Chereads / 4 Leaf Clover / Chapter 6 - Kelas Firaun

Chapter 6 - Kelas Firaun

POV : Silvia Sapphira

Masa SMA adalah masa-masa yang paling menyenangkan, masa dimana kalian mulai mengenal dunia, masa dimana kalian mulai mengenal cinta yang sesungguhnya, masa dimana pertemanan kalian semakin membesar, masa SMA adalah masa yang terbaik yang akan pernah datang kekehidupan kalian sebelum nantinya kalian akan menghadapi dunia yang sebenar-benarnya.

Itulah yang orang-orang katakaan ketika mereka ditanyai mengenai masa SMA.

Namun kenyataanya bagiku sendiri tidaklah seperti itu, masa SMA adalah masa yang sangat membosankan, dan seperti itulah masa-masa SMAku, membosankan.

Tahun pertamaku di SMA, hanya bisaku habiskan dengan belajar, belajar, dan belajar.

Ya, hanya belajar, aku tidak tau apa yang aku lakukan disekolah selain belajar. Aku tidak pernah mengikuti kegiatan ekstrakulikuler seperti orang-orang, aku juga tidak pernah kumpul bersama teman-temanku baik ketika pulang sekolah atau pun ketika jam istirahat berlangsung, bahkan terkadang aku pun masih tidak begitu mengerti kepada diriku sendiri, mengapa aku tetap belajar meskiku tau bahwa aku tidak lagi memiliki tujuan hidup, meski begitu aku tetap belajar dan terus mempertahankan nilai sempurnaku.

Lalu, meski aku telah pindah dari Jakarta ke Bandung, bukan berarti aku melupakan semua hal yang telah terjadi di Bandung, dan menjalankan hidupku yang baru begitu saja, layaknya menekan sebuah tombol reset. Hal yang seperti itu tentu saja tidak bisa aku lakukan, dendamku terhadap mereka terlalu besar hingga aku tak sanggup untuk melupakannya.

Terkadang aku masih seringkali melakukan kekerasan kepada siswa yang mengangguku, tentu saja aku menghajar mereka hingga beberapa dari mereka masuk rumah sakit.

Sejujurnya meski hanya ditahun pertamaku, aku telah menjadi topik perbincangan utama diseluruh penjuru sekolah. Baik oleh para murid-murid yang takut akan diriku, para guru yang kesulitan mengurusku, atau bahkan para staff sekolah yang mewaspadai diriku.

Tentu saja aku sudah sering sekali keluar masuk ruang BP untuk mendapatkan surat peringatan, namun sampai aku naik kelas, aku sama sekali belum pernah dikeluarkan oleh sekolahku. Aku pribadi tidak mengetahui alasa mereka mempertahankanku, akan tetapi aku meyakinin prestasiku yang cemerlang, dan nilaiku yang selalu sempurna itulah yang membuat mereka mempertahankanku. Ya... kurasa itu memanglah masih pendapat pribadiku saja.

Selain itu, seperti apa yang telah aku katakan sebelumnya, akibat kekerasan yang sering aku lakukan kepada para murid berandalan di sekolah ini, akhirnya banyak murid-murid yang menjauhiku, mereka tidak sama sekali berani menegurku, bahkan untuk menatapku saja mereka tidak memiliki kebranian akan hal itu.

Itu semua karna banyak rumor yang beredar bahwa aku akan menghajar siapapun yang berusaha menggangguku, meskipun pada kenyataanya aku hanya menghajar murid-murid yangku rasa pantas untukku hajar saja, akan tetapi aku tidak peduli juga jika murid-murid yang lain menjauhiku, karna bagiku mereka semua tidaklah penting, mereka hanyalah butiran krikil ditengah pasir dipantai yang luas. Nampaknya julukan Silvia Si Iblis Bisuku terus berlanjut dimasa SMAku.

Namun julukan itu tidak bertahan begitu lama, itu semua berubah ketika diriku masuk ke dalam kelas Firaun, kelas terasingkan yang berada dilantai paling atas, dan berada dipaling pojok diantara semua kelas yang lainya, bahkan kelas kami berada tepat disebelah toilet, maka dari itu kelas Firaun ini disebut kelas terasingkan.

