Chereads / How Is Your True Feelings / Chapter 2 - Part 2

Chapter 2 - Part 2

"Gak sekarang, Ma," desisnya setengah mengiba. Ia mengabaikan pelototan wanita cantik yang biasa ia panggil ibu itu dan dengan cepat menuju kamar Joshua. Untungnya anak itu tidak terbangun sedikitpun.

Ia setengah berlari menuju meja belajar dan mengambil airbuds, memasangkannya pada kedua telinga Joshua dan memprogram musik piano bervolume sedikit diatas sedang seperti; A World Without Pain, Homecoming, Grey Skies Move Slowly, That Nothing Lasts Forever, dan The Dream We Left Behind untuk diputar secara on-loop.

Sepatu Joshua sudah ia lepas dan hanya tersisa kaus kaki saja. Seluruh kancing seragam sekolah juga telah ia buka namun bajunya tidak dilepaskan. Setelah menyetel suhu AC paling rendah, ia menyelimuti adiknya dan keluar. Tepat ketika pintu tertutup, wajahnya tersentak ke kanan, telinganya berdenging hingga menyakiti otaknya, penglihatannya juga memburam selama beberapa saat.

Rasa menyengat yang hebat itu pudar setelah beberapa detik, menyisakan perih setengah gatal karena seluruh darah berkumpul di pipinya.

"Darimana kamu? Kenapa Josh baru pulang sekarang?!"

Jasmine tidak langsung menjawab. Ia masih pada posisinya, mengumpulkan niat.

"Kami habis hangout di café."

Inesia kembali murka. "Dasar bodoh! Anak sekecil Joshua itu harus banyak tidur siang! Kenapa malah kamu ajak keluyuran gak jelas?! Dia juga ada PR! Memangnya siapa yang mau bantu mengerjakan?! Mama sibuk, tahu?!"

Oh ia sangat tahu, batinnya berkata. Jasmine menatap lantai. "Maaf. Gak akan aku ulangi lagi."

"Oke. Kalau terjadi lagi, Mama akan hukum kalian!" Inesia berjalan melewatinya dan menghilang di pintu balkon belakang.

Ia terdiam disana beberapa saat sebelum memasuki kamarnya. Tampilannya pada cermin wastafel tidak begitu mengerikan, hanya saja pipi kirinya merona sangat merah. Jika tidak langsung dikompres, maka esok hari akan lebam. Untung saja tamparan itu tidak begitu keras, ia tidak perlu menempelkan plester pada sudut bibirnya—yang pasti akan terluka—dan menutupnya lagi dengan make up tebal.

Ia paling benci memakai make up tebal.

Jasmine yakin Inesia sebenarnya tahu jika Joshua selalu pulang bersamanya selama ini, namun ia hanya sedang ingin cari perkara saja dengannya. Jadi, wanita itu baru membahasnya sekarang dan cari ribut. Hari-hari sebelumnya ia tidak pernah mengomel walaupun tahu.

Jasmine keluar dari kamar mandi menuju meja belajar. Macbook-nya masih mengisi daya baterai. Dicabutnya kabel dan menekan tombol power. Setelah memasukkan sandi, biasanya ia akan melihat tampilan desktop tapi layarnya malah menampilkan MplayerX; durasi terakhir dari sebuah video. Tak perlu diputar ulang untuk mengingat, ia sudah tahu lewat judul yang tertera dan juga kelopak matanya yang bengkak pagi ini.

"Haa," desahnya lalu menutup kembali flip layar.

▬▬▬

Jasmine berdiri menghadap papan tulis yang ia sebut black plan sambil berpikir keras. Ia berusaha mencocokkan jadwal keseharian dengan kegiatan tidak terduga di masa mendatang. Seperti misalnya; Lomba Sains yang diadakan oleh Universitas Swasta sebulan lagi. Hadiahnya menjanjikan dan juga sertifikat yang pasti akan sangat berguna untuknya.

Ia harus mengikuti lomba ini dan menang.

Tok tok. "Mbak Jasmine, makan malam sudah siap."

