POV : Silvia Sapphira
Pada hari itu aku seharian berdiam diri di hotel tersebut, menghabiskan waktu 24 jam hanya untuk menangisi dan menyesali hal itu, sesekali aku termenung melihat kedepan kaca, dan melihat betapa menyedihkannya diriku ini. Terlebih lagi jika aku mengingat keadaan dimana aku mulai menikmati pemerkosaan itu, dan merelakan tubuhku disentuh oleh mereka.
Saat itu aku langsung membenci Rian, bukan hanya membenci, akan tetapi aku juga dendam terhadapnya, rasanya inginku hancurkan dia dengan tanganku sendiri.
Namun terlepas dari itu semua, aku lebih membenci diriku sendiri, membenci diriku yang sempat merasa kenikmatan dari perbuatan keji tersebut.
Jika ada seseorang yang membenci diriku ini, ketahuilah bahwa aku lebih membenci diriku sendiri, lebih dari siapapun membenci diriku.
Aku pun pulang dari hotel kerumah tanteku keesokan harinya. Aku yang telah menghilang selama 2 hari, tentunya sangat-sangat membuat tanteku sangatlah khawatir, ia menangisi diriku sampai-sampai pipinya terlihat lembab akibat air matanya yang sudah berkali-kali mengering itu.
Aku datang dengan tatapan kosong layaknya seseorang yang tak memiliki tujuan hidup sama sekali, seragamku berantakan, begitupula dengan rambutku, tampilanku benar-benar terlihat hancur.
Tanteku segera memelukku seketika aku sampai dirumah. "Silvia !" teriak histeris tanteku seraya berlari kearahku seketika ia melihat batang hidungku. "Dari mana saja kamu ? tante sangat mengkhawatirkan kamu Silvia !" Ucap tanteku seraya memelukku dengan sangat erat.
"....." Aku hanya terdiam dengan tatapan kosong menyedihkan tanpa sepatah kata pun.
Tanteku lalu melepaskan pelukannya itu, lalu ia perlahan menatap wajahku yang sedari tadi tidak menunjukan ekspresi apa pun, tak lama kemudian, air mata mengalir keluar dari kedua bola matanya, air matanya itu perlahan membasahi pipinya yang merah itu.
"Sebetulnya apa yang terjadi sama kamu Silvia ?" tanya tanteku yang begitu penasaran.
"Banyak pihak polisi yang datang kesini, namun mereka datang bukan karna kasus kehilanganmu yang tante laporkan, melainkan ada hal lain yang tidak pernah mereka katakan," lanjut tanteku seraya menggenggam erat pergelangan tanganku.
Aku pun mulai mendapatkan rasa penasaranku, aku begitu penasaran dengan pernyataan tanteku yang menyebutkan bahwa banyak dari pihak kepolisian yang datang mencariku, namun bukan karna kasus hilangnya diriku, melainkan karna suatu hal yang juga tidak aku mengerti.
Aku lalu memandangi wajah tanteku yang dipenuhi air mata itu, aku menatapnya dengan tatapan lesu, serta mataku yang terlihat sayu.
Seraya mengusap air matanya menggunakan pergelangan tangannya, tanteku lalu menatapku tajam. "Sejujurnya ada apa dengan kamu Silvia, ayo jujur sama tante, kalo kamu ada masalah, tante akan bantu semampu tante, kamu bisa ceritain ke tante, gak usah ragu Silvia, tante akan selalu ada untuk kamu."
Alih-alih tersentuh akan kata-kata tersebut, aku yang sudah kehilangan niatan untuk hidup akibat telah dilecehkan oleh orang yang aku anggap teman terbaikku sendiri, malah dengan penuh emosi, memarahi tanteku, dan membentaknya. "Tidak perlu sok peduli, aku tidak butuh itu, karna tak ada satu pun mahkluk di dunia ini yang dapat membantuku." Bentakku seraya melepaskan genggaman tanteku dengan paksa.
Setelah itu, aku mulai berjalan melewati tanteku dan menghampiri para kepolisian yang sedari tadi berada dibelakang tanteku.
"Aku Silvia, ada perlu apa kalian denganku ?" Cetusku dengan nada tinggi.
