Chereads / How Is Your True Feelings / Chapter 7 - Part 7

Chapter 7 - Part 7

"Ada PR?" tanyanya pada sang adik ketika mereka sampai di depan pintu rumah.

Joshua mengangguk. "Melukis."

"Butuh bantuan?"

Joshua menggeleng kecil. "Bisa sendiri."

Jasmine mengelus surai anak itu lalu mendorong mereka masuk rumah. Mereka disambut oleh Mbak Cahya yang sedang menonton tv di ruang tengah. "Mbak Jaz, ada paket."

"Okay, thank you. Mama udah pulang?" kakinya melangkah ke meja panjang di dekat tangga. Mbak Cahya selalu menaruh paket disana alih-alih menaruhnya di kamar. Tidak sopan memasuki kamar orang lain ketika sang pemilik tidak ada di tempat, katanya. Bahkan setelah menyetrika, wanita itu tetap menaruhnya di keranjang baju bersih di ruang cuci dan menunggu sang empunya datang, barulah memberikannya.

"Belum. Pergi dari siang, gak bilang mau kemana," suara sahutan Mbak Cahya terdengar kecil.

Ia mengambil paket dengan ukuran yang sangat besar. Mungkin sebesar kotak televisi tabung jaman dulu. Keterangan massa berat pada kotak membuatnya tidak yakin untuk membawa benda ini menaiki tangga sendirian. "Mbak, tolongin dong."

Suara cepat langkah kaki terdengar menghampirinya. "Apa apa?"

Jasmine menatap wanita itu dengan raut melas. "Gak kuat bawa ke kamar."

Mereka bergotong royong membawa kotak itu naik ke lantai dua. Melangkah hati-hati, menapaki lantai tangga satu per satu dengan ketukan seirama agar tidak ada tubuh yang terguling. Mbak Cahya menahan kotak itu sendirian ketika Jasmine harus membuka pintu kamarnya, dan kembali mengangkatnya bersama hingga paket tersebut mendarat dengan aman di atas karpet.

"Emang apaan sih isinya, Mbak Jaz? Komputer baru?"

Jasmine menggeleng seraya mengambil cutter untuk melepas selotip pada box. Tidak terlalu menekan ke bawah dan hanya menyayatnya dengan gerakan agak mengambang. "Gorden." Jawabnya. Bubble wrap melapisi benda itu dengan baik.

Mbak Cahya melihat gorden kamarnya sekilas. "Emang kenapa gorden yang itu?" gorden kamar berwarna putih gading polos milik majikan kecilnya ini tampak baik-baik saja. Tidak ada yang rusak ataupun bernoda. Masih mulus.

"Gak apa-apa. Pengen ganti suasana baru aja," jawabnya lagi, mengeluarkan gorden wol dari lapisan bubble wrap dan melebarkannya ke atas kasur. "Aku bisa pasang sendiri kok. Thanks. Mbak nonton aja lagi."

Mbak Cahya memandangnya dalam. "Yakin? Ini berat lho."

Jasmine mengangguk cepat. "Yakin. Mbak nonton lagi aja. Oh iya, sama aku lagi pengen jus Mangga. Bikinin sekalian ya? Nanti aku turun habis pasang ini."

Ia mengambil kursi kayu dan memanjat, melepas gorden lama dari pengait tirai dan menaruhnya ke dalam keranjang kotor. Besok pagi, ia tinggal menaruhnya di depan kamar agar dibawa Mbak Cahya untuk di cuci. Pengait tirai berbentuk lingkaran besi kokoh yang dapat dilepaskan dengan mudah tanpa harus melepaskan kerangka utama penyangga tirai dari dinding. Dengan teliti, ia memasukkan ujung atas tirai wol pada sela-sela pengait, ia melakukannya sampai seluruh lubang tirai terisi.

Kemudian ia kembali memanjat dan mengaitkan penyangga ke kerangka utama, cukup sulit karena berat. Sebenarnya tidak seberat itu sih, jika hanya memasang satu set. Hanya saja, ia memesan dua set dan memasang semuanya, ditumpuk menjadi satu.