Suara Mbak Cahya terdengar lirih. Ia menaruh kembali spidol ke dalam box alat tulis dan membuka pintu. Mbak Cahya—ART mereka—masih menunggunya dengan wajah gugup. Jasmine nyaris mendengkus. Pasti seluruh anggota keluarga dalam formasi lengkap malam ini, maka dari itu Mbak Cahya merasa gugup dan gelisah akan drama yang akan terjadi nanti.

"Thanks, Mbak. Tunggu di belakang aja ya. Kalau ada bunyi-bunyi, jangan keluar! Nanti aja beresinnya."

Wanita yang hanya lebih tua 6 tahun darinya itu mengangguk cepat. Mereka turun bersama menuju ruang makan. Joshua sudah duduk diam menatap piring kosong, menunggu makanan dihidangkan. Benjamin—ayah mereka—pun duduk dengan tenang di samping istrinya. Pakaian kerja masih melekat dan wajahnya tampak bosan setengah lelah.

Mbak Cahya mengikuti instruksinya dan menunggu di bagian terdalam dapur. Inesia dengan casual membagikan hidangan yang tersaji kepada mereka; boneless ayam kecap, salad sayuran dan sayur godog pepaya muda.

Benjamin mendengkus geli dengan sajian yang ada di piring Inesia, hanya salad sayuran. Sang istri tahu ejekan itu pasti untuknya namun ia memilih diam. Makan malam berlangsung hening damai hinga limabelas menit kedepan, namun saat memasuki menit ke duapuluh lima, ponsel ayahnya berbunyi.

"Ya? Oke, tetap on call," sahut Benjamin kepada orang di seberang sambungan. Lelaki itu bangkit namun terperanjat dengan suara kaca yang pecah.

Inesia menatap murka sang suami sehabis melempar gelas ke lantai, matanya memerah menahan air mata. "Tetap disini! Itu pasti telepon dari si wanita jalang, kan?!"

Benjamin menatap Inesia malas. "Ini urusan kantor."

"Halah! Kemarin juga bilangnya gitu, tapi kamu malah pergi sama wanita jalang itu ke karaoke! Suami macam apa sih kamu ini?! Terang-terangan selingkuh di depan anak-anak kita!"

"Dan ibu macam apa kamu ini, berkata-kata kasar di depan anak-anak?" balas Benjamin, masih berusaha tenang.

Jasmine melirik Joshua yang tetap makan. Menganggap pertengkaran di depan mereka hanya angin lalu. Ia juga ikut menghabiskan makanannya dan diam-diam pergi ke dapur. Joshua sudah kembali ke kamar dengan selamat, ia sendiri yang mengantarnya sampai tangga.

Mbak Cahya melongokkan kepala dari balik dinding pemisah dapur dan ruang cuci baju. Tidak berkata apa-apa walaupun wajahnya tampak ketakutan. Maklum saja, ART satu ini masih terhitung anak baru; 3 bulan masa kerja, menggantikan ART lama yang pensiun karena penyakit usia tua. Mbak Cahya masih mencoba beradaptasi, untung saja wanita itu tidak tinggal serumah dengan mereka.

"Mbak pulang aja," usul Jasmine.

"T-tapi belum diberesin, Mbak Jasmine."

"Itu urusan aku. Sana, nanti kemalaman kayak kemarin."

Wanita itu menatapnya ragu beberapa saat sebelum akhirnya setuju. Menitipkan salam pamit padanya untuk disampaikan ke orang rumah yang lain. Ia menutup pintu belakang dan menguncinya. Memastikan seluruh jendela juga sudah terkunci rapat. Samar-samar ia masih mendengar suara ribut dari ruang makan.

Sesungguhnya, pertengkaran kali ini masih terhitung biasa. Skala 1-10, maka skornya adalah 5. Apa pernah ia menyaksikan pertengkaran skala 10? Tentu saja. Kalau skala 1? Maka itu artinya kedua orang tuanya hanya akan saling mengabaikan keberadaan masing-masing. Tapi skala itu jarang sekali terjadi.

Jasmine mengambil dua gelas baru dan mengisinya dengan jus. Menaruhnya ke atas nampan dan membawanya ke ruang makan. Hanya ada ibunya disana, menangis dengan kedua telapak tangan menutupi wajah. Ia mendekat, berhati-hati agar pecahan kacanya tidak terinjak.

