Chereads / The Dream High / Chapter 14 - Tragedi Berdarah

Chapter 14 - Tragedi Berdarah

Orang-orang berkerumun mengelilingi Clara dan Hilda. Mereka hanya berdiri melihat Hilda yang tengah menangis sembari memangku Clara yang kepalanya bersimbah darah.

"Lo semua ngapain cuma berdiri ngeliatin kita?! Ini bukan tontonan! Cepat panggil guru sekarang!" perintah Hilda sembari berteriak karena kesal.

Salah seorang dari mereka berlari menuju ruang guru, memberitahukan bahwa ada salah satu siswi yang terjatuh dari tangga.

"Pak ... Pak ... ada anak yang jatuh dari tangga," ujar seorang anak lelaki yang panik.

"Apa? Di mana dia sekarang?" tanya guru itu tak kalah panik.

"Masih di tangga, Pak. Ayo, Pak, ikut saya." Ia segera berlari menuju tangga tempat di mana Clara tergeletak tak sadarkan diri, diikuti oleh beberapa guru di belakangnya.

"Awas, minggir, minggir!" seru salah satu guru sembari menerobos kerumunan para siswa.

"Kenapa dia?" tanya guru itu pada Hilda.

"Tiba-tiba aja jatuh, Pak," jawab Hilda sembari menangis.

"Dia harus cepat dibawa ke rumah sakit." Guru tersebut segera membopong tubuh Clara dan membawanya masuk ke dalam mobil salah satu guru untuk dibawa ke rumah sakit. Sedangkan Hilda mengikuti guru tersebut dari belakang.

Melihat keberadaan Hilda, guru tersebut bertanya,

"Kamu mau ikut ke rumah sakit juga?"

"Iya, Pak," jawabnya menganggukkan kepala sembari terisak-isak.

"Ya sudah, kamu duduk saja di kursi tengah sambil pangku kepala temanmu," perintah sang guru.

"Baik, Pak."

Hilda segera masuk ke dalam mobil untuk menemani Clara selama di rumah sakit. Ia tak tega meninggalkan sahabatnya itu sendirian, terlebih lagi saat ini Clara tak sadarkan diri.

Mobil yang mengantarkan Clara pun keluar dari halaman sekolah, sedangkan mobil yang menjemput Clara masih terparkir di sana. Sang sopir yang tengah duduk menunggu Clara di dalam mobil tak menyadari bahwa baru saja terjadi sesuatu pada anak majikannya.

Pria itu menunggu di halaman sekolah hingga sekolah nyaris sepi.

"Duh, kemana, ya, si non Clara?" gumam lelaki itu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Lelaki itu pun mengambil ponselnya dan berinisiatif untuk menelepon anak sang majikan yang tak kunjung menampakkan batang hidungnya selama hampir setengah jam setelah ia sampai di sekolah. Ia mencari kontak Clara, lalu menghubunginya.

Nada sambung mulai terdengar di ujung telepon, tetapi setelah nada sambung telepon tersebut berakhir, telepon tak kunjung diangkat oleh Clara. Hal ini membuat Rizal kebingungan, di mana keberadaan anak majikannya saat ini.

Walaupun ponsel Clara aktif, tetapi ia selalu menonaktifkan nada dering dan juga getar. Hilda tak menyadari bahwa ada panggilan tak terjawab di ponsel Clara karena ponselnya masih ada di dalam tas.

Mobil yang membawa Clara akhirnya sampai di rumah sakit terdekat. Dua orang guru yang mengantarkan ke rumah sakit segera membopongnya menuju Unit Gawat Darurat dengan darah segar yang masih menetes dari kepalanya.

"Suster, tolong!" teriak guru itu saat melihat perawat yang tengah melintas.

Melihat kepala Clara yang bersimbah darah, perawat tersebut dengan sigap menuntun mereka menuju UGD agar Clara segera mendapatkan perawatan.

Saat mereka telah sampai di UGD, guru tersebut segera membaringkan tubuh Clara di atas brankar. Salah satu perawat segera mengambil alkohol, kapas, kain kasa, dan juga perban untuk membersihkan luka Clara kemudian menutupnya agar darah tidak terus mengalir.

Hilda menunggu Clara di luar UGD. Ia menggigit ujung jarinya karena panik akan kondisi sahabatnya saat ini.

Dalam kondisi seperti sekarang, gadis itu kemudian tersentak. Ia teringat bahwa belum mengabarkan orang tuanya kalau ia akan pulang terlambat karena harus mengantarkan sahabatnya ke rumah sakit.

Ia pun segera mengambil ponsel dari dalam tas untuk menghubungi orang tuanya agar mereka tidak khawatir.

Suara sambungan telepon terdengar, tak butuh waktu lama, panggilan darinya langsung dijawab oleh sang ibunda.

"Halo, Hilda, kamu di mana, Nak?"

Dengan nada panik, wanita itu segera melontarkan pertanyaan pada putrinya.

