Chereads / 4 Leaf Clover / Chapter 10 - Duel Burung

Chapter 10 - Duel Burung

POV : Silvia Sapphira

Keesokan harinya.

Hari itu adalah hari pertama dimana aku menjadi seorang wakil ketua kelas. Jujur saja, meski aku ini pintar, akan tetapi aku tidak pernah sekali pun dipercaya menjadi wakil ketua kelas apalagi ketua kelas. Ya... mungkin itu wajar, karna kepribadianku yang tertutup, dan sulit berteman, membuatku sangat tidak cocok dengan posisi itu.

Terlebih semenjak SMP, aku tidak memiliki teman satu pun, ya... memang itu terlihat mengenaskan, dan sekaligus terlihat sangat mustahil untuk seorang wanita cantik sepertiku. Bahkan mungkin sebagian dari orang-orang diluar sana pastinya akan mengira bahwa aku adalah wanita yang cukup populer disekolah, karna selain cantik, aku juga pintar, baik dalam bidang akademik mau pun olahraga sekali pun. Sempurna, itulah kata-kata yang seringku dengar keluar dari mulut orang lain ketika melihatku secara sepintas.

Sejujurnya aku juga tidak begitu mengerti, mengapa aku sulit sekali berteman sejak dulu, mungkin karna sejak dulu aku sangat sulit untuk bisa mempercayai orang lain, mungkin itulah alasan yang paling tepat untuk menjawab itu semua.

Lalu, pada hari itu diadakan rapat antara pengurus kelas dengan para guru, sekolah ini memang selalu mengadakan rapat setiap terpilihnya pengurus kelas, ini memang sungguh merepotkan dan juga sebetulnya bagiku hal ini tidak terlalu penting juga, aku tidak mengerti, mengapa sekolah ini mempertahankan tradisi tidak berguna seperti ini.

Ya... meski pada dasarnya hanya dengan ketua kelas yang datang untuk mewakili saja itu sudah cukup, akan tetapi Si manusia super nyebelin itu (Milas) terus-terusan memintaku untuk ikut bersamanya. Meski sudah aku acuhkan akan tetapi seperti biasanya, semangat pantang menyerahnya itu membuatku tidak bisa berkata tidak, alhasil aku pun mau tidak mau ikut dengannya.

Sebetulnya aku sempat mendorongnya hingga tersungkur ketika aku merasa sangat terganggu dengan paksaanya itu, akan tetapi reaksi Milas yang terlihat seperti tidak terjadi apa-apa itu benar-benar meng-ngagetkanku.

Ketika aku mendorongnya dengan sekuat tenaga hingga ia terjatuh ia hanya berkata. " Aduh! Kampret! " Ucapnya ketika dia terjatuh.

Lalu melihat Milas yang jatuh tersungkur sejujurnya, Gaby seketika itu juga langsung terlihat emosi dan ingin menghampiriku dengan wajah yang terlihat memerah layaknya teko yang ingin meluap-luap akibat mendidih.

Tetapi saat itu Milas dengan segara langsung berdiri, dan kemudian dengan cepat ia menarik tanganku seraya berkata. "Dah lah... kuy." Serunya dengan tersenyum lebar. Ia sama sekali tidak menunjukkan rasa marah, benci atau dendam sama sekali kepadaku, ia terlihat seperti tidak pernah terjadi apa-apa, dan itu benar-benar membuatku tidak bisa berkata apa-apa selain mengikutinya. Aku benar-benar tak tahu lagi harus berbuat apa untuk menolaknya, aku benar-benar menyerah kepadanya saat itu.

Pada akhirnya aku pun ikut bersamanya menuju ruang guru untuk menghadiri rapat rutin tahun ajaran baru itu. Saat itu Milas terus saja menuntunku, ia bahkan tak melepaskan genggaman tangannya dari tanganku sedetik pun, ia terus saja menarik tanganku dengan tatapan wajah polos tak berdosanya itu. Meski saat itu aku sedikit merasa kesal karna sudah ditarik paksa olehnya akan tetapi setelah aku melihat sekitarku, ternyata para murid-murid banyak yang melihat kami berdua, seolah-olah mata mereka hanya tertuju kepada kami, kepada Aku dan Milas. Dan jujur saja, pada saat itu melihat tatapan mereka itu, aku tidak merasa mereka menatap kami seperti seorang sepasang kekasih, justru aku merasa tatapan mereka itu seperti sedang menatap seorang anak yang diseret untuk masuk sekolah oleh ayahnya. Dan itu juga lah yang aku rasakan saat itu.

