Jasmine mengeluarkan kotak bekal dari dalam lemari dan menaruh potongan sandwich isi tuna mayo kedalamnya. Ia juga tak lupa untuk memasukkan tiga buah saus sasetan di sela-sela roti isi. Kemarin Mario merengek meminta dibuatkan bekal karena ia tidak pernah memberikannya lagi. Belum ada lagi sekantong kresek penuh isi camilan yang biasanya ditemui di atas meja ataupun di laci meja cowok itu.
'Apapun yang kamu kasih, aku makan,' katanya.
Jadi, ia membuat menu sarapan tercepat yang bisa ia pikirkan. Oh, ia juga menyiapkan sekotak jus apel.
"Pagi," suara baritone dari balik tubuhnya membuat Jasmine menoleh. Ayahnya berada di pintu masuk dapur dengan tampang ngantuk. "Kamu buat apa?"
"Sandwich. Kok Papa udah bangun?"
"Ada rapat pagi," Benjamin duduk di stool di sebelah Joshua yang sibuk memakan sereal. Tidak menggubris sang ayah ataupun basa-basi membalas ucapan selamat pagi yang beliau berikan. Benjamin memperhatikan anak bungsunya makan dengan lahap, sambil mempertanyakan sesuatu: apa mereka selalu bangun sepagi ini?
"Mau kopi?" tanya Jasmine. Telah selesai merapikan kotak bekalnya.
"Boleh."
Jasmine kembali bergerak mengambil cangkir, kopi, gula, krimer dan menuangkan air panas. Secangkir kopi sudah siap bertepatan dengan selesainya Joshua sarapan. Seperti biasa, anak itu menaruh bekas alat makannya ke bak cuci dan meninggalkan dapur tanpa sepatah katapun.
Benjamin tidak bisa merasa sakit hati. Tidak boleh. Ini adalah hal yang harus ditanggungnya.
Pengabaian.
Jasmine tidak mengatakan apapun selain tersenyum kecil kepada ayahnya. "Sebentar lagi kami berangkat, Papa minta sarapan sama Mbak aja."
"Gak mau berangkat bareng?"
Tawaran yang menggiurkan. Namun Jasmine menggeleng. "Papa bisa kesiangan."
Benjamin tidak bisa memaksa, bukan tipenya memaksakan kehendak. Jadi ia mengangguk saja dan meminum kopinya. Ia tersentak ketika rasanya enak dan takarannya pas. Pandangannya terangkat dari cangkir untuk melihat Jasmine namun anak itu sudah tidak ada disana.
Ia mendesah, anaknya masih ingat bagaimana takaran kopi yang ia suka.
▬▬▬
"Tumben," hanya itu yang dikatakan Mario ketika melihat isi kotak bekalnya.
Jasmine menelengkan kepala. "Sorry?"
Mario hanya tersenyum dan mengeluarkan roti isi itu dan melapisinya dengan saus. Melahapnya besar-besar sehingga hanya tersisa setengah dari porsi awal. Jasmine menusukkan sedotan pada kotak jus dan memberikannya saat Mario selesai mengunyah. Pandangannya bertumpuk pada beberapa mata yang memperhatikan mereka dari berbagai penjuru lapangan, dan memutuskan untuk mengabaikannya.
"Aku pikir kamu bakalan beli lagi."
Kini, ganti Jasmine yang tersenyum. "Kamu lebih suka kalau aku beli?"
"Ah … um … maksudnya bukan gitu, maksudnya bukannya aku ngatain sandwich ini gak enak. Tapi aku gak nyangka aja kalau kamu punya waktu buat bikinin aku sarapan," jelas Mario cepat dan agak terbata. Ia jelas takut jika kekasihnya itu merasa tersinggung.
Ini masih pagi untuk memulai pertengkaran.
Jasmine malah sudah mengira hal lain, misalnya Mario lebih suka dibelikan oleh gadis itu daripada pemberiannya. "Aku bisa luangin waktu. Bikin sarapan itu gak lama."
Mario menghela napasnya dengan jelas, merasa lega karena Jasmine tidak menyalah artikan ucapannya. "Oke, jadi gak apa-apa nih kalau besok aku minta lagi?"
"Sure," Jasmine mengangguk sekali. "Tapi gak bisa sering-sering. Aku suka kesiangan."
"Apa harus dibikin schedule?"
"Kita lihat nanti. Polanya harus dibentuk dari awal."
Mario menatapnya heran. "Pola apa?"
"Pertama itu harus tanpa jadwal, untuk tahu di hari apa aja aku bisa bikin sarapan buat kamu. Lalu masukin peluang dimana aku bisa aja jadi sangat sibuk dan kesiangan. Itulah jawabannya."
Mario menatap Jasmine takjub. "Gak salah aku milih pacar."
Mereka membereskan tempat makan dan pergi dari taman kecil di samping lapangan sekolah. Mario diseret oleh beberapa anak cowok agar duduk di depan kelas. Biasa, memang apalagi tujuannya jika bukan untuk menggoda adik kelas?
"Abis sarapan? Pantes bahagia," ujar teman kelas mereka bernama Ridho.
Jasmine sudah tidak mendengar lagi percakapan mereka karena masuk lebih dulu. Vira heboh melihatnya datang dan menyuruhnya agar cepat duduk.
"Tau Andi anak kelas sepuluh?" todong Vira begitu ia sampai.
Jasmine menggeleng, duduk dengan nyaman sebelum bertanya. "Kenapa?"