"Ma," bujuk Jasmine penuh kehati-hatian. Ia khawatir ibunya meledak lagi. Tapi semenit berlalu, Inesia masih menangis. Ia memberanikan diri untuk mengusap punggung ibunya. "Ma, diminum dulu biar tenang."

Inesia menjauhkan telapak tangan dari wajahnya. Riasannya agak luntur di beberapa tempat. Dengan gemetar ia meraih gelas yang disodorkan Jasmine dan meminumnya, kedua mata itu menyorot kosong.

Jasmine mengisi ulang gelasnya dengan air putih dan menaruhnya ke atas nampan. "Ayo, aku bantu ke kamar."

Inesia beranjak pelan. Ia melangkah dituntun anaknya menjauh dari pecahan kaca hingga sampai ke kamar; pintu pertama yang terlihat di lantai dua. Inesia segera ambruk di kasur. "O-obat Mama."

Jasmine mengambil dua botol obat di meja rias sang ibu. Obat kolesterol yang biasa diminum ketika malam hari dan anti-depresan. Ia memberikan masing-masing satu butir. Untuk itulah Jasmine mengisi ulang airnya dengan air putih agar sang ibu bisa meminum obat.

Inesia mengembalikan gelasnya dengan tangan yang masih gemetar. "P-papa k-kamu gak boleh keluar. Pastikan d-dia tetap di rumah."

"Iya," sahut Jasmine tenang. "Habis ini aku ke kamar Papa."

Jasmine keluar kamar ibunya dan menutup pintu dengan pelan. Ia pergi ke kamar ayahnya yang terletak di depan kamar sang ibu. Ia tahu bahwa Benjamin masih ada di rumah. Karena setelah bertengkar tadi, ia tidak mendengar suara deru mesin mobil yang keluar dari carport.

"Pa," ia membuka pintu setelah mengetuknya. Benjamin sedang menelpon dan nada suaranya terdengar lembut. Samar-samar ia bisa mendengar suara wanita yang menyahut di seberang sambungan.

"Kenapa?" Benjamin menjauhkan ponsel sebentar. "Papa mau keluar lagi, jangan lupa kunci pintu gerbang sama rumah."

Jasmine masuk lebih dalam hingga berhenti di dekat kasur. "Mama bilang Papa gak boleh kemana-mana."

Benjamin mendengkus. "Dia sudah tidur?"

"Almost," Jasmine mengangsurkan gelas berisi jus. "Udah minum obatnya? Pasti kepala Papa pusing sekarang."

Ayahnya memiliki tekanan darah tinggi, dan setiap pertengkaran yang terjadi selalu memberikan efek buruk untuk kepalanya. Untung saja ayahnya bisa mengendalikan diri belakangan ini. Pada awal pertengkaran, ayahnya bisa saja berakhir pingsan.

Benjamin menaruh gelas jus ke atas meja kerja. Namun Jasmine masih diam disana, tidak beranjak dan malah menatapnya lama. Ia jadi mematikan ponsel setelah kembali bercakap sebentar. "Papa baru banget minum obatnya. Ada lagi yang mau kamu katakan?"

"Jusnya minum sekarang."

"Kenapa?"

"Gelasnya mau aku ambil lagi. Kalau ditaruh disana, nanti disemutin. Nanti semutnya masuk ke kuping Papa."

Benjamin segera menghabiskan jusnya dalam beberapa kali tegukan.

"Feel better?" tanya Jasmine.

"Yeah," Benjamin menatap putrinya sayang. "Thanks, baby girl."

"Good night. Pintunya aku kunci dari luar biar Papa gak pergi, ya?"

Benjamin hanya tertawa masam sambil mengangguk.

Jasmine benar-benar menepati ucapannya untuk mengunci pintu kamar sang ayah dari luar. Lalu menaruh kunci kamarnya di atas meja rias sang ibu. Agar Inesia percaya bahwa ia telah berhasil mencegah ayahnya keluar malam ini. Ia kembali ke ruang makan untuk membersihkan kekacauan.