-benar tidak pernah ingin merasakan kesendirian ini.
Ingin rasanya aku berteriak. "Aku takut sendirian."
Namun disaat Milas melangkah pergi meninggalkanku, aku berusaha meyakinkan diriku kembali bahwa. Orang lain itu tidak bisa dipercaya, karna mereka pada akhirnya hanya akan memikirkan diri mereka sendiri. Mereka akan mengkhianatimu, mereka akan menyakitimu, sendiri itu adalah satu-satunya pilihanmu Silvia. Karna hanya dirimu sendirilah yang dapat membuat kebahagian untuk dirimu. Ingatlah kejadian 3 tahun lalu, ingatlah perbuatan Rian kepadamu, ingatlah apa yang terjadi kepadamu ketika terakhir kali kau percaya kepada orang lain. Kesendirian itu memanglah menyeramkan, akan tetapi penghianatan adalah neraka. Aku tidak ingin merasakan neraka lagi. Jadi mulai sekarang lupakanlah keinginanmu untuk hidup bersama orang lain Silvia Sapphira. Itulah pikirku saat itu.
Aku pun saat itu memutuskan, untuk berusaha sebisa mungkin agar tidak berhubungan dengannya lagi, karna dia Milas Scarlet sangatlah berbahaya bagiku.
Setelah Milas cukup berjalan jauh didepanku, aku pun lalu menyusulnya dari belakang,seraya terus berusaha menjaga jarak darinya.