Chereads / The Dream High / Chapter 17 - Nyawanya Terselamatkan!

Chapter 17 - Nyawanya Terselamatkan!

"Ya sudah kalau begitu, Papa tunggu aja orang yang Papa tabrak itu sampai selesai di operasi, biar Mama sendiri yang jaga Clara di sini."

Christie memutuskan sambungan telepon dengan suaminya. Ia memegang keningnya yang tiba-tiba saja terasa pusing saat mendengar kabar tak mengenakan dari sang suami. Sungguh ia tak menyangka jika keluarganya akan ditimpa musibah bertubi-tubi seperti ini.

Di tengah kemelut pikirannya, wanita itu kemudian memandangi wajah polos putrinya yang belum juga sadar dari koma. Bulir air mata mulai membasahi pipi Christie dengan tangisannya yang tertahan.

Ia teringat ketika terakhir kali berbicara pada sang putri pagi tadi saat ia akan pergi ke sekolah. Nampak jelas raut kecewa di wajah putrinya itu. Christie sungguh menyesali akan sikapnya dan sang suami yang akhirnya berdampak buruk bagi putri mereka.

Malam semakin larut, Christie mulai merasakan kantuk. Ia kemudian menaruh kepalanya di atas hospital bad, tempat di mana sang putri kini tengah berbaring, lalu mulai memejamkan matanya.

Sementara itu, Robert masih menunggu korban yang ia tabrak hingga selesai dioperasi. Sudah tiga jam lamanya ia menunggu di ruangan tempat di mana keluarga pasien menunggu, tetapi belum juga ada tanda-tanda bahwa operasi akan segera selesai.

Robert melihat ke arah jam dinding yang tergantung di atas pintu masuk ruang operasi. Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit. Sedari tadi, lelaki itu terus menguap karena merasakan kantuk yang tak tertahankan. Ia menyandarkan kepalanya ke belakang dan mulai mencoba menutup matanya. Baru saja ia tertidur pulas, tiba-tiba seorang perawat menghampirinya.

"Pak ... Pak ...," ucap sang perawat yang mencoba untuk membangunkan Robert dengan menepuk-nepuk bahunya.

Robert pun tersentak saat tiba-tiba saja mendengar suara orang berbicara padanya.

"Eh, iya, Sus."

"Maaf, Pak, saya sudah mengganggu istirahat Bapak. Saya ingin mengabarkan bahwa pasien atas nama Rendra sudah selesai dioperasi," terang perawat yang tengah berdiri persis di hadapannya.

"Lalu bagaimana keadaannya sekarang, Sus?" tanya Robert penasaran.

"Pasien masih dalam keadaan koma dan masih butuh perawatan medis di ruang ICU, tolong Bapak ikut kami ke sana sekarang."

Robert kini bisa bernapas lega karena korban yang ia tabrak nyawanya masih tertolong. Ia tak bisa membayangkan jikalau lelaki itu kehilangan nyawa sebab ditabrak olehnya. Tentu ia akan hidup bayang-bayang sebagai seorang pembunuh.

Robert segera bangkit dari kursi ruang tunggu. Ia berjalan mengikuti perawat yang akan membantu membawa Dodi menuju ruang ICU. Pasien yang kini kaki, tangan, dan juga kepalanya telah dibalut perban itu masih tak sadarkan diri.

Perawat tadi memencet tombol lift untuk naik ke lantai 3. Pintu lift langsung terbuka tanpa ada satu pun orang di dalamnya karena kondisi rumah sakit yang lengang. Dengan segera sang perawat mendorong pasien yang tengah terbaring di hospital bed masuk untuk ke dalam lift. Hanya beberapa detik, mereka kini telah sampai di lantai 3.

Perawat segera mendorong hospital bed keluar dari dalam lift menuju ruang ICU yang letaknya 10 meter dari depan lift di sebelah kiri lorong rumah sakit. Kedua perawat yang membantu membawa pasien mendorong hospital bed ke dalam ruang ICU, lalu memasangkan infus dan juga alat-alat medis lainnya di tubuh Dodi.

