Chereads / How Is Your True Feelings / Chapter 4 - Part 4

Chapter 4 - Part 4

Jasmine menyingkap karpet bulu dan meraba rug pad dengan telapak kakinya kemudian menggeleng pelan. Cara ini tidak begitu berhasil. Ia membuka shopping app dan membeli gorden wol untuk menutupi jendela kamarnya yang cukup panjang dan untung saja hanya ada di satu sisi.

Suara pecahan kaca membuatnya berjengit kaget … sedikit. Ia membuka pintu dan masuk ke kamar adiknya. Joshua tengah bermain komputer dengan headphone yang terpasang. Ia memanggil Joshua, mengecek apakah benar anak itu tidak mendengar apa-apa. Setelah memanggil tiga kali dengan intonasi yang berbeda dan tidak mendapat tanggapan, ia mengangguk kecil lalu keluar.

Teriakan-teriakan di bawah tangga semakin keras. Ia mengintip sedikit untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ibunya menggenggam pecahan keramik yang berasal dari guci keramik China seharga 7 juta rupiah dan mengacungkannya kepada sang ayah.

Ayahnya tersenyum meremehkan. "Really, Nes, kamu masih pakai cara ini?"

Ibunya mendengkus. "Seenggaknya ini pernah berhasil."

Mereka saling bertatapan sengit. Jasmine mendesah dalam hati, kenapa ayahnya tidak menyerah saja sih? Setelah ini pasti akan lebih parah. Dan benar saja, belum ada semenit ia mengatakan itu dalam hati, Benjamin berjalan melewati isterinya dan berjengit ke samping sambil berteriak.

"BENAR-BENAR SUDAH GILA KAMU INI!"

Lengan kanan Benjamin berdarah karena Inesia berhasil menyayat bagian itu ketika ayahnya berusaha melewati benteng ibunya.

Inesia tertawa kecil. "Berhasil, kan? Kamu terlalu meremehkan aku, Mas!"

Benjamin syok, lebih kepada fakta bahwa korban sang istri adalah dirinya. Ia pikir Inesia melakukan cara lama—menyayat tubuhnya sendiri dan berakhir di rumah sakit, sehingga Benjamin tidak bisa keluar rumah. Karena tidak mungkin ia menyuruh anaknya, Jasmine, untuk mengurus ibunya 100%.

"Ambil selangkah lagi, maka tangan kamu itu akan putus! Biar gak bisa pegang-pegang wanita jalang itu lagi!"

Jasmine buru-buru menuruni tangga dan mengalihkan perhatian kedua orangtuanya. "Pah," panggilnnya lalu menggeleng, mengisyaratkan untuk mundur saja. Benjamin menatap Inesia dengan sengit lalu naik ke kamarnya.

Sementara itu Inesia tidak berhenti menatap kepergian sang suami, kedua matanya memerah dan akhirnya mengeluarkan air mata yang telah ditahannya. "Gak, aku gak boleh kalah! Sampai kiamat pun, wanita jalang itu tidak akan mendapatkan Ben!"

Jasmine mendekati ibunya dengan perlahan dan menarik pecahan keramik dari tangan wanita itu. "Ma, tenang, tarik napas yang dalam … tahan … hembuskan, ayo lagi." sedikit demi sedikit, ibunya menjadi lebih terkendali. Inesia dibawa duduk ke sofa terdekat.

"Tunggu disini, aku mau bersihin belingnya."

Jasmine memanggil Mbak Cahya untuk membantunya membersihkan kekacauan, karena serpihan halus keramik cukup banyak. Mbak Cahya membersihkannya dengan tampang cemas dan melirik ibunya sesekali, takut jika majikannya itu tiba-tiba meledak atau apa.

"Udah, Mbak, ini sisanya aku aja. Mbak bawa ibu masuk."

"Hati-hati sama serpihan yang halus, kayaknya sampai ke karpet."

Mbak Cahya mengangguk. Jasmine berdiri dan meuntun ibunya ke kamar. Wanita itu kembali menangis sambil setengah bergumam sendiri. Kalau sudah seperti ini, butuh waktu cukup lama untuk membuat ibunya tenang. Langkah pertama yang diambilnya ialah membaringkan sang ibu ke kasur dan menyisir rambutnya yang terurai. Sebelah tangannya yang bebas ia gunakan untuk menggenggam tangan sang ibu. Seluruh tubuhnya terasa dingin bagai habis mandi air es.

"Kamu gak boleh tinggalin aku, Mas, kamu udah janji," gumam ibunya, sangat lirih. Lebih mirip seperti rintih kesakitan.