Lalu dengan nada yang sangat-sangat sopan, salah satu anggota kepolisian itu pun menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan lagi. "Apa benar bahwa adek adalah Silvia Saphira ?"
Dengan penuh emosi aku pun semakin menjadi, aku berteriak dengan suara yang cukup lantang. "Bukankah sudahku bilang barusan, ada perlu apa kalian denganku ?!"
Dan tanpa basa-basi, anggota kepolisian yang berada dihadapan aku itu lalu dengan sigap memakaikan borgol ditanganku. "Silvia Saphira, anda kami tangkap atas dugaan kasus pengedaran narkoba, anda akan kami bawa guna dimintai keterangan."
Sementara itu aku pun hanya berkata. "Oh..., ternyata itu." Tanpa perlawanan sama sekali, aku pun lalu dibawa oleh mereka ke kantor mereka. Sementara itu, tanteku yang tidak mengetahui apa-apa, hanya bisa menangis histeris melihat keponakan kesayangannya, yang selalu ia sayangi dan banggakan itu, harus dibawa kekantor polisi. Meski begitu, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya bisa pasrah melihatku dibawa oleh pihak kepolisian.
Disana aku pun lalu dijelaskan mengenai situasi terkini atas diriku dan kasus yang melibatkan diriku. Dari keterangan pihak kepolisian aku dapat menyimpulkan bahwa sepertinya, aku ditangkap karna aku ikut membantu Rian dan kelompoknya menjual dan mengedarkan narkoba.
Sejujurnya aku memang sedikit terkejut ketika mereka mengatakan itu, karna pada dasarnya aku memang tidak membantu mereka sama sekali jika itu persoalan narkoba, akan tetapi ternyata setelah dijelaskan oleh pihak kepolisian, aku jadi mengetahui bahwa boneka-boneka yang aku kemas beberapa waktu yang lalu ternyata itu adalah media pengedaran narkobanya, karna di dalam boneka-boneka tersebut sudah dimasukan berbagai macam obat-obatan terlarang dari berbagai macam jenis. Bahkan pihak kepolisian pun berhasil menyita sebagian boneka barang bukti, dan mereka pun tak lupa menunjukan boneka-boneka tersebut kepadaku.
Kepada pihak kepolisian aku pun berkata sejujur-jujurnya bahwa aku memang membantu mereka untuk mengemasi boneka-boneka tersebut dan memindahkannya ke sebuah mobil pengangkut yang untungnya aku masih mengingat nomor kendaraan mobil tersebut.
Jika kalian tanya mengapa aku bisa hafal ?, tentu saja itu karna aku merasa suatu saat mungkin akan berguna.
Setelah dimintai keterangan, aku pun lalu dites urin oleh mereka, untuk mengecek apakah diriku juga mengkonsumsi narkoba tersebut atau tidak, dan meski aku memang tidak pernah secara langsung mengkonsumsi obat-obatan terlarang itu, akan tetapi aku yakin bahwa saat dites nanti, aku akan dinyatakan positif.
Itu dikarnakan melihat apa yang mereka lakukan kepadaku sampai saat ini, membuatku sangat yakin bahwa entah bagaimana mereka pasti mencekokiku dengan obat-obatan terlarang tersebut.
Tak lama setelah aku di tes urin, hasilnya pun keluar. Sesuai dengan apa yang telah aku prediksi sebelumnya, aku dinyatakan positif menggunakan obat-obatan terlarang. Awalnya memang aku bertanya-tanya bagaimana bisa, akan tetapi ketika aku pikir-pikir kembali, semuanya menjadi masuk akal, Air Lemon pemberian Rian itulah media mereka untuk mencekokiku obat-obatan terlarang, aku yakin mereka telah mencampur obat-obatan terlarang itu kedalam minuman itu.
Keyakinanku itu pun didukung dengan tidak sadarkannya diriku setelah aku meminum Air Lemon pemberian Rian itu, yang menyebabkan berakhirnya diriku disebuah hotel dengan keadaan setengah telanjang.
Setelah melalui semua proses pemeriksaan disana, aku pun seketika langsung ditetapkan menjadi tersangka, dan tentu saja aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menerima fakta mengerikan itu.