Satu setengah jam kemudian, kegiatan bongkar pasang itu selesai. Ia menyingkirkan box ke bawah lemari pakaian. Ia menatap puas gorden wol barunya. Warna gorden itu abu-abu gelap dan tebal dan juga tampak … sangat berat. Jendela kamarnya memang hanya satu sisi, namun panjang sekali hingga memenuhi satu sisi dinding.

Semoga ini membantu.

Ia keluar dan turun ke lantai satu. Mbak Cahya sedang menuangkan jus mangga ke dalam dua gelas panjang. "Makan malam nanti apa?" tanyanya dan duduk di atas stool.

Mbak Cahya menjawab sambil mencuci blender. "Pepes ikan, sambal sama sop."

"Ini buat Josh? Buat Mbak mana?" Jasmine mengambil satu gelas miliknya dan meneguk sedikit. Manisnya pas dan teksturnya seperti smoothie karena diblender dengan es batu.

"Punya aku di gelas kecil."

"Aku ke atas lagi, ya," Ia membawa gelas jus milik adiknya. Kamar Joshua terlihat sunyi dari luar, memang selalu begitu. Anak itu agak pendiam sejak lahir dan ia malah berpikir kalau anak lelaki biasanya menuruni sifat ibu mereka. Ternyata tidak semua. Benar, agak sulit membayangkan sosok Inesia yang periang dan aktif.

Ia tidak mengetuk pintu dan hanya memanggil anak itu. Tangannya terlalu penuh untuk dipakai mengetuk pintu. Sepuluh detik kemudian, pintu terbuka menampilkan adiknya. Bocah itu memakai celemek hitam khusus melukis, baik celemek dan kedua tangannya penuh dengan coretan cat akrilik.

Tanpa mengatakan apapun, Joshua hanya memandangnya sebentar dan kembali masuk ke dalam kamar. Pintu kamar yang terbuka menandakan bahwa ia boleh masuk. Jasmine tidak menutup pintunya dan menaruh gelas jus di atas meja belajar. Setelah itu mendekati jendela dimana Joshua melukis.

"Tema lukisannya apa?" tanyanya.

Joshua tampak bingung sesaat lalu menatapnya. "Kata ibu guru, 'About Your Feelings'."

Jasmine menatap kanvas, permukaannya penuh dengan warna biru tua. "So, how do you feel now?" ia tidak bisa menebak, tapi ia punya firasat bahwa itu akan menjadi 'Happy' atau 'Cheerful' karena warna biru tersebut. Warna biru biasanya menandakan kebahagiaan, kan?

Joshua kembali menatap kanvasnya. "It's so-so."

"Really?" tanyanya dengan serius. Jasmine mengelus surai adiknya agak bersemangat sehingga rambut hitam tebal itu menjadi acak-acakan. "Whatever it is, the painting is sure going to be wonderful."

Joshua tersenyum kecil. "Thanks."

Jasmine membalas senyum dan merapikan rambut adiknya. "Jusnya jangan lupa diminum. Kalau udah, mandi lalu turun untuk makan malam."

"Okay."

Jasmine menutup pintu kamar adiknya dengan perlahan. Ia sudah akan masuk ke kamarnya namun tatapannya mengarah ke balkon belakang, tempat dimana ibunya biasa merenung. Tanpa berpikir dua kali, kakinya sudah melangkah ke area itu. Ia berhenti sebentar di pintu geser untuk melihat situasi.

Balkon ini tidak begitu luas, mungkin sekitar 2x2 meter dengan lantai kayu cokelat yang memberikan nuansa hangat. Di posisi agak ke bagian pojok terdapat kursi gantung berbentuk oval, dibuat dari struktur logam yang dilapisi jalinan, warna catnya cokelat muda seperti sarang burung. Alasnya dilapisi mat empuk busa tebal dan dilengkapi dua sandaran sofa. Karpet anti licin berwarna oranye memberikan kesan 'cahaya' yang mencerahkan suasana sekitar. Meja pendek bundar yang terbuat dari anyaman bambu tergeletak tak jauh dari kursi gantung. Tidak ada lampu di luar sini. Sebagai gantinya, belasan lilin aromaterapi berjumlah 12 buah tersebar di area balkon.