"Buaya itu anak! Hari minggu kemarin lapangan futsal di sebelah minimarket heboh karena dua ceweknya nyamperin minta pertanggungjawaban!"
Jasmine melongo. "Hah? Tanggungjawab yang kayak gimana maksudnya?"
Wajah Vira amat sangat puas. "Mereka nyuruh si Andi milih salah satu di antara mereka. Ih jijik! Kok cowok modelan begitu malah dijadiin rebutan ya? Kalo gue tahu pacar gue selingkuh, udah gue tendang bijinya sampe masuk rumah sakit!"
Jasmine melemaskan wajah, ia sudah kaget duluan. Ia kira tanggungjawab yang seperti 'itu', rupanya tanggungjawab yang lain.
"Lo sendiri gimana, Jaz? Mario tuh sasaran empuk tau gak. Cewek-cewek jaman sekarang ganas. Gak lihat tuh orang udah punya gandengan atau enggak, ya sikat aja," seru Vira masih berapi-api. "Eh, tapi gue gak gitu ya! Harga diri gue mahal!"
Jasmine tertegun sesaat, teringat dengan sosok yang ada di rumah. Ayahnya termasuk golongan orang tampan, ditambah lagi ia memiliki uang. Dua hal itu saja sudah lebih dari cukup untuk membuat para wanita melirik ayahnya. Tapi apakah yang mendasari ayahnya berpaling dari ibunya?
Ibunya masih cantik dan … sangat terawat. Jika menyampingkan sifat pemarah Inesia, ibunya sangat sempurna. Kenapa itu tidak cukup?
"Gue," ia berdehem. "ikhlasin aja kali ya? Pacaran kan Cuma hubungan yang saling suka sama suka dan tidak terikat komitmen."
Vira menatapnya serius. "Selama ini lo mikirnya begitu?"
Ya habis apa lagi? sejak awal ia punya prinsip untuk tidak mempertahankan orang yang tidak ingin bersamanya. Lagipula, pacaran kan Cuma ajang latihan membentuk dan menjalankan sebuah hubungan semi-serius. Benefitnya, ia bisa jadi lebih mengenal pribadi orang lain dan bagaimana cara mengatasi suatu masalah yang datang dari hubungan itu.
Dan juga ajang untuk … mengenal dirinya sendiri.
"Iya," Jasmine tersenyum yakin. "Percuma mempertahankan orang yang udah gak mau sama gue. Capek."
Vira masih menatapnya serius namun cewek itu mengangguk. "You got the point there."
Bel berbunyi dan mereka duduk di tempat masing-masing. Jasmine menatap kepala belakang temannya itu dalam sambil berpikir. Ia lupa menambahkan satu poin utama yang sangat penting, kalau ia paling benci dengan orang yang ingkar janji.
Kepala Vira menoleh ke belakang saat guru mereka membereskan laptop di meja. "I should add that begging love and affection from bastards is such a shame act. They're not worth it at all." lalu kembali menghadap depan.
Ia tersenyum sebagai bentuk persetujuan.
Ketika pertengahan pelajaran, ia mendapatkan panggilan alam dan izin ke toilet kepada guru Kimia-nya. Toilet sudah mulai kosong karena para guru sudah tidak terkecoh dengan izin kebelet lagi. Kebanyakan, para murid menyalahgunakan izin itu untuk ke kantin atau bolos. Jadi, keamanan diperketat, apalagi untuk murid kelas tiga yang butuh pembelajaran super serius.
Tidak usah heran kenapa izin ini tidak berlaku untuknya. Karena termasuk jajaran murid peringkat tiga besar umum, para guru jelas percaya penuh padanya. Ia masuk ke bilik paling pojok dan menutup pintu. Sekitar dua menit kemudian, ada suara langkah kaki yang masuk dan berbincang di dekat wastafel.
"Gimana? Lancar?"
"Lumayan."
Jasmine kenal betul suara orang yang menjawab itu.
"Tapi lo udah mulai gak ngasih sarapan lagi ke doi, tuh?"
"Libur dulu. Gantian sama pacarnya."
Lalu mereka tertawa kencang.
"Gila, kasihan banget sih anak pinter itu. Mario bangsat banget mainin anak polos kayak gitu," kata cewek itu dengan sisa tawa yang masih ada. Jasmine bahkan yakin jika ia mengatakannya sambil menggeleng kecil tak habis pikir.
"Iya sih," lalu jeda sebentar. "Gue juga sebenernya gak tega. Tapi Mario menyambut gue, gimana dong? Kalau dari awal dia nolak ya … gue masih bakalan tetep usaha sih, dan kalau dia tetap nolak gue ya baru mundur lah."
"Emang bangsat lo berdua," cewek itu tertawa. "Terus kalian main kucing-kucingan dong? Kalau mau nge-date dimana?"
"Cari mall yang jauh banget. Sama jalan ke tempat yang gak pernah ceweknya datengin lah. Meminimalisir kemungkinan papasan di tengah jalan."
"Semoga sukses deh. Udah?"
"Wait. Tinggal lip gloss," jeda beberapa detik lalu ia melanjutkan. "Kuy. Ready for party."
Jasmine menunggu hingga hitungan ke dua puluh barulah bisa menekan flush toilet. Ia membenarkan roknya dan keluar dari bilik. Mencuci tangan di wastafel dan menatap wajahnya di cermin. Perasaannya campur aduk, namun yang hanya bisa digambarkan oleh wajahnya hanyalah mimik datar dengan sedikit senyuman.
"Terus sekarang gimana?" bisiknya pada diri sendiri.