Bukanya aku tidak berusaha untuk menjelaskan semua kebenaranya kepada mereka, justru sebaliknya, aku sudah mati-matian berusaha menjelaskan kepada mereka apa yang sebenarnya terjadi, bahkan tentang pemerkosaan terhadap diriku sekali pun, telah aku ceritakan semua, akan tetapi tak ada satu pun ucapanku yang mereka percaya, itu semua karna bukti-bukti yang mereka punya mengarah kepadaku, jadi apa pun yang akan aku katakan, mereka tak akan pernah percaya.
Alhasil dari kejadian tersebut, aku pun sudah dapat dipastikan langsung di Drop out oleh pihak sekolahku, selain itu aku yang juga dinyatakan sebagai tersangka pun seharusnya ditahan di penjara anak, akan tetapi dikarenakan bukti-bukti yang mereka miliki tidak cukup kuat untuk menyatakan aku ikut serta dalam bisnis peredaran narkotika tersebut. Lalu pada akhirnya pihak kepolisian hanya menjatuhkan hukuman Rehabilitasi saja, guna menghilangkan ketergantungan diriku akan obat-obatan terlarang itu.
Jika kalian tanya bagaimana nasib Rian dan kawan-kawan, maka akan aku jawab dengan simpel. Mereka semua yang tertangkap, bernasib sama sepertiku, mereka hanya mendapatkan hukuman Rehabilitasi saja, akan tetapi, entah untuk alasan apa, kami semua yang tertangkap ditempatkan ditempat rehab yang berbeda-beda.
Tak lama setelah aku dikeluarkan dari sekolah, dan sebelum aku dijatuhkan hukuman Rehabilitasi, orang tuaku sempat datang jauh-jauh dari Jakarta untuk melihat keadaanku. Saat itu, meski dengan keadaan yang sangat buruk telah terjadi kepadaku, aku masih tetap merasakan kebahagiaan ketika aku mengetahui orang tuaku akan datang ke Bandung untuk melihat kondisiku.
Aku merasa sangat senang karna aku pikir orang tuaku sungguh mengkhawatirkan diriku, akan tetapi kenyataanya tidak seperti itu, apa yang aku bayangkan tidaklah seindah kenyataan, karna saat pertama kali aku bertemu Ayahku setelah lebih dari 1 tahun aku tidak menemuinya, hal yang aku dapatkan adalah tamparan keras yang melayang tepat kearah pipiku, yang membuat pipiku seketika berubah menjadi merah dan memar.
Jujur bagiku yang seorang ahli seni beladiri, ditampar seperti itu tidaklah begitu menyakitkan, akan tetapi meski secara fisik aku tidak merasa sakit akibat tamparan keras itu, namun dari segi batin, hatiku seketika langsung hancur lebur ketika telapak tangan ayahku yang besar itu mendarat dengan keras ke pipiku.
Aku berpikir. Kenapa aku yang ditampar, aku tidak salah, aku hanyalah korban ?!. Pikirku setelah mendapatkan tamparan dari ayahku, lalu seraya air mataku mengalir, apa yang aku pikirkan tadi, itu semua keluar dari mulutku dengan nada yang sangat tinggi, yang benar-benar terlihat seperti orang yang dipenuhi oleh emosi.
"Kamu udah salah, masih aja ngelak, jika kamu salah setidaknya, akui kesalahanmu !" teriak Ayahku memarahiku, seketika ia mendengarkan keluhanku itu.
"...." aku pun hanya terdiam seraya membiarkan air mataku terus mengalir hingga membanjiri pipiku.
Lalu Ibuku yang berada disamping Ayahku hanya terdiam, berdiri seraya menangisi apa yang telah terjadi kepada anak kesayangan satu-satunya itu.
"Kenapa kamu bisa seperti ini Silvia, mamah kecewa !" Teriak Ibuku memarahiku, karna merasa kecewa atas apa yang ibuku pikir telah aku lakukan.
"Tapi bu---"
Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku itu, Ayahku memutusnya dengan ocehan emosionalnya lagi. "Kamu itu, udah ayah bilang, kalau kamu salah itu setidaknya kamu akui itu, jangan malah menghindarinya, ayah kecewa berat sama kamu Silvia !"