Sementara itu, Robert menunggu dari luar sembari berjalan mondar-mandir hingga pasien selesai ditangani oleh perawat. Ia akan pergi ketika semuanya telah beres dan segera mendatangi istri dan juga putrinya.

"Pak Rendra sudah selesai kami pasangkan alat-alat medis. Kalau Bapak ingin melihat kondisi pasien, silakan masuk, Pak," ujar perawat itu sembari menunjuk ke dalam ruang ICU.

"Terima kasih, Suster," ucap Robert yang kemudian mulai melangkah masuk ke dalam.

Lelaki kaya itu kini berdiri tepat di hadapan korban yang tengah terbaring. Ia memikirkan keluarga korban yang mungkin saja tengah menunggunya di rumah, tetapi mereka tak tahu bahwa suami atau ayah mereka saat ini tengah terbaring koma di rumah sakit.

Saat itu, tiba-tiba saja ia teringat bahwa sebelum tindak medis dilakukan, perawat sempat menyerahkan pakaian dan juga barang-barang milik Rendra kepadanya. Lelaki itu baru ingat bahwa ia telah meninggalkan barang-barang tersebut di ruang tunggu untuk keluarga pasien.

"Astaga, barang-barang masih ada di bawah," gumam Robert sembari menepuk jidatnya.

Lelaki itu segera berlari keluar ruangan menuju lantai 2 menggunakan lift. Ia segera menuju tempat di mana ia duduk beberapa saat yang lalu untuk mengambil barang yang tertinggal. Beruntung, barang tersebut masih berada di tempatnya semula.

"Huft, untung gak hilang," gumam Robert yang merasa lega.

Lelaki itu kemudian mencoba mencari handphone milik Rendra di dalam saku celananya yang ada di dalam kantong plastik berwarna putih, tetapi handphone tersebut mati total dan layarnya telah retak sehingga tak lagi bisa digunakan.

"Gimana saya bisa hubungi keluarganya Pak Rendra? Keluarganya juga gak bisa hubungi dia kalau seperti ini." Lelaki itu berbicara sendiri di ruang tunggu yang telah sepi tak seorang pun yang berada di sana.

Robert akhirnya meninggalkan ruang tunggu tersebut dan menentang kantong plastik putih berisi pakaian Rendra di tangan kanannya. Ia pun memutuskan untuk kembali ke lantai tiga. Namun kali ini, ia bukan ingin kembali ke ruang ICU melainkan mencari kamar rawat inap tempat di mana sang putri kini berada.

Pukul satu dini hari, di tengah lorong rumah sakit yang sepi, derap langkah kakinya yang berbalut sepatu pantofel pria berwarna hitam terdengar mengisi lorong rumah sakit yang sunyi. Ia mencoba berjalan ke sembarang arah untuk mencari kamar rawat inap putrinya.

Saat ia sudah berada di ujung lorong, ia kemudian berputar arah. Saat itu, tiba-tiba saja seorang perawat pria keluar dari kamar rawat inap yang ada di depannya. Dengan cepat Robert menghentikan langkah lelaki itu dengan memanggilnya.

"Mas, tunggu!"

Perawat pria itu pun menoleh ke arahnya, lalu bertanya,

"Iya, ada apa, Pak?" tanyanya sopan.

"Saya mau ke kamar 309, Pak, kamarnya ada di mana, ya?"

"Oh, kamar 309. Bapak dari sini tinggal lurus aja, lalu belok kiri. Setelah mentok bapak belok kiri lagi. Kamarnya ada di sebelah kanan," tutur pria itu menjelaskan.

"Oh, baik, Mas. Terima kasih."

Robert segera berjalan mengikuti arahan dari perawat tersebut hingga akhirnya ia sampai di depan kamar 309. Dari balik kaca pintu kamar, ia dapat melihat Clara tengah terbaring dengan kepalanya yang terbalut perban, sedangkan istrinya tengah tidur tertelungkup di atas hospital bed.

Robert membuka pintu perlahan agar tak mengganggu istrinya yang tengah terlelap, kemudian kembali menutup pintu. Ia berjalan menghampiri Clara yang terbaring koma. Lelaki itu merasa sangat terpukul melihat kondisi putrinya, tetapi ia tak dapat menangis.