Rapat pun berjalan dengan lancar, meski aku tidak berbicara sama sekali dan hanya diam dan memperhatikan, namun Milas bisa dengan sangat lancar menjalankan tugasnya sebagai ketua kelas. Lalu kemudian aku pun sempat berpikir bahwa ternyata orang itu dapat diandalkan juga ketika sedang serius, aku kira hanya badut yang hanya bisa menghibur saja. Aku rasa aku mulai sedikit mengerti mengapa Pak Ridwan menunjuknya sebagai ketua kelas.

Setelah selesai rapat, kami berdua pun kembali ke kelas kami, kali ini aku tidak lagi ditarik paksa olehnya seperti tadi, ya... kurasa mungkin itu karna ia tak mempunyai tuntutan lagi, jadi ia tidak peduli denganku lagi.

Sesampainya aku dikelas, aku pun langsung duduk di bangkuku seraya menempelkan wajahku di meja seraya memasang wajah bosanku. Tentu saja wajah bosanku itu bukan karna tingkah Milas, melainkan karna isi rapatnya yang sangat-sangat membosankan.

Melihat wajahku yang sangat terlihat sedang merasa bosan, Milas pun tanpa ragu-ragu langsung menanyakan hal itu kepadaku. Ia mendekatkan wajahnya ke wajahku, seraya menempelkan wajahnya juga pada meja, wajah kami pun kemudian saling bertatap-tatapan, bahkan saat itu aku merasa matanya seperti menatapku mataku dengan tajam. "Ngapa lo Sil, muka lo kok ditekuk begitu ?" Tanyanya seraya tersenyum menatapku.

Aku pun seketika terkejut melihat wajahnya yang begitu dekat dengan wajahku, karna aku merasa risih dengan hal itu, aku pun lalu mengangkat wajahku, lalu membuang pandanganku darinya.

Dan karna aku membuang wajahku darinya, Milas pun akhirnya menepuk pundakku seraya berkata. "Hmn, kalo begitu, gua bakal ngehibur lo Sil, dengan sebuah tebak-tebakan tentunya !" ucapnya begitu bersemangat. "Mau denger tebak-tebakannya gak Sil... ?" Tanyanya seraya membalikan badanku, sehingga ia bisa melihat kembali dan menatap wajahku yang menunjukkan mimik wajah merasa bosan.

Aku pun lalu menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai jawabanku dengan wajah yang datar. Kemudian aku memalingkan wajahku kembali darinya.

Sedangkan Milas yang tidak begitu peduli akan hal itu, tetap terus mengoceh tanpa mempedulikan apa kemauanku. "Tapi bodo amat. Lo mau dengerin atau nggak, gua gak peduli, gua bakal tetap ngasih tebak-tebakannya." Ucapnya ngeyel.

Seperti yang sudah aku duga, sikap pantang menyerah dan masa bodonya itu adalah hal yang sangat-sangat menyebalkan darinya.

Jujur saja aku sangat membenci hal itu. Ingin sekali aku menghajarnya kembali dengan kedua tanganku ini, akan tetapi jika itu Milas, itu akan menjadi hal yang sia-sia. Dia akan tetap terus mengajukan teka-teki bodohmu itu.

Tapi dari semua itu, hal yang paling membuatku kesal adalah, dia masih menanyakan apakah aku mau mendengarkannya atau tidak meski pada akhirnya ia akan tetap memberitahuku, jikalau begitu bukankah seharusnya ia tidak pernah menanyakan hal itu, menyebalkan... benar-benar sangat menyebalkan.

Kemudian Milas mengangkat kedua tangannya, lalu kedua tangannya itu mulai membentuk sebuah burung dari jari-jari tangannya, lalu ia pun dengan cepat menggerakkannya melewati mataku yang sedang menatap papan. Seraya menirukan suara burung ia berkata. "Lebih cepat mana, burung Falcon atau burung Elang yang kebelet boker dalam hal terbang ?"

Tanyanya mengajukan tebak-tebakan kepadaku. Dan lagi-lagi, sebuah pertanyaan yang tidak berguna seperti biasanya muncul dihadapanku.