Perlahan namun pasti, ibunya terlelap dan genggaman pada tangannya mengendur. Jasmine tidak langsung pergi, ia masih berada disana mengelus surai legam sang ibu. Menatap wajah wanita yang telah melahirkannya dan menyanyanginya dengan cara normal dulu. Sejahat dan sekasar apapun wanita itu sekarang, Inesia masih ibunya. Ia akan selalu mengingat poin ini.

Setelah memastikan ibunya benar-benar terlelap, ia baru meninggalkan kamar. Mbak Cahya sudah menunggunya di balik pintu dengan sekotak paket di tangan.

Jasmine meraih paketnya. "Thanks ya, udah rapih?"

"Beres. Tapi, anu … Mbak, si bapak masih di kamar."

Paham dengan maksudnya, ia mengangguk dan menuju kamar ayahnya setelah menaruh paket ke kamarnya terlebih dulu. Ia melihat sekilas ruangan itu dan tidak mendapati ayahnya dimanapun, tapi pintu kamar mandinya terbuka dan terdengar percikan air.

"Pa," panggilnya. Benjamin berjongkok membelakanginya di dekat bath tub dengan bertelanjang dada. Sedangkan kausnya yang bernoda darah sedang direndam air.

"Kenapa?"

"Kok, tanya kenapa? Ya mau obatin Papa dong."

Benjamin akhirnya berbalik melihatnya. "Udah Papa obatin sendiri. Makasih ya."

Jasmine menggeleng. "Pasti asal-asalan, deh. Udah sini aku bantu bebat yang rapih."

Ayahnya menghela napas dan bangkit keluar dari kamar mandi. Jasmine menunjuk sofa yang di sebelahnya sudah terdapat kotak P3K. Benjamin duduk lebih dulu dan Jasmine duduk di sebelahnya, agak sedikit menyerong sambil memangku kotak P3K. Dan benar saja. Luka sayat yang agak panjang itu hanya tertutup hansaplast.

Ia berdecak. "Tuh kan, benar. Masa luka sayat begini Cuma ditutup hansaplast."

"Ini yang Papa ingat dari Pramuka."

"Ketahuan sering bolos," balasnya dan mereka tertawa. Jasmine membersihkan area sekitar luka sang ayah sambil mengira-ngira sedalam apa luka yang sudah ditorehkan ibunya. Dan untungnya tidak begitu dalam karena darah yang keluar sudah mulai berkurang.

"Papa inget gak? Papa suka ngomelin aku, kalau aku nutup luka sembarangan."

"Waktu kamu jatuh dari skateboard? Luka di siku kamu yang Cuma ditutup pakai daun itu?"

Jasmine mengangguk sambil fokus pada luka ayahnya. "Karena panik dan takut Mama marah jadi aku Cuma tutupin pakai daun terus ditahan sama ikat rambut. Tapi tetap ketahuan sama Papa."

"Lalu Papa ajarin kamu gimana caranya bebat luka sendiri."

Jasmine mengangguk lagi. Tangannya sedang sibuk membuka kasa. "Papa masih ingat gak, apa yang Papa bilang waktu itu?"

Suara ayahnya memberat ketika berucap. "Karena Papa gak selalu ada waktu kamu terluka, jadi kamu harus bisa menolong diri kamu sendiri."

"Benar," Jasmine menaruh kapas di atas luka. "Tapi nyatanya Papa tetap ada disana saat aku terluka. Papa yang selalu ngobatin aku. Papa yang lebih heboh dari Mama saat aku terluka."

"Jadi …" Jasmine memplester kasa agar tidak longgar. "… Papa gak perlu menahan diri untuk minta bantuanku. Aku ada disini, aku gak kemana-mana dan Papa lagi sakit sekarang. Biar aku yang ngobatin Papa. Sama seperti apa yang Papa lakukan ke aku dulu."

Benjamin tidak bisa menatap mata anak gadisnya. "Akan lebih mudah kalau kamu marah ke Papa, sayang."

Ia membereskan peralatan. "Papa mau aku marah?"

Benjamin tidak menjawab, matanya menatap tak fokus pada apapun yang dilihatnya. Setelah diam cukup lama, akhirnya pria itu menjawab. "Kalau itu bisa bikin semuanya lebih mudah untuk kamu. Lebih mudah untuk Papa."

Mereka jarang berbicara dari hati ke hati. Perbincangan yang biasa mereka lakukan hanya membahas seputar PR, sekolah dan uang jajan. Benjamin tipikal pria dingin dan kaku, tidak banyak bicara dan lebih banyak tindakan. Itulah yang diturunkan Benjamin kepada anak perempuannya, Jasmine.

Jujur saja, bagi Jasmine untuk berbicara dengan kalimat dalam seperti tadi bukanlah gayanya. Ia membutuhkan banyak sekali tenaga untuk melakukan itu. Tenaga dan pikiran. Memilih kata yang akan keluar dari mulut dan dapat memberikan efek bagi sang pendengar itu tidaklah mudah.

