Jasmine masih disana, memandang lukisan basah itu ketika adiknya keluar dari kamar mandi menggunakan bathrobe. Joshua juga memandang sang kakak yang sangat fokus melihat lukisannya, sebelum memutuskan untuk tidak begitu heran dan mengambil pakaian dari dalam lemari.
Jasmine kini melihat Joshua. "As expected, it is gorgeous." Pujinya, mencoba memproyeksikan lukisan itu sebagai lukisan landskap atau pelangi di balik gunung.
"Thanks," balas adiknya. Kedua tangannya sudah memegang sepotong celana pendek selutut dan kaus berlogo superman. Ia akan memakainya di kamar mandi.
Jasmine memperhatikan gerak-geriknya hingga tubuh kecil itu menghilang di balik pintu. It sure is gorgeous. Tapi kenapa harus lukisan ini? Sesaat, ia hampir melontarkan bom itu. Sudah di ujung lidah. Dan tidak dilakukannya.
Kini, ia berperang batin untuk memutuskan apakah harus bertanya atau tidak. Setelah mempertimbangkan dengan singkat, ia memilih untuk tidak melakukannya. Akan sangat aneh jika ia bertanya kenapa Joshua melukis lukisan menyedihkan ini. Benar, baginya ini menyedihkan, tapi orang-orang punya pemahaman lain tentang The Starry Night.
Akan timbul kesalahpahaman jika ia bertanya. Adiknya sudah bisa paham tentang perasaan 'ada yang salah' atau 'abnormal' yang terjadi di sekitarnya. Dan Joshua akan menyadari itu. Karena, ayolah! Ini hanya lukisan. Mungkin Joshua mengartikannya sebagai sesuatu yang indah. Langit malam penuh bintang yang ia rindukan keberadaannya. Mustahil melihat pemandangan langit malam dengan bintang di Jakarta.
Jasmine masuk ke kamarnya dengan menekan perasaan terganggu. Ia harus bisa mengendalikan ini. Ia harus berhenti untuk terlalu peka. Namun mustahil baginya untuk mengurangi apalagi berhenti. Ini adalah salah satu kecerdasan emosional yang dimilikinya. Sudah bertahun-tahun ia mempelajari tentang bagaimana harus mengatasi perasaan ini. Salah satu caranya adalah agar tetap diam dan tidak mempermasalahkan semuanya. Menganggap hal itu bukanlah apa-apa, dan berakhir menyedihkan setiap malam karena terlalu memikirkannya.
Tapi ia belajar bahwa itu lebih baik daripada membuat orang lain merasa tersinggung.
Ia membuka laptop dan menyalakan Mp3 player, menyambungkannya ke Bluetooth speaker di atas meja belajar. Bersamaan dengan suara instrument gitar yang keras dan melengking, ia membuka buku soal latihan dan mulai belajar. Lomba Sains Universitas sebentar lagi dimulai, yang ia butuhkan sekarang adalah fokus.
Selera dan kebiasannya adalah unik, musik rock membantunya untuk konsentrasi. Suara gitar elektrik dan teriakan vokalis yang dapat membuat gendang telinga siapa saja berdenging—dan bisa saja memutus pita suara sang vokalis sendiri—secara aneh dapat mempercepat aliran darahnya ke kepala. Oksigen menyelubungi otaknya dan membuatnya jernih sehingga ia dapat berpikir secara maksimal.
Belasan soal telah selesai tepat saat makan malam. Ia menghentikan player dan menutup bukunya. Kebisingan di lantai bawah seperti diantara sunyi dan mencekam. Mbak Cahya sudah membereskan meja makan dan tatapannya sesekali melirik ke pintu garasi yang ada di dekat meja makan.
Ada yang telah kembali rupanya.
Ia membantu Mbak Cahya menyiapkan minuman. Apapun menu makan malam, air putih hangat harus selalu menjadi minuman mereka dan juga jus sebagai pencuci mulut.
"Lebih baik kamu ganti baju dulu sebelum makan malam, Mas," ucap ibunya, memecahkan keheningan yang ada. Ayahnya berjalan tiga langkah di depan sang istri dan terlihat jengkel sekaligus tidak peduli. Bukan pemandangan aneh.