Karna aku sangat membenci suaranya yang berisik itu lalu, agar ia tidak banyak bicara lagi kepadaku, aku pun langsung memberikan jawabanku kepadanya. Aku pun menulis di sebuah kertas. "Falcon." Aku menjawab Falcon karna normalnya memang Falconlah yang memiliki kecepatan paling tinggi diantara parang unggas, atau bahkan mahluk hidup sekali pun.

Akan tetapi perasaanku mengatakan bahwa jawabannya akan menjadi Elang, karna ya... sudah pasti, Milas tidak akan memberikan jawaban yang normal, karna aku rasa normal bukanlah salah satu bagian dari dirinya.

Milas lalu tersenyum kegirangan seraya berkata. "Salah !"

Ucapnya seraya memasang mimik wajah sombongnya yang sangat menyebalkan itu.

Kemudian ia memandangku rendah, seraya tersenyum meledek ia berkata. "Kan tadi gua bilang Sil, burung Elangnya itu yang lagi kebelet boker. Nah, orang yang kebelet itu bisa melampaui batasannya, jadi yang menang jelaslah burung Elang! Karna burung Elang yang sedang kebelet bisa melampaui batas kecepatannya." Ucapnya dengan begitu sombongnya.

Pada dasarnya aku sudah mempersiapkan diriku dengan jawaban terburuk yang mungkin akan keluar dari mulutnya itu, akan tetapi jawabannya yang terlalu bodoh itu membuatku tidak bisa menahan emosiku sedikit pun. Terlebih lagi, wajahnya itu loh! Wajah sombongnya itu benar-benar membuatku kesal bukan main.

Seketika wajahku pun memerah layaknya panci yang sedang mendidih. Aku lalu menarik kertas yang tadi telahku berikan kepadanya, dan mulai kembali menulis.

Aku yang kesal pun lalu mengambil sebuah pulpen dan mulai menulis sesuatu kembali, ya... ini memang sedikit merepotkan, namun aku tidak sanggup jika harus terus menerus berdiam diri melihat wajahnya yang menyebalkan itu, yang terus tersenyum menatapku rendah seperti itu.

"Nih ya, biar gua kasih tahu sesuatu ke lo," tulisku dengan wajah memerah layaknya seseorang yang sedang kepedasan seraya menunjuk kearahnya. Milas pun lalu menganggukan kepalanya seraya tersenyum simpul ia berkata. "Apa... ?"

Dengan penuh emosi yang meluap-luap di dalam diriku ini, aku pun kembali menulis diselembar kertas yang baru saja aku pakai tadi. "Semua ini gak ada hubungannya, lagi pula, elang itu bukan manusia, tapi burung !" Aku pun kemudian mengangkat kertas tersebut, untukku tunjukan kepada Milas. Setelah ia melihatnya, aku pun kembali menuliskan sesuatu.

"Dan lagi pula asal lo tau aja nih ya, burung itu kalo mao buang air besar ya buang air besar aja! mereka tuh gak perlu nyari nyari toilet! Apalagi di tahan tahan buang air besarnya! Ngerti gak Lo! " Lanjutku menulis hingga kertasnya hampir penuh, karna tulisanku saat itu sengajaku buat besar agar Milas Si manusia menyebalkan itu bisa melihatnya dengan jelas.

Jujur saja aku sangat-sangat membencinya, dia menyebalkan, dia reseh, namun dari semua hal itu, hal yang paling aku benci dari dirinya adalah bahwa fakta aku tak berdaya dihadapannya, aku tidak bisa mengancamnya dengan kekuatan yangku punya, dia benar-benar tak terhentikan.

Bahkan aku sangat yakin, jika aku mengancamnya dia mungkin hanya akan tertawa terbahak-bahak mendengarkan ancamanku, namun jika aku benar-benar memukulnya sekali pun, itu pun tidak akan ada bedanya, dia hanya akan tersenyum kembali setelah dirawat dan meminta maaf kepadaku karna telah membuatku marah, lalu setelahnya ia pasti akan mengulanginya kembali seperti tidak pernah terjadi apa-apa, yang mana itu hanya membuatku semakin merasa bersalah, intinya apa pun yang aku lakukan, pasti akan membawaku kepada kekalahan.

Beruntung saat itu aku diselamatkan oleh Pak Ridwan yang tiba-tiba saja masuk kedalam kelas. Aku benar-benar merasa lega, lega karna tidak harus lagi mendengarkan ocehan-ocehan tidak bergunanya itu.