Itu semua bermula ketika aku masuk kedalam kelas XI-IPS 2 atau yang lebih dikenal oleh para murid-murid di sekolahku dengan sebutan Kelas Firaun.

Ya, kelas Firaun. Kelas yang berisikan seluruh anak brandalan, dan anak-anak yang bermasalah, bisa dikatakan kelas itu adalah kelas buangan. Ya..., semua orang menganggapnya seperti itu.

SMA Pancasila, salah satu SMA terfavorit di Jakarta Selatan, sekolah dengan fasilitas bintang 5 dan prestasi gemilang yang banyak diraih oleh para murid-murid di sekolah ini, dan tentu saja juga dengan biaya yang mahal juga pastinya.

Meski begitu dimana pun sekolah itu, sehebat apa pun sekolah itu, aku yakin pasti akan selalu saja ada anak-anak yang bermasalah didalamnya. Ya... itu sudah seperti jalan kehidupan, Yin and Yang. Dimana ada hitam disitu ada putih, begitupula sebaliknya. Dan SMA Pancasila adalah salah satu contohnya, meski SMA ini sangat terkenal akan murid-muridnya yang berprestasi tinggi dan terpandang, tentu saja mereka memiliki murid-murid bermasalah yang cukup merepotkan pihak sekolah, namun SMA Pancasila memiliki caranya tersendiri guna mengatasi itu semua, yaitu dengan adanya kelas buangan, kelas IPS 2.

Mungkin disebagian sekolah di Indonesia telah memahami konsep kelas nomor urut 1, yang artinya adalah kelas unggulan.

Contohnya adalah seperti kelas X 1 yang mana kelas tersebut akan berisikan murid-murid terpintar diantara para murid yang lainya, atau setidaknya murid yang memiliki bakat lebih diantara murid lainya. Dan IPS 2 adalah sebaliknya, kelas IPS 2 adalah kelas buangan yang diciptakan pihak sekolah guna menampung para murid-murid bermasalah dalam satu kelas, agar mereka lebih mudah untuk mengatur para murid bermasalah tersebut.

Tentu saja konsep ini sedikit aneh dan terkesan menyedihkan, namun tidak bagi para murid SMA Pancasila, bagi mereka, justru itu adalah sebuah keunikan tersendiri, dan memudahkan para murid-murid yang lainya untuk bersosialisasi, dan mudah untuk para murid memilah-milih teman mereka.

Lalu bagi para guru pun begitu, para guru menjadi lebih mudah bersikap kepada murid-murid yang bermasalah, mereka tidak ragu tegas kepada seluruh murid yang berada di kelas IPS 2, karna mereka tau, semua yang ada disana adalah murid bermasalah.

Dilihat dari luar, konsep seperti itu memang sangatlah bagus, dan memiliki banyak keuntungan tersendiri, namun tidak bagi kami, para penghuni kelas tersebut. Mungkin aku pribadi tidak pernah mengeluh akan hal ini, akan tetapi, dari beberapa hal yang pernah kudengar, para seniorku di kelas XII IPS 2 selalu mengeluh, dengan merasa dikucilkan dan dianak tirikan, meski dengan bayaran yang sama.

Seperti itulah SMA Pancasila dan kelas IPS 2 mereka. Namun diantara generasi ke generasi, sepanjang sejarah terbentuknya kelas spesial IPS 2, kelas XI IPS 2 digenerasiku adalah generasi terburuk sepanjang sejarah sekolah, maka dari itu kelasku dikenal dengan kelas sebutan kelas Firaun.

Hari itu adalah hari pertama aku memasuki sekolah kembali setelah libur panjang kenaikan kelas, saat itu aku datang sedikit terlambat dikarenakan jalanan yang cukup padat ramai pada hari itu. Aku datang dengan membawa sebuah buku bacaan yang sedang aku pegang pada tangan kananku.