Benjamin berlalu begitu saja ke lantai atas, sementara Inesia berbelok ke arah mereka sambil menebarkan senyuman. Oke, ini baru aneh. Seakan tidak mau tahu dengan keheranan dua penghuni lain disana, Inesia bersenandung dan mengupas kulit jeruk.
"What's happen?" Jasmine memberanikan diri bertanya.
"Mama habis ngintilin Papamu kerja! Makanya dia langsung pulang."
"Mama seharian di kantor Papa?"
"Yes."
Mbak Cahya tersenyum kecil dan buru-buru menyelesaikan pekerjaan. Mbak-nya yang satu ini memang tidak suka berlama-lama dengan majikannya kecuali Sang Tuan Besar. Karena, lebih aman bersama dengan orang dewasa yang memiliki emosi cenderung stabil daripada meledak-ledak, bukan? Ia memaklumi hal itu.
Inesia memang suka sekali memonitor suaminya dari jarak jauh maupun dekat, ya seperti apa yang ia beritahukan tadi. Cara itu lebih efektif daripada memohon belas kasihan dari lawan bicara saat melukai diri sendiri. Benjamin jelas tidak akan berkutik jika isterinya berada di kantor dan mau tak mau bersifat kooperatif, mereka tentu tidak akan membuat drama disana.
"How's your day?"
Jasmine menatap ibunya kaget. Jika Mbak Cahya ada di sini, tentu responnya akan berubah bingung, menerka-nerka untuk siapa gerangan pertanyaan itu ditujukan. Tersenyum lebar, ia menjawab. "Good."
Tentu saja baik, karena ini merupakan kali pertama setelah 3 tahun ibunya bertanya tentang harinya. Jika seperti ini, bolehkah ia berharap lebih agar ibunya juga memperhatikan sang adik? Mumpung suasana hatinya sedang cerah.
Jasmine terdiam sebentar memikirkan gagasan itu. "Mama harus lihat lukisan Joshua. Bagus banget lho!"
"Oke," entah akan dilakukan atau tidak, jawaban itu tetap membuatnya senang.
Mereka akhirnya berkumpul di ruang makan. Wajah masam Benjamin sangat berkebalikan dari sang istri. Aneh dan tidak membuat nyaman, ada harga yang harus dibayar jika ingin melihat salah satu dari kedua orang itu bahagia.
"Kakakmu bilang, kamu bikin lukisan?"
Jasmine nyaris menjatuhkan sendok sementara Joshua menatap ibunya kaget. Matanya melotot dan ia menoleh pada sang kakak untuk meminta bantuan. Jasmine tahu adiknya sangat kaget seperti halnya ada yang mengatakan bahwa bumi ini datar, sebetulnya iapun juga. Namun kepalanya tetap dianggukkan agar sang adik mendapatkan jawaban.
"I-iya."
"Nanti Mama mau lihat."
Benjamin mendengkus tak percaya. Tak percaya jika hasil dari membuntutinya seharian ini dan membatasi ruang geraknya akan sangat dahsyat.
Seperti yang diucapkan Inesia, mereka bertiga naik ke kamar Joshua setelah menyelesaikan makan malam. Benjamin lebih memilih untuk langsung masuk ke dalam kamar, bisa jadi menelepon seseorang untuk meminta maaf karena janji yang mungkin saja harus dilakukan hari ini tidak bisa ditepati. Tapi pria itu tetap memberikan high praise kepada anak bungsunya yang juga terkenal pintar.
Inesia menatap lukisan duplikat The Starry Night dengan kepala meneleng ke kiri. "Bagus," pujinya dengan nada cukup riang. Ia menatap si bungsu dan tersenyum tipis. "Anak pintar."
Joshua masih kaku seperti patung setelah Inesia meninggalkan kamarnya. Jasmine duduk di kursi belajar dan tidak mencoba untuk menyadarkan sang adik dari keterpanaan.
"Is she really our Mom?" bisik anak itu. Nada suaranya bergetar.
Jasmine bangkit sambil tersenyum lebar. Ia menunduk, mengecup puncak kepala adiknya. "Yeah, she is."
