Clara yang mendengar akan diadakannya razia merasa biasa saja. Ia pun nampak tenang karena gadis tersebut mengira bahwa razia yang akan dilakukan adalah razia telepon genggam. Dengan santai ia berjalan maju ke depan kelas bersama dengan teman sebangkunya—Hilda.
Saat seluruh siswa telah berdiri di depan kelas, Bu Retno—wali kelas mereka mulai manyampaikan maksud dan tujuannya melakukan razia.
"Hari ini, Ibu mendapatkan laporan bahwa salah satu dari kalian ada yang menumpahkan tinta berwarna merah ke atas kursi milik Luna, sehingga roknya terkena noda merah. Maka dari itu, Ibu dan Bu dwi akan melakukan razia untuk mengetahui siapa yang telah menumpahkan tinta tersebut ke atas kursi Luna," jelas sang wali kelas panjang lebar.
Saat mendengar tujuan dilakukannya razia, mata Clara membulat sempurna dan ia mulai panik. Ia tak menyangka bahwa razia yang akan dilakukan adalah razia untuk mencari barang bukti, siapa yang telah menumpahkan tinta ke atas kursi Luna.
Bu Retno dan juga Bu Dwi mulai membuka satu persatu tas milik para siswa, lalu memeriksa isi tas mereka. Kini giliran tas clara yang akan diperiksa oleh Bu Dwi. Jantung Clara pun berdebar saat guru bimbingan konseling mulai membuka tas miliknya. Riwayatnya akan tamat hari ini karena kejahatannya pada Luna akan segera terbongkar dan ia pun akan dipanggil ke ruang Bimbingan Konseling.
Bu Dwi mulai menggeledah isi tas milik Clara. Wanita paruh baya itu mengeluarkan satu per satu isi tasnya, lalu menemukan sebuah botol tinta isi ulang berwarna merah di dalam tas gendong berwarna merah muda itu. Guru Bimbingan Konseling tersebut pun bertanya sembari mengangkat tinggi tas ransel yang seluruh isinya kini telah berhambur di atas meja.
"Tas punya siapa ini?"
Seluruh siswa pun hening, tidak ada satu pun dari mereka yang berani menjawab, termasuk Clara. Ia tidak berani mengakui bahwa tas itu adalah miliknya. Karena tidak mendapatkan jawaban, Bu Dwi pun kembali bertanya,
"Kok, kalian diam? Sekali lagi Ibu tanya, tas punya siapa ini, ayo cepat jawab!!" tanyanya dengan dengan nada suara yang mulai meninggi. Karena Clara tidak mau menjawab, salah satu dari siswa yang duduk di belakangnya pun memberanikan diri untuk menjawab,
"Tas itu punya Clara, Bu."
Bu Retno yang merupakan wali kelas mereka mengarahkan pandangannya pada Clara. Guru mata pelajaran Matematika itu segera meminta klarifikasi pada Clara, apakah benar bahwa tas tersebut adalah miliknya.
"Clara, benar kalau itu tas punya kamu?" tanya Bu Retno memastikan.
Clara hanya terdiam dan tertunduk seakan segan untuk mengakui bahwa tas itu adalah miliknya.
"Clara, kenapa kamu diam saja? Jawab pertanyaan Ibu," pinta Bu Retno.
Gadis itu masih tertunduk. Ia kemudian hanya menganggukkan kepalanya, mengakui bahwa tas tersebut adalah miliknya.
Bu Retno hanya geleng-geleng kepala. Ia tak menyangka bahwa anak dari keluarga terpandang seperti Clara tega melakukan hal rendahan seperti itu kepada anak yang sama sekali tidak memiliki power seperti Luna karena keterbatasan ekonominya.
Sementara itu, Luna yang mengetahui bahwa noda merah yang telah mengotori roknya adalah Clara pun merasa sangat terkejut. Ia tak menyangka bahwa orang yang ia sambangi rumahnya kemarin tega melakukan hal yang telah membuatnya merasa malu. Gadis itu pun tak mengerti apa sebenarnya motif Clara melakukan hal tersebut kepadanya.
