"Thank you, Jaz!" seru Jonas setelah meletakkan sekantung kresek penuh camilan ke atas meja.
Jasmine mengintip isinya; permen, cokelat, kuaci, dan juga minuman yoghurt berbagai rasa. "Buat apa?"
"Dari anak-anak, termasuk gue juga, atas pertolongan PR lo selama ini hehe."
Jasmine tertawa pelan. "Ya Tuhan, sampe segininya. Thank you ya, guys."
"Kita-kita yang lebih makasih. Sering-sering ya," imbuh Serafina.
Jasmine belum menjawab karena Mario sudah memanggilnya dari pintu kelas. Ia hanya tersenyum dan mengangguk untuk membalas Serafina, menaruh camilan itu ke laci meja lalu menyusul sang pacar.
"Makan apa kita?" tanya Mario, mencari jari-jemarinya untuk digenggam. Mereka bergandengan tangan menuju kantin yang pasti sudah penuh sekarang ini.
"Bakso atau siomay?" tawarnya.
"Dua-duanya enak."
"Siomay aja deh yang gak begitu ramai antrian," Jasmine menunjuk stand siomay yang dikerumuni beberapa anak saja. Mario mengangguk lalu segera pergi mengantri. Sedangkan ia pergi menuju meja kosong.
Ia melihat Mario yang mengantri sambil dikerumuni para junior, baik siswa maupun siswi. Pemandangan seperti ini sudah sangat lumrah. Mario termasuk anggota inti basket sekolah yang selalu menyumbang piala kejuaraan. Sifatnya ramah dan suka bercanda. Fans-nya banyak, apalagi dari kalangan siswi. Dengan tampang lumayan dan tubuh atletis, siapa sih yang tidak meliriknya?
Jasmine bahkan tidak menyangka kalau hubungan mereka sudah memasuki umur satu tahun enam bulan. Bermula dari teman kelompok tugas yang sama terus-menerus hingga jadi sepasang kekasih. Ia sendiri tidak rendah diri dengan penampilannya. Ia cantik, ia tahu itu. Tapi tidak secantik Syakila—si primadona sekolah.
Saat ditembak oleh Mario, ada rasa terkejut campur heran. Karena menurutnya, Mario cukup serasi dengan Syakila dan warga sekolah juga sering menjodoh-jodohkan mereka. Tapi cowok itu malah memilihnya yang lebih introvert daripada Syakila. Karena, jujur saja, sebagian orang berasumsi bahwa orang introvert membosankan untuk dijadikan teman ngobrol.
Mario kembali dengan dua piring siomay dan langsung pergi lagi untuk membeli minum. "Adanya tahu putih. Tahu cokelatnya abis," kata Mario ketika kembali, menaruh jus jeruk kemasan di dekat piringnya.
Panjang umur, Syakila lewat dan menyapa mereka. "Hi, love birds!"
"Yo, Kila," balas Mario selibat lalu melahap siomaynya.
Ia sendiri tersenyum dan melambaikan tangan pada primadona itu. "Gak apa-apa," jawabnya kepada Mario.
"Dapet camilan apa tadi?"
"Yoghurt, kuaci, cokelat sama permen."
"Nanti aku mau latihan gitar lagi, mau ikut?"
Jasmine menghentikan gerakannya membuka tutup botol. "Lagi? Bukannya dari hari Minggu kamu kesana terus ya? Tante gak marah?"
Mario nyegir pepsodent. "Enggak dong. Kan aku selalu ngerjain PR dan nilai ulangan juga gak jelek-jelek amat, jadinya Bunda gak protes sama sekali."
Jawaban itu sudah cukup, jadi ia tidak bertanya lagi. Mario menghabiskan makanannya dengan cepat padahal porsi cowok itu lebih banyak darinya. "Jadi ikut gak? Ikut dong, kemarin kamu udah nolak, lho."
Jasmine berpikir sebentar. Hari ini jadwal ibunya pergi ke salon dan biasanya baru akan pulang ketika sebelum makan malam dimulai. Baiklah, ia akan bilang Pak Darman untuk menjemput Joshua. "Oke. Tapi gak lama ya."