▬▬▬
Hiruk pikuk kantin saat makan siang tidak membuat Jasmine merasa muak. Biasanya, ia selalu menghindari kerumunan dan kebisingan yang mereka ciptakan. Ia tidak membenci manusia, hanya saja rasanya terlalu berlebihan jika jumlahnya begitu banyak dan ia terjebak di antara mereka.
Saat ini Mario mengajaknya makan siang bersama anggota basket. Beberapa meja dijadikan satu dan keributan para cowok tidak dapat dielakkan, tawa mereka membahana ketika membahas sesuatu yang sebenarnya tidak begitu lucu.
Namun topiknya sudah menjadi lebih baik sekarang, yaitu tentang pertandingan musim ke-3 basket ketika dua orang siswi datang mendekati meja mereka. Kedua cewek itu saling pandang dengan gugup ketika mendapatkan seluruh atensi yang ada disana.
"Kak Jaz, aku-aku mau minta tolong boleh?" tanya seorang cewek berkuncir kuda, mendekap sebuah buku tulis.
"Boleh boleh, ada apa?" Jasmine berdiri dan minta tukar posisi dengan Galil—yang duduk di ujung meja. Karena adik kelasnya terlihat sangat tidak nyaman jika harus membelah kerumunan untuk mencapai posisi tengah dimana tempat ia duduk tadi.
"Aku ada PR Anatomi … dari tempat les. Bisa tolong ajarin sedikit gak, Kak?" ucapnya sambil mengangsurkan bukunya.
Jasmine membaca soal dan kepala-kepala kepo dari teman-teman Mario sulit membuatnya konsentrasi. Mereka mendekat, memperhatikan isi buku dan yang bisa Jasmine lihat sekarang hanyalah rambut-rambut mereka.
"Dih najis soal macem apaan nih?!"
"Lo paham, Yo?"
"Paham gue, 1+1=2."
"Geblek."
"Itu matematika, Yo, bukan IPA."
"Lo anak IPA, bangsat. Masa kaga bisa ngerjain ini?"
"Untung soal di ujian gak pernah sesusah ini. Yang gampang aja bikin gue mual."
"Gue harus beli berapa otak cadangan buat ngisi ini soal?"
"Untung gue anak IPS."
Dan lain sebagainya, yang mana cukup memberikan hiburan untuk Jasmine. "Permisi, kakak-kakak. Kasihan adik kelasnya udah nunggu."
"Eh iya, sok atuh neng!"
"Mangga-mangga."
"Biarkan master yang menyelesaikan."
Jasmine akhirnya bisa melihat tulisan dalam buku dan membaca soalnya. Setengah menit kemudian, ia berkata dengan pensil yang menunjuk gambar anatomi otot bagian belakang. "Jadi, Otot punggung dibagi menjadi dua kelompok khusus: otot ekstrinsik yang berhubungan dengan ekstremitas atas dan gerakan bahu, dan otot intrinsik yang berhubungan dengan gerakan tulang belakang. Beberapa otot kecil di daerah servikal kolumna vertebralis juga penting."
"Otot ekstrinsik superfisial menghubungkan ekstremitas atas ke batang tubuh, dan ini kata kuncinya: mereka membentuk otot berbentuk V yang terkait dengan punggung tengah dan atas," lanjut Jasmine. "Dari gambar, yang mana yang merupakan otot ekstrinsik superfisial? trapezius, latissimus dorsi, levator scapulae, dan rhomboids."
"Makasih banyak, Kak. Penjelasan Kakak lebih gampang bahasanya."
Jasmine tersenyum lebar dan menerima pujian itu, kedua adik kelasnya pamit diri dan berbagai suara berat tumpang tindih setelahnya.
"Gila gila!"
"Gue kaga paham Jasmine ngomong apaan!"
"Komuknya Bima jelek banget pas Jasmine ngomong," dan tawa itu meledak.
"Our school pride, sih, gak heran!"
Mario memeluk lehernya dari belakang dan berkata. "Ceweknya siapa dulu?"
Seluruh orang yang ada disana bersorak tidak terima.
"Jasmine pinter karena otaknya, jir, bukan karena dia cewek lo!"
"Asu tenan! Putusin aja si Mario, Jaz, gak guna soalnya!"
Jasmine tertawa terbahak-bahak.