"Tapi ayah, Silvia dijebak yah, dengerin penjelasan Silvia dulu...."
"Sudah, kamu gak perlu jelasin apa-apa lagi, kepolisian dan tante kamu sudah menjelaskannya kepada kami, ayah sama ibu bener-bener kecewa sama kamu Silvia. Ayah harap kamu bisa menerima apa pun hukuman yang dijatuhkan sama kamu, ini resiko dari apa yang kamu perbuat Silvia, kamu harus berani menanggung itu," teriak Ayahku menceramahi diriku.
"Berani berbuat berani bertanggung jawab." Seru Ayahku seraya kemudian keluar dari rumah tanteku itu.
Berulang-ulang kali aku mencoba berusaha untuk membuat kedua orang tuaku mempercayai diriku, berulang-ulang kali aku mencoba menjelaskan kejadian sebenarnya, berulang kali aku berusaha mencoba membuat ayah dan ibuku berpikir bahwa aku hanyalah korban dari segala kebrengsekan Rian.
Akan tetapi mereka tak pernah sedikit pun mempercayai ceritaku, tak pernah sedikit pun mempertimbangkan apa yang telah aku katakan. Yang mereka tau hanyalah bahwa aku yang salah, dan tidak berani menanggung hukumannya itu, yang mereka tau, bahwa aku adalah seorang pengecut yang takut akan sebuah konsekuensi yang menimpaku.
Meski pada kenyataannya aku tidak seperti itu, jika memang itu salahku, aku tidak akan pernah lari dari hal itu, aku akan terus berdiri dan menghadapi itu semua.
Akhirnya setelah kejadian itulah aku mulai memtuskan untuk tidak mempercayai siapa pun, termasuk kedua orang tuaku. Mulai dari kejadian itu, akhirnya aku pun berpikir bahwa tak ada satu pun manusia dimuka bumi ini yang peduli kepadaku, semua hanya ingin memanfaatkan diriku, semuanya membenciku, tuhan, tanteku, para guruku bahkan termasuk Ayah dan Ibuku.
Untuk itu aku pun memilih untuk tidak lagi berbicara kepada siapa pun, siapa pun termasuk kedua orang tuaku.
Ya, mulai dari kejadian itu aku tidak lagi pernah berbicara kepada siapa pun, termasuk kedua orang tuaku. Akibatnya banyak orang yang tidak mengenalku sebelumnya, mengira bahwa aku adalah seseorang yang bisu, atau tidak bisa berbicara.
Proses rehabilitasi yang cukup memakan waktu, ditambah aku yang juga sudah dikelurkan dari sekolah lamaku, akhirnya ditahun itu, aku pun tidak lagi melanjutkan sekolahku, lalu aku beserta keluargaku akhirnya memtuskan untuk melanjutkan sekolahku ditahun berikutnya.
Ditahun berikutnya, setelah masa rehabku selesai, aku pun kembali bersekolah, kali ini aku ditempatkan disekolah negri di Bandung, sekolah negeri yang sebetulnya mempunyai reputasi yang bagus sebagai salah satu sekolah terbaik di Bandung, akan tetapi desas-desus pun menyatakan bahwa sekolah negeri Bandung yang aku tempati adalah sekolah yang juga dipenuhi anak-anak bandel dan beringas.
Namun aku tidak terlalu peduli akan semua hal itu, karna bagiku sudah tidak penting lagi akan apa yang terjadi kepadaku, semenjak kejadian itu, aku merasa sudah tidak mempunyai alasan hidup lagi, tidak ada selain balas dendam terhadap Rian.
Masuk kedalam SMP Negri Bandung itu pun sebetulnya adalah ideku, karna desas-desus tersebut, maka ada kemungkinan bahwa Rian bersekolah di sana, namun ternyata Rian tidak bersekolah di sana, bukan hanya Rian, akan tetapi teman-temannya pun tidak ada yang bersekolah di sana.
Meski begitu, bukan berarti desas-desus itu adalah sebuah kebohongan, desas-desus tenang banyak anak bandel yang beringas di sekolah itu ternyata adalah sebuah kebenaran, pada awal ketika aku bersekolah di sekolah itu aku bahkan dimintai uang sebagai pajak anak baru, yang mana katanya uang tersebut nantinya akan menjadi dana untuk para seniorku dan bahkan para alumni sekolahku untuk tawuran.
