Chereads / How Is Your True Feelings / Chapter 5 - Part 5

Chapter 5 - Part 5

Ayahnya menepati janji. Beliau pulang sebelum pukul 3 dan membawa seloyang Strawberry Cheesecake kesukaan Joshua.

"Kemana si Mbak?" tanya Benjamin sembari memotong kue menjadi 8 bagian.

Jasmine menjawab setelah menghidangkan secangkir kopi panas untuk sang ayah. "Izin pulang, ibunya jatuh di kamar mandi."

"Kapan?"

"Beberapa menit lebih dulu dari Papa, waktu izin tadi."

Benjamin meletakkan sepiring kecil berisi dua slice kue. "Ini, taruh di freezer buat si Mbak. Sisanya buat kalian."

"Papa gak mau?"

Ayahnya menggeleng. "Papa udah makan tadi di café. Kamu mau pergi?" tanyanya begitu memperhatikan penampilan anak gadisnya yang tampak rapih dan wangi.

Jasmine menjawab tanpa melihat sang ayah. "Iya. Ke GOR, mau lihat anak-anak latihan basket."

"Jangan malam-malam."

"Oke."

Setelah itu ia memperhatikan punggung anak gadisnya yang menghilang dibalik pintu.

Benjamin mengaku kalau ia adalah ayah yang sangat brengsek. Ia tidak begitu paham bagaimana kehidupan pribadi anak gadisnya selama ini. Semenjak karirnya melejit beberapa tahun silam, ia mulai berhenti kepo dengan urusan Jasmine dan memercayai sepenuhnya pengambilan keputusan kepada anak itu atas apa yang ia inginkan.

Apakah ia masih berteman dengan Kamal? Teman SD yang sangat dekat dengannya dulu. Apakah ia masih menyukai serial film Princess Disney? Apakah warna kesukaannya masih Pink? dan kenapa anaknya tidak memosting apapun di sosial media belakangan ini? seingat Benjamin, anaknya itu suka sekali memotret.

Mereka juga sudah tidak jalan-jalan seru ketika weekend seperti dulu.

Semuanya berubah total dan ia malu untuk mengakui kalau sebagian besar itu memang salahnya. Tapi ia harus bersyukur karena anaknya adalah seorang Jasmine Angela, sesosok gadis mandiri dan kuat.

▬▬▬

Jasmine tidak sabar untuk keluar dari rumah. Ia tidak bisa berlama-lama lagi dengan ayahnya. Tidak ketika beliau menatapnya dengan tatapan seperti itu. Sejauh yang ia pahami, itu adalah tatapan ketika ada banyak sekali hal yang ingin diutarakan namun enggan—tidak tahu bagaimana harus mengucapkannya … bagaimana harus memulainya ketika hubungan mereka sudah tidak seperti dulu.

Jasmine tidak kuat dengan tatapan itu. Tatapan yang selalu ia berikan setiap hari kepada kedua orangtuanya.

Ia sudah terbiasa dengan pengabaian yang diberikan ibunya, wanita itu tidak pernah menggubris apapun yang ia katakan belakangan ini pun dengan tatapan yang sangat sederhana seperti itu. Dan tak disangka sang ayah masih bisa membalas, merespon dengan cukup … baik, mungkin?

Kakinya melangkah cepat dan tak sengaja menginjak genangan air, membuat ujung bawah celana jeans yang dikenakannya basah. Untung saja ia memakai warna hitam. Sangat menguji nyali jika ia memakai warna putih ketika bumi sedang basah. Sejam lalu hujan deras, memukul mundur waktu keberangkatan menuju GOR. Untungnya Mario tidak mempermasalahkannya. Cowok itu masih menunggu giliran untuk main.

Bus terjebak macet dan baru saja mengambil penumpang di halte. Ada seorang nenek bertubuh pendek dan membawa tas belanja cukup besar, matanya menelisik kesana-kemari untuk mencari kursi kosong dan sayangnya sudah terisi penuh. Tidak ada yang berniat untuk bangun dan memberikan kursi mereka. Jasmine menarik napas dan berdiri. "Duduk disini, Bu."