Setelah satu suapan terakhir, Mario bangkit dan membawa piring kotor mereka. Jasmine mengaktifkan ponselnya dan menelpon Pak Darman. Joshua baru akan keluar pukul setengah satu siang, seharusnya belum terlambat untuk menjemput anak itu.
"Yuk. Masih ada yang mau dibeli?" Mario sudah berdiri menjulang di sebelahnya. "Eh gak usah deh, tadi kan kamu baru dapet camilan. Yuk balik aja."
▬▬▬
Jasmine menutup pintu penumpang depan mobil Mario, diikuti Hilda dan Jena. Kedua cewek itu menumpang karena sedang malas naik motor pacar mereka. Wawan pergi ke bagian resepsionis untuk mengecek area reservasi ruang musik sedangkan Mario, Farhan, Hilda dan Jena pergi untuk membeli snack yang dibutuhkan.
Café ini memiliki dekorasi ala hard rock. Wallpaper-nya berwarna hitam abu-abu dengan sentuhan lampu neon dan terdiri dari 4 lantai. Karena Wawan belum selesai dengan masalah reservasi, maka ia hanya berdiri diam di dekat pintu masuk dan melihat-lihat majalah musik edisi lama dan baru.
"Yuk, Jaz," Wawan lewat sambil mencolek bahunya. Di tangannya sudah terdapat kunci ruangan yang akan mereka pakai nanti.
Ia menaruh kembali majalah itu dan mengikuti Wawan. Mario menyuruhnya untuk langsung naik saja karena masalah snack akan diatasi oleh mereka. Baiklah, karena bantuannya tidak diperlukan di sana, maka ia membantu Wawan membereskan abu rokok pada asbak yang ada di dalam ruangan.
"Kebiasaan deh, suka lupa buang abu," gerutu cowok itu.
Jasmine duduk di salah satu sofa setelah membersihkan. Wawan melihatnya dan tersenyum. "Tapi tenang aja, Jaz. Kalau ada yang mau ngerokok, gue suruh keluar."
Jasmine tersenyum kecil atas perhatian itu. Ia memang membenci asap rokok. "Thanks. Atau gue nanti bisa keluar aja."
Iya, karena buat apa menyewa ruangan yang bisa dipakai untuk merokok kalau tidak merokok? Terlepas dari harganya yang lebih murah dari ruangan bebas asap rokok, sih.
Satu-persatu orang mulai berdatangan. Mario, Farhan, Chika, Jena, Ilham, Dani dan Hilda. Para cewek langsung mengerubungi snack yang mereka bawa sedangkan para cowok sudah diam di instrument masing-masing.
"Jasmine mau yang mana? Ada cokelat goreng, susu goreng, sama ayam pop," tawar Jena.
Chika tertawa. "Jangan mau, Jaz. Jena Cuma basa-basi busuk aja. Itu dia pilih buat dimakan sendiri."
"Lagian siapa juga yang demen susu goreng," gumam Hilda lalu meraih kentang goreng.
Jena menarik rambut kedua cewek itu, membuat mereka mengaduh. Jasmine tertawa dibuatnya. Ia lalu mengambil satu bulatan ayam pop dan segelas cola. "Thank you, snack-nya."
Suara-suara sumbang tercipta karena para cowok masih mencoba mencocokkan kunci nada mereka. Jena sampai memarahi Ilham, sang pacar, karena membuat nada begitu fals.
"Eh eh," Chika memulai. Jika sudah begitu, semua cewek pasti akan siap telinga dan fokus terhadap apa yang akan dikatakan Chika. Per-julid-an dimulai. "Masa ya, tadi gue gak sengaja denger di toilet. Mereka masih suka jodoh-jodohin Mario sama Syakila."
"Anak mana? Biar gue uyek sampe jadi adonan!" Hilda mencecar.
Chika menggeleng. "Gak tau, ya. Gue gak lihat soalnya masih di duduk di toilet. Kayaknya sih adek kelas, soalnya mereka mention Syakila pakai 'Kak'."