Tanaman succulent, areca palm dan peace lily berjejer rapih di dekat kursi gantung dan bagian pojok ruangan lain. Intinya, balkon ini sempurna sebagai tempat untuk menyendiri. Tidak bising dan sejuk, remangnya cahaya lilin ikut meneduhkan suasana. Tak heran jika ibunya sangat suka menghabiskan waktu di tempat ini.

Ia berjalan menuju pagar dan menumpukan kedua sikunya disana, memandang kolam renang dan taman di bawah. Terakhir kali ia menggunakan kolam renang sekitar dua tahun lalu, ditandai dengan tragedy tergelincirnya Joshua ke dalam air karena dikejar kodok. Joshua yang berumur 6 tahun suka sekali main di taman ibu mereka, memetik rumput liar dan menyiram tanaman. Ketika itu suasana sangat lembab sehabis hujan dan lantai sekitar kolam jadi licin, Joshua hendak memetik rumput liar namun seekor kodok hijau melompat keluar dari dalam semak, mengejutkannya dan membuatnya berlari tunggang-langgang karena ia mengira kodok itu mengejarnya. Joshua kehilangan keseimbangan dan tergelincir ke dalam air.

Jasmine yang saat itu berada di gazebo berteriak panik dan langsung menceburkan diri untuk menolong adiknya. Joshua belum begitu pandai berenang dan tidak begitu tertarik untuk belajar. Karena insiden itu, adiknya semakin tidak suka melihat kolam renang.

Namun yang paling mengejutkan dari semuanya adalah respon sang ibu ketika ia melaporkan kejadian itu. Inesia hanya tersenyum singkat dan menepuk kepalanya dua kali.

"Bagus, kamu adalah kakak yang baik."

Tidak seperti ibu pada umumnya yang akan khawatir dan mengecek kondisi anaknya, Inesia hanya meninggikannya karena cepat tanggap dalam mengatasi keadaan itu dan masuk ke dalam kamar. Hingga esok harinya, tidak sekalipun Inesia bertanya tentang keadaan Joshua. Sampai hari ini.

Ia terkejut, namun anehnya tidak kecewa. Well, yang kita bicarakan saat ini adalah seorang Inesia Cecilia. Bukan orang lain. Tidak banyak yang bisa diharapkan.

Ia menghela napas dalam dan menatap langit yang berubah mendung. Hujan akan datang. Untungnya ia menolak ajakan Mario untuk nonton pertandingan basket sekolah tetangga. Jalanan akan macet ketika hujan dan bisa jadi ia baru pulang ketika makan malam dan tentu saja, didamprat oleh ibunya. Ia melihat ke arah taman sekali lagi dan melihat spot kosong yang cukup luas. Cukup lama ia memandangi area itu hingga akhirnya tetesan air mengenai kepalanya, membuatnya sadar dari lamunan.

Sebuah ide terlintas dan ia memandang area kebun sekali lagi sebelum masuk ke dalam rumah. Jam dinding di kamarnya menunjukan pukul 5 sore dan terdengar suara percikan air dari dalam kamar mandi. Jelas Joshua, pasti adiknya sudah selesai melukis. Ia berderap cepat memasuki kamar adiknya dan mendekati kanvas yang masih ada di dekat jendela. Tidak sabar ingin melihat lukisan seperti apa yang dibuat adiknya ketika merasa senang.

Senyumannya pudar ketika background biru itu telah berubah menjadi lukisan yang pernah ia lihat, yang diketahui jutaan orang di dunia, yang terkenal karena memiliki makna yang amat dalam.

Joshua melukis The Starry Night.