"Gak apa-apa. Saya dekat kok."

Jasmine menggeleng keras. "Jalanan macet, pasti kendaraan motor berebut untuk cari celah dan bus ini nanti akan sering ngerem mendadak untuk menghindar. Nenek bisa jatuh nanti. Ayo, gak apa-apa, duduk aja."

Karena apa yang dikatakannya masuk akal, nenek itu menurut dan berterimakasih. "Mau kemana?"

"Ke GOR."

Nenek itu tersenyum seraya mengangguk. "Cucu saya juga sering sekali ke GOR dulu, tapi sekarang sudah tidak pernah keluar rumah. Saya sedih sekali. Semenjak orangtuanya bercerai, cucu saya jadi kehilangan semangat. Ini saya ingin berkunjung ke rumah anak saya yang perempuan, si Ibunya. Anak saya malah yang jadi sering keluar rumah, cucu saya jadi sendirian."

Jasmine terdiam dan hanya mampu tersenyum tipis. Ia tidak ingin menjawab namun wajah sedih sang nenek membuatnya iba. Ia menjawab dengan setengah gugup. "Semoga cucunya semangat lagi ya, Nek. Dia Cuma butuh waktu untuk bersedih."

"Terimakasih, ya."

Mereka berbicara lagi namun dengan topik yang berbeda. Dan kegugupan Jasmine pun hilang. Entahlah, mungkin karena topik yang dibicarakan sebelumnya sangat sensitive dan tidak ada Trigger Warning. Iya, ia sedikit tersentil.

"Hati-hati, dan terimakasih untuk kursinya."

Jasmine tersenyum manis. "Nenek juga hati-hati. Saya duluan ya, Nek."

Ponselnya berbunyi ketika ia sudah di trotoar. Mario menanyakan keberadaannya. "Dimana?"

"Udah deket, kok. Kamu udah mulai?"

"Iya, habis ini giliran kita. Cepetan, sayang!"

Sambungan berakhir ketika ia berjanji untuk melangkah lebih cepat. Jasmine memang berjalan dua kali lebih cepat namun ia berhenti di café untuk membeli minuman. Pasti Mario tidak menyediakan camilan untuknya.

"Satu Iced Vanilla Latte dan Yogurt Roll Cake, tolong langsung dipotong ya."

Café ini berada tepat di sebelah GOR dan menghadap ke lapangan tenis. Ia melihat permainan tunggal puteri sambil menunggu pesanannya jadi. Dua menit kemudian, satu paper bag kecil sudah ia bawa masuk ke dalam GOR. Lapangan basket indoor letaknya masih agak jauh ke dalam.

Ia pikir hanya anak basket saja yang hadir, namun beberapa penonton mereka berasal dari anak ekskul lain.

"Jaaaz!" Mario berteriak dari tengah lapangan lalu melempar bola daaan … masuk!

Semua orang bersorak. Itu three point! Dan Mario memanggil namanya, tembakan kemenangan itu seperti ditujukan untuknya. Para cewek yang duduk di bangku penonton meliriknya iri dan beberapa tertawa karena … bahagia? Entahlah, kenapa mereka yang baper?

"Aciee…" Mega menggodanya. Ia duduk dengan dua cewek lain; Syakila dan cewek manis yang tak ia kenal.

"Duduk sini," Syakila menepuk tempat di depannya. Mereka duduk di tribun bawah. "Beli apa tuh?"

Jasmine menurut dan duduk di samping Mega. "Kopi sama bolu gulung. Kalian udah dari tadi?"

"Iya dari jam 1," jawab Syakila. "Eh ini kenalin, anak kelas sepuluh IPS; Rena."

Cewek manis itu mengulurkan tangannya. "Rena, Kak Jasmine."

Jasmine menaikkan kedua alisnya, terkejut, seraya membalas jabatan tangan Rena ia berkata. "Kayaknya aku gak terkenal deh."

Mega sok nyinyir. "Merendah untuk meroket."

Rena tertawa karena wajah Mega. "Waktu MOS itu kan agendanya ada yang keliling sekolah, nah kita sempat berhenti di ruang piala gitu. Dan kami semua takjub karena piala Kak Jasmine punya spot sendiri. Semuanya tentang Matematika dan Sains."