Obrolan mereka berhenti ketika pintu ruangan diketuk. Chika yang berada terdekat dari pintu menarik handle-nya dan memperlihatkan sosok Mega. "Eh, Mega. Masuk masuk."
"Gue gak ganggu kan?" Mega tersenyum manis kepada mereka semua. "Wah Jasmine hadir ternyata. Gue kira lo absen lagi."
Jasmine menggeleng. "Kenapa gak bareng Wawan tadi?"
"Gue piket dan Wawan gak mau nungguin. Emang jahat banget. Lihat aja nanti ban motornya gue kempesin."
Wawan yang tengah memetik bass hanya memasang tampang jelek untuk membalas Mega. Sebelum perang benar-benar pecah, Hilda menarik Mega duduk di sampingnya. "Nih minum, haus kan lo."
"Thanks. Eh gue bawa berita," Mega memajukan tubuhnya.
"Asik nih yang beginian," Jena menyeringai. "Lanjotkan, sis!"
"Gue tadi gak sengaja ketemu Syakila. Dan dia lagi ngobrol sama anak kelas 11."
"Tentang?" tanya Jena.
"Mario."
Hilda memukul lengan Chika. "Jangan-jangan anak yang di toilet dia juga, Chik!"
"Sshh. Belom kelar belom kelar," Jena menyuruh semuanya tenang agar Mega bisa melanjutkan.
Mega melirik Mario sesaat. "Dua cewek itu nanya kenapa si Kila gak jadian sama Mario, padahal dulu udah pernah pdkt. Mereka juga nanya siapa cowok yang lagi deket sama Syakila."
"Gila!" Chika menggeleng dramatis. "Itu anak ayam kok pede banget nanya hal privat kayak gitu? Syakila emang kelewat baik sih, para junior jadinya semena-mena sama dia."
"Terus si Kila jawab apa?" tanya Jena.
"Dia Cuma senyum aja. Terus bilang rahasia, gitu."
Hilda mengangguk puas. "Jawaban cerdas."
"Lagian kenapa sih orang-orang tuh? Jasmine juga cantik, baik, pinter lagi. Cocok sama Mario," bela Chika.
"Perhatian juga. Suka beliin sarapan buat cowoknya," kali ini Jena yang meninggikannya.
Jasmine hanya bisa memandang Mario yang sedang semangat memetik gitar.
"Lo gak marah, Jaz?" Mega bertanya dengan nada hati-hati.
Jasmine menggeleng singkat. "Gak apa-apa lah. Lagian kenyataannya kan gak begitu."
Jena memeluknya dari samping, seraya menarik-narik pipinya dia berkata. "Aku salut sama kamu, wahai anak muda!"
▬▬▬
Mario memberhentikan mobilnya di depan pagar rumah Jasmine. Ia mengantar pulang gadisnya pukul 6 tepat seperti perjanjian mereka. "Sepi banget. Belum pada pulang?"
"Belum. Thanks ya tumpangannya, safe ride back."
"Besok aku gak sarapan di rumah," info Mario ketika ia membuka sabuk pengaman.
Jasmine menatap pacarnya polos. "Lalu?"
"Biar kamu yang beliin aku sarapan."
Jasmine mematung sesaat dan pada akhirnya hanya bisa tertawa kecil. Tidak mengiyakan ataupun mengelaknya. Ia masih menatap mobil Mario hingga berbelok di tikungan sebelum masuk ke dalam rumah.
Joshua berdiri di bawah anak tangga, rambutnya masih setengah basah.
"Kamu nunggu kakak?"
Anak itu tidak menjawab namun malah menatap kantung plastik yang ia bawa. "Mau? Isinya cokelat goreng, yoghurt, permen sama kuaci."
"Mau."
Jasmine tersenyum lebar. "Tapi kamu harus sudah menyelesaikan PR. Kalau belum, kakak gak kasih."
Joshua menatapnya terkejut. "Aku kerjain sekarang." lalu berbalik menaiki tangga dengan cepat.
Ya ampun, adiknya manis sekali!