"Hilda lagi di rumah sakit, Ma ...."

Belum juga Hilda selesai berbicara, ibundanya segera memotong pembicaraannya sebab wanita itu kaget ketika sang anak mengatakan bahwa ia sedang berada di rumah sakit.

"Apa? Kamu kenapa, Sayang? Kamu sekarang di rumah sakit mana? Mama jemput kamu ke sana sekarang, ya."

Wanita itu menodong sang anak dengan serentetan pertanyaan.

"Hilda gak kenapa-napa, kok. Hilda cuma lagi temenin teman yang jatuh dari tangga sekolah."

"Ya ampun. Terus kamu mau pulang kapan biar Mama jemput?"

"Nanti Hilda hubungi lagi setelah teman Hilda dapat ruang rawat inap."

"Oh, ya udah. Kamu hati-hati, ya."

Setelah percakapan dengan sang ibu via telepon berakhir. Hilda juga lupa bahwa ia belum mengabarkan keluarga Clara tentang kondisinya saat ini. Gadis itu segera mengambil ponsel milik Clara di dalam tasnya yang berada di sisi kanan bahunya.

Namun sayang, ponsel sahabatnya tersebut mati karena baterainya habis. Ia tak bisa menghubungi keluarga Clara, begitu juga keluarganya, tak bisa menghubunginya.

"Aduh, HP-nya Clara pakai mati segala lagi. Terus gimana keluarganya hubungin dia?" gumam Hilda sambil menggigit ujung jarinya.

Di tengah kebingungannya, ia kemudian mengirimkan pesan WhatsApp pada sang ibu agar segera datang ke rumah sakit membawa charger handphone miliknya.

Sementara itu di kediaman Clara, Rizal—sang supir—mengabarkan pada Christie bahwa putrinya tidak ada di sekolah. Wanita itu sedang berada di ruang keluarga tengah menonton sinetron favoritnya.

"Maaf, Bu, Non Clara tidak ada di sekolah waktu saya jemput. Sudah saya tunggu sekitar tiga puluh menit, tapi Non Clara gak muncul-muncul. Ditelepon juga gak diangkat-angkat," tutur Rizal pada majikan perempuannya.

"Apa? Terus si Clara ke mana dong, Pak Rizal?"

"Maaf, saya gak tau, Bu. Saya juga bingung mau cari ke mana dan tanya sama siapa."

"Aduh, Clara ... Clara ...." ujar Christie sembari memegang kepalanya. "Ya sudah, Pak Rizal boleh pergi dari sini."

Christie bergegas ke kamar untuk mengambil telepon genggam yang tengah diisi dayanya untuk menghubungi sang putri. Ia telepon putrinya berkali-kali, tetapi yang ia dapatkan hanya suara yang mengatakan bahwa telepon sang putri sedang tidak aktif.

"Ya Tuhan, di mana anak saya sekarang?" Bulir air mata mulai menetes di pelupuk matanya. Ia kemudian merasa bersalah karena sudah berlaku keras pada Clara. Ia mengira bahwa putrinya itu kabur atas hukuman yang diberikan oleh sang suami.

***

Ibunda Hilda turun dari mobilnya, kemudian berlari menuju ruang UGD untuk menemui putrinya. Ketika berlari, wanita itu nyaris saja terjatuh dan kakinya pun terkilir, tetapi ia terus saja melangkah sembari menahan rasa sakit.

Dari kejauhan, ia melihat putrinya tengah duduk di kursi tunggu di depan UGD. Ia pun sedikit mempercepat langkahnya hingga akhirnya ia berada di dekat putrinya.

"Hilda ...."

Hilda yang tengah melamun sembari menopang dagu segera mendongak.

"Mama? Akhirnya Mama datang juga." Raut kegembiraan nampak di wajahnya ketika sang ibu berada di hadapannya.

"Gimana kondisi temanmu?"

"Masih kritis, Ma. Sebentar lagi mau dibawa ke ruang rawat inap."

"Kasian temanmu itu," ujar ibunda Hilda penuh rasa simpati. "Oh, iya, Mama lupa, ini charger HP kamu." Ibunda Hilda mengambil sebuah kabel panjang dari dalam tasnya, lalu memberikannya pada sang putri.

"Terima kasih, Ma. Hilda mau charger HP-nya Clara dulu sebentar," ujar gadis itu yang kemudian berjalan menuju sudut ruang tunggu untuk mengisi daya ponsel Clara.

Saat daya ponselnya sudah sepuluh persen, ia kemudian mencoba menyalakannya. Beruntung, Clara tidak menggunakan password di ponsel, sehingga ia bisa menghubungi keluarga Clara.

Hilda segera mencari kontak ibunda Clara, lalu menghubunginya.

"Halo, Clara, kamu di mana?"

Suara ibunda Clara terdengar panik di ujung telepon.

"Maaf, Tante, ini saya Hilda. Saya mau mengabarkan ke Tante kalau Clara sekarang ada di UGD."