'Ya ampun, ternyata si Clara yang buat rok gue jadi ada nodanya. Dia yang sengaja numpahin tinta merah ke atas kursi gue. Baru kali ini dia begitu sama gue, apa gue ada salah sama dia, ya?' batinnya.
Karena telah mendapatkan barang bukti dan juga telah mengetahui pelaku dibalik tumpahnya tinta merah di atas kursi Luna, Bu Dwi pun meminta Clara untuk ikut dengannya ke ruang Bimbingan Konseling. Ia akan menegur Clara dan juga memanggil orang tuanya untuk datang ke sekolah. Wanita berkacamata itu tak mau hal serupa terjadi lagi untuk yang kedua kalinya.
"Clara, sini ikut Ibu ke ruang BK," ajak Bu Dwi sembari berjalan maju ke depan, lalu keluar dari kelas. Tak lupa, ia mengucapkan terima kasih dan juga berpamitan kepada guru kelas yang mengajar pada jam itu.
Dengan langkah gontai, Clara berjalan keluar kelas mengikuti langkah Bu Dwi menuju ruang Bimbingan Konseling yang terletak di lantai satu. Ini adalah pertama kalinya ia masuk ke ruangan untuk anak yang bermasalah di sekolah. Tentu saja hal itu amatlah memalukan untuknya yang merupakan anak dari keluarga terpandang. Terlebih lagi ayahnya adalah seorang pejabat.
Bu Dwi masuk ke dalam ruangannya, lalu mendudukkan diri di atas kursi hidrolik berwarna hitam. Wanita itu pun mempersilakan Clara yang masih saja berdiri di depan pintu untuk masuk dan duduk di kursi yang ada di hadapannya.
"Ayo, masuk, duduk di situ," perintah Bu Dwi.
Clara melangkah masuk, kemudian mendudukkan dirinya sembari menunduk dan juga memelintir rok putihnya. Ia tak berani menatap wajah wanita yang tengah duduk di hadapannya saat ini.
Bu Dwi memperhatikan murid yang kini menundukkan kepalanya. Ia tahu bahwa Clara merasa malu atas perilakunya yang akhirnya diketahui oleh seluruh teman-teman sekelasnya.
"Clara, coba sini liat Ibu," pinta Bu Dwi.
Clara mulai mengangkat kepalanya, lalu menatap wajah guru Bimbingan Konseling di hadapannya.
"Kamu gak perlu takut, Ibu cuma mau ajak kamu ngobrol aja," tutur wanita itu sembari tersenyum.
"I–iya, Bu," ujar Clara sembari tersenyum kaku.
"Boleh Ibu ajukan beberapa pertanyaan buat kamu?" Wanita itu bertanya sebelum menggali informasi lebih lanjut.
"Iya, Bu, boleh."
"Kenapa kamu tumpahin tinta ke atas kursi Luna?" selidik Bu Dwi.
"Gak kenapa-napa, Bu, saya cuma iseng aja," jawab Clara sekenanya.
"Lain kali gak boleh begitu lagi, ya. Bercanda atau iseng ke teman boleh, tapi tidak boleh berlebihan seperti itu." Bu Dwi mengingatkan.
"Iya, Bu, maaf."
"Orang tua kamu sering di rumah?" tanya wanita itu lagi.
"Iya, Bu, terutama Ibu saya."
"Oh, begitu. Berarti Ibu kamu itu gak kerja di luar, ya?"
"Nggak, Bu. Ibu saya cuma ibu rumah tangga biasa."
"Oh, begitu." Bu Dwi menganggukkan kepala. "Kalau begitu, berarti bisa Ibu kamu datang ke sekolah besok?"
"Bi–bisa, Bu."
"Oke, kalau begitu Ibu buatkan surat panggilan buat Ibumu dulu, ya."
Bu Dwi mulai menyalakan laptop. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, mengetik kata demi kata yang akhirnya tersusun menjadi sebuah surat.
"Ini surat buat ibu kamu. Tolong disampaikan, ya. Besok Bu Dwi tunggu kedatangan Ibumu di ruang BK," ucap guru Bimbingan Konseling itu sembari menyerahkan amplop yang tertutup rapat, sehingga tidak bisa dibaca oleh Clara.