Aku berjalan di lorong sekolah dengan santai seperti pada umumnya. Sementara itu para murid-murid yang lainya seperti biasa memandangiku tajam, seakan-akan mereka sedang membicarakan aku di belakangku, namun ketika aku mengalihkan pandanganku kepada mereka, mereka segera menghindarinya, mereka langsung membuang wajah mereka dan berakting seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Ya... itulah hal yang sering terjadi pada diriku ini, setelah aku pikir-pikir, sudah 2 minggu aku tidak merasakan tatapan menyedihkan para murid-murid itu. Sejujurnya aku tidak begitu peduli dengan mereka, meski mereka membicarakan hal-hal yang buruk tentangku sekali pun, aku tidak peduli. Aku tidak peduli karna aku tau, setidaknya aku jauh lebih hebat dari mereka dalam segala bidang, mereka mungkin hanya iri denganku, itulah yang kupikirkan selama ini, ketika aku merasa mereka sedang membicarakanku.

Aku pun terus berjalan menyusuri lorong kelas seraya mengabaikan tatapan para murid-murid yang menyedihkan itu. Ya..., aku mengabaikan itu semua sampai..., sampai seseorang laki-laki berbadan kurus berkulit sawo matang menabrakku hingga menjatuhkan buku yang sedangku pegang sedari tadi.

Setelah dia menabrakku, ia tetap terus berlari. Namun ia menyempatkan dirinya untuk menoleh kebelakang dan melihat ke arahku seraya melambaikan tangannya kepadaku dan berkata. "Upss... sorry." teriaknya seraya terus berlari dengan cepat.

Itulah saat pertama kalinya aku bertemu dengannya, Milas Scarlet. Seoarang anak laki-laki yang sangat dikenal dikalangan para guru dengan sebutan si biang kerok, orang yang mempunyai SP lebih banyak dariku, yang mana pastinya ia juga merupakan teman sekelasku.

Biasanya sebuah tabrakan yang biasanya selalu ada pada adegan cerita komedi romantis mana pun, pada akhirnya akan menjadi sebuah adegan romantis. Akan tetapi, itu tidak terjadi kepadaku dan juga Milas, karna pada saat itu ia tidak berhenti dan membantuku mengambil bukuku jatuh, akan tetapi ia justru terus berlari seperti dikejar oleh sesuatu. Menyebalkan, ya..., itulah kesan pertamaku terhadapnya, menyebalkan.

Pada saat itu aku mengabaikan semua perkataannya itu dan tak menghiraukannya sama sekali, aku lebih memilih untuk jongkok dan berusaha mengambil bukuku yang telah terjatuh itu. Namun sayangnya, disaat aku ingin mengambil buku itu, tak lama kemudian seorang wanita cantik berambut panjang berlari dengan cepat ke arahku, ia berlari dengan sangat cepat sampai-sampai ia menendang bukuku yang telah terjatuh itu.

Buku itu pun terpental cukup jauh dari tempat aku jongkok, lalu tanpa sepatah kata permintaan maaf darinya, wanita itu terus berlari dengan cepatnya seraya berteriak. "Sini lo Bangsat!" Sesaat akhirnya aku sedikit mengerti, saat itu pria yang tadi menabrakku itu sedang berlari menghindari wanita cantik berambut panjang yang sedang mengjarnya itu.

Sejujurnya, aku sempat emosi saat itu. Aku emosi dikarnakan disaat hampir sedikit lagi aku mengambil bukuku yang terjatuh itu, wanita yang menyebalkan itu menendang buku itu cukup jauh. Terlebih lagi, bukanya berusaha untuk meminta maaf atau pun menunjukan sedikit rasa bersalahnya, ia malah terus berlari mengejar pria yang menabrakku itu, seakan-akan ia tidak merasa bersalah sama sekali.

Setelah mengambil bukuku, sesaat aku memutuskan untuk mengejar mereka berdua, niatku tentu saja untuk memberi pelajaran kepada mereka, akan tetapi tiba-tiba saja bel masuk sekolah berbunyi, dan hal itu pun akhirnya mengurungkan niatku untuk memberikan pelajaran kepada mereka, dan pergi menuju kelasku.