Sejujurnya aku tidak begitu mengerti dengan hal tersebut, tentang konsep para siswa dan siswi yang dimintai dana rutin untuk mendanai para senior serta alumni untuk tawuran, akan tetapi karna aku merasa jijik melihat mereka semua, yang mungkin itu karna ketika mereka memperlakukanku seperti itu, aku pun langsung teringat dengan Rian dan kawan-kawan, alhasil aku pun langsung menghajar mereka semua, dan membuat mereka terkapar hingga masuk rumah sakit.
Dan tentu saja itu menjadi kasus yang baru lagi untukku, dan membuat orang tuaku datang yang kedua kalinya guna menyelesaikan masalah yang telah aku timbulkan itu. Namun kali ini pandangan ayahku berbeda dengan yang sebelumnya, jika sebelumnya dia marah-marah dan penuh emosi, kali ini ia hanya menatapku kosong dan kecewa, tanpa mengatakan sepatah-kata pun, dan itu membuatku benar-benar hancur.
Jujur saja, ketika aku tau bahwa aku telah melakukan kesalahan fatal setelah menghajar mereka semua, hingga dirawat dirumah sakit, aku berpikir pasti akan mendapatkan omelan dari ayahku, akan tetapi, justru aku tidak mendapatkannya dan hanya pandangan mata kosong kekecewaan yang aku terima. Hal itu benar-benar membuat hatiku sakit bukan main.
Mulai hari itu, aku kehilangan semua harapanku, secercah harapan dimana aku berpikir bahwa aku dapat kembali ke masa dimana aku tidak memikirkan apa pun selain belajar dan menjadi yang terbaik, menjadi Silvia Sapphira yang cerdas, ceria, cantik dan tentu saja menjadi kebanggaan kedua orang tuaku. Namun dihari itu, ketika aku melihat tatapan kosong ayah dan ibuku, membuat semua harapanku hilang seketika, aku merasa tak ada satu pun orang di dunia ini yang akan mengerti diriku ini, dan tak akan ada satu pun yang menyangiku, itulah yang kupirkan saat itu.
Aku pun lulus sebagai murid dengan nilai UN terbaik se-Indonesia, nilaiku sempurna, semua mendapatkan nilai 100. Sebetulnya banyak media yang ingin meliputku, terlebih aku adalah anak dari ayah dan ibu yang cukup terkenal, namun karna aku yang telah berubah, aku yang saat itu tidak pernah berbicara sedikit pun membuat para media menyerah untuk mewawancaraiku.
Setelah lulus SMP ayah dan ibuku pun membawaku kembali ke Jakarta, tujuanya simpel, agar mereka bisa mengawasiku lebih dalam lagi. Aku pribadi sudah tidak peduli dengan itu semua, jadi alhasil aku tidak punya pilihan lain, selain ikut bersama dengan ayah dan ibuku ke Jakarta.
Aku meninggalkan Bandung bukan hanya meninggalkan segudang cerita pahit, segudang luka yang tak akan pernah terobati, atau pun trauma mendalam akan diriku yang telah dilecehkan oleh manusia-manusia biadab. Akan tetapi aku juga meninggalkan sebuah julukan, julukan yang sangat dikenang oleh murid-murid bermasalah dihampir seluruh sekolah di Bandung. Si Iblis Bisu, itulah julukanku.
Julukan itu aku dapatkan setelah menghajar beberapa anak berandalan sekolah-sekolah di Bandung, sebetulnya aku tidak berniat menghajar mereka, tetapi setelah kejadian dimana aku menghajar anak berandalan di sekolahku, rumor tentang diriku pun tersebar, yang membuat anak-anak berandalan disekolah lain tertarik untuk memberiku pelajaran. Akan tetapi karna mereka terlalu lemah, mereka malah berakhir dirumah sakit.
Itulah diriku dimasa SMP, murid terpintar yang dengan nilai UN sempurna, sekaligus Iblis Bisu dari Bandung. Silvia Sapphira, itulah aku.