Ketika tidak mendengar balasan dari sang anak, Benjamin memberanikan diri untuk menoleh. Ia agak terhenyak saat mendapati tatapan Jasmine seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Polos dan bingung. Sukses membuatnya terlempar ke masa lalu, ketika Jasmine mendapatinya bertengkar dengan Inesia untuk yang pertama kalinya.

"Aku … gak tahu apa-apa. Aku gak tahu bagaimana kehidupan dua orang dewasa yang telah menikah seharusnya dijalankan. Yang kutahu, itu pasti susah. Jadi aku gak bisa marah ke siapapun."

Benjamin tersentak, napasnya tertahan karena ucapan itu. Maksud anak gadisnya adalah ia tidak pernah berada di posisinya dan Inesia, ia tidak pernah tahu seberat apa tanggungjawab sebagai orangtua. Jasmine tidak bisa marah karena ia tidak bisa seenaknya men-judge kedua orangtuanya atas apa yang telah terjadi.

Tanpa bisa ditahan, setitik air mata jatuh dari mata kirinya.

▬▬▬

Keadaan tenang yang bersifat sementara ini ia pergunakan untuk belajar. Ia sudah mengirimkan form berisi data diri ke perlombaan Sains dan seleksinya akan dilaksanakan seminggu lagi. Lalu setelah itu, yang lolos dari seleksi barulah bisa mengikuti pertandingan utama.

Setelah mengobati luka ayahnya dan menidurkan ibunya, hanya inilah kesempatan yang ia punya untuk menambah potensi diri. Banyak yang harus ia pelajari namun sedikit sekali waktu yang ia punya. Memang apa saja yang membunuh waktunya?

Pertama, Pertengkaran orangtuanya.

Kedua, Membereskan sisa pertengkaran itu.

Dan … Mario.

Maka dari itu, kepintarannya adalah sebuah berkah. Ia tidak perlu 'terlalu' belajar untuk memahami semua materi yang ada. Waktunya benar-benar tidak begitu banyak.

Hey there, how you been?

I'm that voice in your head, and I know you been aching

When you find me, let me in

I got power in my hands, and it's yours for the taking

Nada deringnya berbunyi cukup nyaring karena kehampaan suara di kamarnya. Ia mengambil napas sambil meraih ponselnya.

Incoming Call; Mario.

"Ya?"

"Kamu mau ikut gak? Aku mau sparring sama anak-anak."

Ia melihat jam pada laptop. "Aku masih belajar, nih. Sparring-nya berapa lama?"

"Kami nyewa lapangan sampai jam lima sore sih," jawab Mario.

Masih ada waktu, sekarang baru pukul 11 siang. "Oke, nanti aku kesana sekitar jam 3'an."

"I'll be waiting ya, gak dijemput gak apa-apa kan?"

"Nah, it's okay."

Setelah salam perpisahan terucap, panggilan terputus bersamaan dengan ketukan pada pintunya. "Masuk."

Kepala Mbak Cahya menyembul dari balik pintu yang sedikit terbuka. Air mukanya tampak panik. "Mbak, aku izin pulang ya? Ibuku jatuh di kamar mandi!"

Jasmine menganggukkan kepalanya cepat. "Iya, iya sana. Hati-hati, jangan ngebut di jalan."

"Oke, Mbak Jaz, makasih. Nanti kasih tau Ibu ya?"

Jasmine mengangguk lagi. Mbah Cahya menutup pintu dengan sedikit bantingan karena buru-buru. Belum ada lima menit pintunya tertutup, benda itu kembali mengeluarkan suara. Ia menoleh dan pintu terbuka, menampilkan sosok ayahnya dengan pakaian santai namun rapi.

"Mau kemana?" tanyanya langsung. Kalau ayahnya sudah memakai kaus berkerah, pasti mau pergi.

"Keluar sebentar."

Jasmine dapat melihat kegugupan dalam sorot mata sang ayah. Setelah percakapan mendalam yang mereka lakukan tadi, tidak mungkin ayahnya masih bisa memandangnya dengan sorot tegas seperti biasa. Ia melirik bercak darah pada bebatan kasa dan polanya masih sama, itu berarti lukanya mulai menutup dan darahnya tidak merembes lagi.

"Mama masih tidur?"

Benjamin mengangguk kaku. "Papa Cuma sebentar. Gak sampai 3 jam."

"Oke," jawabnya pelan. "Hati-hati."

Benjamin tersenyum kecil lalu menutup pintu dengan teramat pelan, berhasil untuk tidak menimbulkan suara sama sekali.

Ia menatap buku soal seraya menggigit bibir bawah. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah berdoa semoga ibunya baru bangun saat makan malam nanti. Jika tidak, maka perang sipil akan terjadi lagi.