Syakila mengangguk. "Iya, karena sangking banyaknya."

Jasmine mengeluarkan gelas kopinya dari dalam paper bag dengan gerakan kikuk. "Ah, Cuma 8 piala kok. Gak banyak."

Rena syok. "Cuma? Delapan itu Cuma katanya, Kak Kil."

Syakila dan Mega tertawa geli. Mega menepuk-nepuk pundaknya. "Our school pride, maklumin aja ya, Nak."

Menyerah dengan godaan mereka, Jasmine meminum iced latte-nya dan memperhatikan Tim Mario bermain melawan kelas lain. Mereka tidak memakai seragam resmi pertandingan, hanya celana basket dan kaus. Lawan Mario tengah bergerak ke sana-kemari untuk mengecohnya dan memberikannya celah agar bisa lewat, namun Mario tidak mengalihkan perhatiannya kemanapun. Mereka bertatapan cukup sengit untuk ukuran latih tanding.

"BEAT HIM!" Rena berteriak dan lawan Mario akhirnya bisa meloloskan diri dan mengoper bola. "YEAH!"

"Wih, cowok lo lumayan juga, Ren."

Rena menengok ke Syakila. "Iya dooong! The next Captain gituh!"

Mega tersentak. "Lah emang iya?"

Rena mengangguk bangga. "Walaupun masih kelas sepuluh, tapi dia yang paling unggul dari anak kelas sepuluh lainnya. Dia juga pemain cadangan di Tim Inti, Cuma dia satu-satunya anak kelas sepuluh yang ada disana."

"Calon kapten dari anak kelas sebelas siapa deh?" tanya Syakila.

"Gue belum denger. Emang udah ditentuin?" Mega bertanya balik.

Pluit berbunyi setelah dua quartal, menandakan waktu istirahat. Mario dan pacarnya Rena berjalan berdampingan menuju kursi tribun mereka.

"You see that, right? Tembakan yang tadi buat kamu," ucap Mario kepadanya sambil berdiri di depannya. Terengah-engah, berkeringat dan senang. Syakila memberikan sebotol minum dan diterima cowok itu dengan rasa terimakasih.

"Pasti lihat lah, Yo. Orang parkiran aja lihat, kok," goda Syakila. Membuat jawaban yang sangat hiperbola.

Jasmine tersenyum manis. "That was great."

Rena cemberut. "Aku mau dapet shoot juga."

"Nanti," jawab pacarnya. "Susah banget ngelewatin ini orang." Lalu menunjuk Mario dengan dagunya.

Mario menyeringai, mengejek anak cadangan itu. Jasmine mencari-cari tas pacarnya namun tidak kelihatan. "Tas kamu dimana?"

"Oh ini," Syakila memberikan tas hitam yang diambil dari bawah kakinya.

Eh, kok?

Pantas saja cewek itu bisa memberikan minumnya.

Jasmine menyembunyikan raut masamnya dengan baik, ia menerima tas itu dan memberikan handuk kecil dari dalam tas kepada Mario. Positif, ia cemburu. Namun akan sangat kekanakan jika memperlihatkannya sekarang. Bukan waktu yang tepat. Semua orang yang menyaksikan itu tampak biasa saja. Tidak merasakan keganjilan.

Syakila melakukan hal yang baik; menjaga tas Mario. Dan bisa saja ia salah paham mengenai sesuatu. Mengenai posisi duduk mereka yang baru terasa ganjil sekarang. Mungkin Syakila memang tidak sengaja duduk disana, bisa saja Mega yang akan duduk disana. Tidak mungkin Rena, karena pasti adik kelas itu akan duduk di mana tas pacarnya berada. Ketiga orang itu sedari awal memang telah dimintai tolong untuk duduk disini agar menjaga tas para pemain. Dan kebetulan saja primadona itu duduk diatas tas pacarnya.

Iya, bisa saja begitu, kan?

Benar, itu normal. Jasmine berulang kali mengatakan itu dalam hati.

'Kamu lebih dewasa dari ini, Jaz.'